Breaking

Minggu, Agustus 29, 2010

analisis gurit Nonton Ronggeng Banyumasan

GENETIKA GURIT BANYUMASAN
NONTON RONGGENG KARYA WARTO TIRTA


SKRIPSI


Untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Oleh
Nama : Dwi Taryanto
NIM : 2151406010
Program Studi : Sastra Jawa
Jurusan : Bahasa dan Sastra Jawa



FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010




PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi.

Semarang,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum Drs. Hardyanto
NIP 196101071990021001 NIP 195811151988031002












PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Pada hari : Senin
Tanggal : 2 Agustus 2010
Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,



Drs. Januarius Mujianto, M. Hum Drs.Agus Yuwono, M. Si, M. Pd
NIP 195312131983031002 NIP 196812151993031003


Penguji I


Yusro Edy Nugroho, S. S., M. Hum
NIP 196512251994021001



Penguji II Penguji III



Drs. Hardyanto Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum
NIP 195811151988031002 NIP 196101071990021001




PERNYATAAN


Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.


Semarang, Agustus 2010

Dwi Taryanto
2151406010













MOTTO DAN PERSEMBAHAN


Motto :
“I will making the best use of my life, cause the God will not give me the second life”










Skripsi ini ku persembahkan kepada :
Bapak, Ibu, dan Kakakku tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan doanya padaku




PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum., selaku pembimbing I dan Drs. Hardyanto, selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan sabar dan bijaksana serta memberikan dorongan dan semangat dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini;
2. Yusro Edy Nugroho, S.S.,M.Hum, sebagai penguji yang telah memberikan masukan, saran dan kritiknya;
3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah memberi izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini;
4. Seluruh dosen Bahasa dan Sastra Jawa, yang telah memberikan dorongan dan bekal ilmu kepada penulis;
5. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang;
6. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu;
7. Bapak dan Ibuku sebagai tempatku bernaung dalam susah ataupun senang, terimakasih atas lantunan doa yang senantiasa dipanjatkan;
8. Kakakku Sudirin yang selalu memberiku semangat dan doanya;
9. Pak Warto Tirta yang dengan lapang dada memberikan naskah dan informasi sehingga skripsi ini selesai;
10. Ira Noviana Resita, terimakasih atas segala semangat dan motivasinya selama ini;
11. Teman satu atapku Yugo, Doni yang telah memberikan semangat dan dorongan selama ini;
12. Mahasiswa Sastra Jawa ’06 yang telah menyatu menjadi keluarga;
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Semoga amal dan budi baik Bapak/ Ibu dan saudara-saudara semua mendapatkan pahala yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sebuah kesempurnaan, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberi nilai tambah bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa jurusan Sastra Jawa.

Semarang, juli 2010

Penulis,







ABSTRAK


Taryanto, Dwi. 2010. Genetika Gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri semarang. Pembimbing: I. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum, Pembimbing II: Drs. Hardyanto.

Kata kunci : Sastra Jawa Banyumas, Geguritan, Stilistika Genetik.

Geguritan Nonton Ronggeng adalah salah satu kumpulan geguritan dengan bahasa dialek Banyumasan. Dalam kumpulan gurit ini terdapat 44 geguritan yang ditulis oleh Warto Tirta. Gurit Banyumasan Nonton Ronggeng dikemas secara bervariasi, selain dari segi gaya bahasa, juga terdapat parikan dalam geguritan dan susunan kata yang tidak beraturan (tofografi). Geguritan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dengan corak dan wujud melalui media bahasa ngapak (Banyumasan).
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini meliputi gaya bahasa serta faktor genetik yang mempengaruhi dalam keseluruhan gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendefinisikan gaya bahasa serta faktor genetik pada gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta. Penelitian ini menggunakan teori stilistika genetik. Hal itu dimaksudkan supaya peneliti juga tetap memperhatikan segi-segi intrinsik, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh pengarang dengan memanfaatkan faktor imajinasi . Karya sastra adalah sebuah struktur, akan tetapi struktur bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu stilistika genetik. Unsur genetik tersebut mempengaruhi gaya bahasa yang digambarakan oleh majas (metonimi, sinekdok, simile, personifikasi, dan metafora). Stilistika genetik juga melihat seberapa besar pengaruh sosiohistoris pengarang serta masyarakat sekitar terhadap geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta. Pengarang mencoba menggambarkan pikirannya dengan bahasa yang tidak langsung dan tidak mudah untuk mengerti. Oleh karena itu perlu dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk memahami isi, dan gaya bahasa yang digunakan dalam antologi geguritan Nonton Ronggeng.
Penelitian ini menjelaskan gaya bahasa yang digunakan dalam antologi Nonton Ronggeng yang digambarkan oleh dua macam yaitu majas dan makna parikan yang dipengaruhi oleh unsur genetik. Dalam antologi geguritan Nonton Ronggeng, didominasi oleh unsur majas metafora, karena geguritan ini menggunakan bahasa kias yang mempunyai makna bukan sebenarnya. Dalam geguritan Nonton Ronggeng terdapat 14 geguritan yang mempunyai parikan. Parikan ini berfungsi sebagai variasi bahasa, serta sebagai penjelas dari setiap geguritan.
Genetika geguritan Nonton Ronggeng dipengaruhi oleh unsur sejarah, keadaan alam, sosial budaya dan masyarakat sekitar. Unsur sejarah dapat dilihat dari geguritan Monumen Soedirman Gathot Soebroto, Mesjid Saka Tunggal dan lain-lain, yang menggambarkan pejuang-pejuang kemerdekaan. Geguritan yang menggambarkan keadaan alam dapat dilihat pada geguritan Tsunami, Plesir Gua Lawa, Banyumas, Baturaden, Alun-alun Purwakarta. Geguritan tersebut menggambarkan keadaan alam yang dilihat oleh pengarang. Unsur sosial budaya dan masyarakat sekitar dapat dilihat pada geguritan Nonton Ronggeng, Slametan Mimiti Pari, Centheng Desa, Nyawah, Deres, Wong Desa dan lain-lain. Geguritan itu memberikan gambaran tentang kesenian yang ada di Banyumas dan keadaan lingkungan sekitar.



































SARI


Taryanto, Dwi. 2010. Genetika Gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri semarang. Pembimbing: I. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum, Pembimbing II: Drs. Hardyanto.

Tembung Pangrunut : Sastra Jawa Banyumas, Geguritan, Stilistika Genetik.

Geguritan Nonton Ronggeng yakuwi salah sijining kumpulan geguritan sing nganggo basa Banyumasan. kumpulan gurit iki ana 44 geguritan anggitane Warto Tirta. Ana ing gurit Nonton Ronggeng Banyumas panganggit nggunakena basa ngapak utawa Banyumasan. Isi kang ditulis kanti lelewaning basa, uga ana parikan kanggo penjelas geguritan lan anane tembung-tembung sing ora teratur (tofografi). Gurit kie dikarepena bisa ngewehi gambaran lan wujud kanggo basa ngapak.
Masalah ana ing panaliten kiye yakuwi lelewaning basa lan faktor-faktor genetik sing ngowahi gurit Banyumasan Nonton Ronggeng anggitane Warto Tirta.
Miturut masalah ning dhuwur, panaliten kiye nduweni kekarepan njlentrehake lelewaning basa lan faktor genetik sing ana ning gurit Banyumasan anggitane Warto Tirta. Panaliten kie nggunakena teori Stilistika Genetik, sing dikarepena supaya peneliti tetep merhateke segi-segi intrinsik lan sadar karya sastra dianggit pengarang karo manfaatna faktor imajinasi. Karya sastra yakuwi sawijineng struktur utawa produk sekang proses sejarah sing terus mlaku, lan pross strukturasi lan destrukturasi sing urip lan dirasakena masyarakat.
Pendekatan sing denggo, sajeroning panaliten kiye yakuwi stilistika genetik. Stilistika genetik kiye nggawekena lelewaning basa sing kajelentrehake masalah genetika yakuwi majas (metonimi, sinekdok, simile, personifikasi, lan metafora). Stilistika genetik uga njlentrehena babagan genetik yakuwi sosiologis pengarang lan pengaruhe masyarakat marang geguritan Nonton Ronggeng anggitane Warto Tirta. Pengarang nyoba njlentrehena apa kang dipikirna nganggo basa sing ora langsung lan angel dengerteni. Kanthi mengkana kudu dibutuhena daya gedhe kanggo ngerteni isi lan lelewaing basa antologi geguritan Nonton Ronggeng.
Panaliten kiye njentrehena lelewaning basa ana ing antologi geguritan Nonton Ronggeng sing digambarena rong werna yakuwi majas lan maknane parikan sing depengaruhi karo unsur genetik. Ana ing geguritan Nonton Ronggeng anggitane Warto Tirta akeh ditemukena unsur majas metafora. Geguritan kiye nganggo kanthi basa entar kang nduwe teges sing ora semestine.
Ing antologi geguritan Nonton Ronggeng ana 14 geguritan kang nduweni parikan . parikan kuwe digunakena kanggo lelewaning basa, kejaba kuwi uga kanggo ngerteni sambung rapete geguritan lan maknane
Genetika geguritan Nonton Ronggeng ewah amarga dening unsur sejarah, kahananing dunya, sosial budaya, lan masyarakat sakiwa tengenene. Unsur sejarah bisa mremati saka geguritan Soedirman, Gathot Soebroto, Masjid Saka Tunggal, lan liya-liyane, sing ngmbarna pejuang kemerdekaan. Geguritan sing ngambarna kahanaing dunya bisa dideleng sekang geguritan Tsunami, Plesir Gua Lawa, Banyumas, Baturaden, Alun-alun Purwakerta sing nggmbarna kahananing dunya, sing dideleng sekang sudut pengarang. Unsur sosial budaya sarta masyarakat sekiwa tengene bisa dideleng sekang geguritan Nonton Ronggeng, Slametan Mimiti Pari, Centheng Desa, Nyawah, Deres, Wong Desa lan liya-liyane sing nggmbarna kesenian-kesenian sing ana ning Banyumas lan kahanane sekiwa tengene pengarang.












DAFTAR ISI

Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN iii
PERNYATAAN iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN v
PRAKATA vi
ABSTRAK viii
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 6
BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka 7
2.2 Stilistika 7
2.2.1 Jenis Pengkajian Stilistika 9
2.2.2 Bentuk Ekspresi Sebagai Kajian Stilistika 10
2.3 Gaya Bahasa 11
2.3.1 Bahasa Kias 13
2.3.1.1 Metonimi 14
2.3.1.2 Sinekdok 15
2.3.1.3 Simile 16
2.3.1.4 Personifikasi 16
2.3.1.5 Metafora 17
2.4 Genetik 19
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan penelitian................................................... 21
3.2 Sasaran Penelitian 21
3.3 Teknik Analisis Data 22
BAB IV GENETIKA GURIT BANYUMASAN NONTON RONGGENG KARYA WARTO TIRTA
4.1 Diksi 27
4.1.1 Majas 36
4.1.1.1 Metonimi 36
4.1.1.2 Sinekdok 39
4.1.1.2.1 Pars Pro Toto 40
4.1.1.2.2 Totum Pro Parte 41
4.1.1.2.3 Pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti
nama barang yang terbuat dari bahan itu 42
4.1.1.3 Simile 45
4.1.1.4 Personifikasi 47
4.1.1.5 Metafora 58
4.2 Makna Parikan 90
1 Kemutan Jaman Semana 91
2 Kasmaran 91
3 Slametan Mimiti Pari 92
4 Curug Cipendhok 93
5 Monumen Soedirman 94
6 Milirik Dhingklik 94
7 Mantes-Mantes 95
8 Nelayan 96
9 Inyong Kangen Karo Rika 96
10 Centheng Desa 97
11 Bada 98
12 Penganten Anyar 100
13 Tunilan lan Tukang Uter 101
14 Plesir Gua Lawa 102
4.3 Genetika Gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta 102
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan 108
5.2 Saran 110
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gurit Nonton Ronggeng adalah salah satu kumpulan geguritan dengan bahasa dialek Banyumasan. Dalam kumpulan gurit ini terdapat 44 geguritan yang ditulis oleh Warto Tirta. Di samping sebagai wartawan Radar Banyumas, ia juga tergabung dalam komunitas Getek, Ajibarang. Komunitas yang sekaligus sanggar seni ini, bertujuan untuk melestarikan bahasa dan Sastra Jawa dialek Banyumas. Suara Dari Desa wujud antalogi puisi bersama Edi Romadhon dan juga ikut dalam antologi puisi Serayu 55 penyair. Nonton Ronggeng terpilih menjadi geguritan terbaik lomba menulis geguritan Banyumas pada hut PGRI tahun 2004 Kabupaten Banyumas.
Literasi yang memuat puisi-puisi dari Banyumas, ternyata banyak terkumpul dalam antologi bersama di luar Banyumas, antara lain: Melacak Jejak (KBM, 1993), Serayu (Harta Prima, 2005), Jentera Terkasa (TBJT, 1998) sampai Pledoi Puisi (TBJT, 2008). Masalah yang ada akhirnya sirkulasi puisi tak jatuh pada pembaca di Banyumas hanya golongan tertentu saja.
Warto Tirta mencoba menulis bahasa tutur dalam kumpulan geguritanya yang berjudul Nonton Ronggeng geguritan Banyumas. Geguritan adalah ungkapan pengalaman penyair yang diungkapkan dengan bahasa penyair. Adapun pengalaman penyair, ungkapan penyair yang dituangkan kedalam geguritan, bukan semata-mata yang dialami penyair, akan tetapi bisa juga yang dialami orang lain. Sebagai isi yang dituangkan ke dalam gurit Banyumasan Nonton Ronggeng dikemas secara bervariasi, selain dari segi gaya bahasa maupun pengemasannya. Geguritan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dengan corak dan wujud melalui media bahasa ngapak(Banyumasan).
Geguritan Nonton Ronggeng merupakan karya sastra yang terlahir di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pengarang yang merupakan anggota masyarakat tentunya mempunyai dampak terhadap karya sastranya. Adanya lingkungan pengarang dimana tempat ia tinggal, dan sosial budaya masyarakat di sekitarnya sangat mempengaruhi karya sastra tersebut. Dari sebuah karya sastra yang telah terlahir bisa dilihat, seberapa besar pengaruh lingkungan masyarakat, budaya, serta sejarah dapat mempengaruhinya. Bahasa merupakan faktor yang paling kental dalam mempengaruhi karya sastra, hal itu juga akan dilihat dalam geguritan Nonton Ronggeng.
Imajianasi yang dituangkan ke dalam kata-kata, ungkapan dan metafora secara lazim yang ada dalam geguritan, begitu juga dengan gurit Nonton Ronggeng. Keistimewaan lain terdapat pada penggunaan di dalam bahasa, dimana bahasa yang dimunculkan dalam geguritan mengandung makna dan simbol-simbol. Dalam pengemasannya, penyair tidak secara jelas terperinci apa yang ingin dijadikan amanat dalam tulisannya, akan tetapi hanya pokok masalah yang ada. Hal itulah yang menarik geguritan untuk diteliti.
Adapun geguritan yang ada dalam antologi Nonton Ronggeng yaitu dengan judul Nonton Ronggeng, Alun-Alun Purwakarta, Jendral Sudirman, Wong Desa, Kemutan Jaman Semana, Mboke, Kasmaran, Ngenteni Babaran, Nrawang, Nyawah, Guru, Slametan Mimiti Pari, Ani-Ani, Deres, Curug Cipendhok, Mesjid Saka Tunggal, Monumen Soedirman, Baturaden, Banyumas, Patung Gathot Soebroto, Pasrah, Ngebor, Breg, Jonjang, Terangan, Mlirik Dhingklik, Eling-Eling, Dzikir, Mantes-Mantes, Pesthi, Nelayan, Inyong Kangen Karo Rika, Centheng Desa, Mendhe, Bada, Panganten Anyar, Tulinan Lan Tukang Unther, Plesir Gua Lawa, Kebut-Kebutan, Tsunami, Kangen Biyung, Bapa, Ngiring Bandhosa, Ngudarasa. Di antara geguritan di atas, Penganten Anyar pernah dimuat dalam Kabar Banyumas, sedangkan harian Radar Banyumas juga pernah memunculkan dengan judul Nonton Ronggeng.
Bahasa yang digunakan dalam menyampaikan isi, menggunakan bahasa yang biasa saja atau bahasa sehari-hari (dialek Banyumas) sehingga mudah dipahami, akan tetapi banyak juga yang kurang mengerti. Di samping menyerap kata-kata arkhais atau kuna sehingga membutuhkan pemahaman yang mendalam guna memahami isi sesuai dengan tujuan yang diinginkan pengarang. Seorang pengarang mampu menuangkan sisi orang lain yang seakan-akan adalah dirinya.
Pemakaian bahasa dalam karya sastra mempunyai spesifikasi tersendiri dibanding bahasa pada komunikasi yang lain. Dalam hal itu geguritan tidak mudah untuk dipahami, karena pembaca diharuskan berpikir lebih dalam guna memahami arti dari kiasan yang digunakan dalam geguritan. Dengan daya pikir penyair masyarakat bisa menikmati geguritan sebagai sebuah karya sastra yang terlahir dari tangan kreatif pengarang. Gambaran yang komplek tertuang dalam geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta, dengan daya imajinasinya merekayasa kejadian kehidupan masyarakat dalam bentuk karya sastra. Karya sastra, merupakan sebuah komunikasi dari pengarang kepada pembaca, sehingga pembaca bisa merasakan, melihat, dan menghayati makna kehidupannya.
Untuk memahami geguritannya pembaca tidak akan cepat merasa bosan, karena disisipi parikan. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kesan menghibur kepada pembaca.
Setiap pengarang tentunya menginginkan agar karyanya menarik dan diterima masyarakat. Untuk itu keahlian pengarang dalam mengolah kata atau unsur bahasa merupakan faktor yang sangat penting sehingga karya yang dihasilkan menarik. Dalam pengungkapan bahasanya, pengarang menggunakan gaya bahasa sesuai dengan jiwa emosi dan apresiasi bahasanya. Setiap pengarang tentunya mempunyai gaya bahasa sendiri-sendiri, sehingga antara pengarang yang satu dengan yang lain akan berbeda.
Tema yang tertuang dalam gurit Nonton Ronggeng, mengisahkan kehidupan sosial masarakat Banyumas dan seluk beluk kota Banyumas. Dalam geguritan ini penyair mengungkapkan perasaannya mengenai Banyumas dari sudut yang berbeda. Penyair lebih menyoroti mengenai kehidupan masyarkat Banyumas dan keadaan alam yang ada. Maksud yang terkandung dalam tiap geguritan tidaklah mudah dicerna, sehingga pembaca harus berulang-ulang dan cermat guna mengetahui maksudnya. Dalam geguritan Nonton Ronggeng kita akan menemukan nilai-nilai luhur, nilai moral dan sosial yang dapat kita ambil di dalamnya.
Geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta adalah salah satu karya yang bukan hanya untuk diketahui keberadaannya akan tetapi lebih dari itu, yakni guna memberi pengetahuan kepada pembacanya. Tulisan kreatifnya diharapkan dapat dijadikan pedoman dan contoh bagi pembaca.
Membaca geguritan merupakan hal yang positif. Di samping memberikan pengetahuan yang mendalam, juga memberikan hiburan, yakni dalam arti kepuasan batin. Oleh karena itulah, kehadiran karya sastra sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sarana pengetahuan sekaligus hiburan. Dari segi estetis misalnya, pembaca akan merasa terpuaskan dan akan menikmatinya, entah dari keindahan bahasanya ataupun bentuknya. Untuk memperoleh itu tentunya pembaca harus memahami secara mendalam.
Membaca dan memahami karya sastra menjadikan manusia yang berbudaya dan berbudi luhur, serta merefleksikan respon masyarakat terhadap karya sastra. Penelitian ini diharapkan memudahkan pemahaman pembaca terhadap gurit Banyumasan terutama Nonton Ronggeng sehingga apa yang akan disampaikan pengarang dapat tersampaikan.
Penelitian ini difokuskan pada analisis Stilistika Genetik dimana kajian mendalam pada aspek gaya bahasa pada geguritan Nonton Ronggeng serta memaparkan latar sosiohistoris pengarang sebagai kreator stilistika Nonton Ronggeng (faktor genetik). Penelitian ini diharapkan agar lebih memunculkan sesuatu yang tidak terlihat atau secara eksplisit tidak dengan mudah dicerna makna dari tiap baris. Geguritan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta mempunyai karakter penulisan yang berbeda selain dari segi gaya bahasa juga dari aspek pendukung terbentuknya, yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) bagaimanakah gaya bahasa Gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta?
2) apa sajakah faktor genetik (eksternal) yang mempengaruhi dalam keseluruhan gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta?

1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang akan dikaji dalam sekripsi ini, tujuan yang akan dicapai adalah:
1) mendefinisikan gaya bahasa gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.
2) menjelaskan seberapa besar faktor genetik (eksternal) yang mempengaruhi dalam keseluruhan gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.

1.4 Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini secara praktis berguna untuk menambah khasanah penelitian sastra di Banyumas. Kedua menjadikan fungsi dokumentasi serta menjadikan pedoman bagi penulis berikutnya.

BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ini merupakan penelitian awal, bukan merupakan penelitian tindak lanjut. Sejauh ini belum ditemukan penelitian tentang geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta. Penelitian ini tentunya banyak kekurangan, karena kurangnya referensi-referensi yang ada. Hal itu tidak mengurungkan niat peneliti untuk melakukan penelitian ini.
Adapun penelitian yang pernah ada mencakup pada bentuk kajiannya saja yaitu desertasi Al-Ma’ruf tahun 2006, Kajian Stilistika Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Perspektif Kritik Seni Holistik. Adapun desertasi ini membahas tentang stilistika RDP karya Ahmad Tohari. Aspek yang dibahas mengenai: (1) data aspek objektif berupa stilistika RDP yakni wujud pemanfaatan diksi, citraan, dan bahasa figuratif; (2) data aspek genetik berupa latar sosiohistoris pengarang; (3) data aspek afektif berupa tanggapan atau resepsi pembaca terhadap RDP.

2.2 Stilistika
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Aminudin (1995:4), bahwa style yaitu teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemakainya.
Stilistika secara etimologis merupakan hubungan kata stylistics dengan kata style, artinya ilmu tentang gaya. Stilistika merupakan ilmu pemanfaatan bahasa dalam suatu karya sastra. Gaya bahasa sendiri menurut Aminudin (1995:6), memiliki enam pengertian, yaitu:
a) Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pertanyaan yang telah ada sebelumnya;
b) pilihan diantara beragam pernyataan mungkin;
c) sekumpulan ciri pribadi;
d) penyimpangan norma atau kaidah;
e) sekumpulan ciri kolektif ; dan
f) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada sebuah ayat.
Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika:
1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan.
2) Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Pada intinya sama bawa stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Setiap karya sastra baik prosa, puisi, ataupun novel mempunyai ciri atau gaya tersendiri yang tertuang sebagai ciri dalam setiap pengarang.

2.2.1 Jenis pengkajian stilistika
Pengkajian Stilistika meliputi dua jenis yaitu stilistika deskriptif dan stilistika genetik. Stilistika dekriptif adalah pengkajian gaya bahasa sekelompok sastrawan atau sebuah angkatan sastra baik ciri-ciri gaya bahasa puisi maupun ciri-ciri gaya bahasa baik prosa maupun puisi. Stilistika genetik adalah pengkajian gaya bahasa seseorang pengarang berupa penguraian gaya bahasanya yang terdapat dalam salah satu karya sastra atau keseluruhan karya sastranya.
Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa di dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik dapat dilihat pada batasan stilistika sebagai berikut: http/analisis-aspek-gaya-bahasa-manipulasi.html:
1) Stilistika merupakan linguistik yang menitik beratkan kajiannya pada variasi penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra atau pendekatan linguistik yang digunakan dalam bidang studi teks-teks sastra (Shoot 1989:183). Cumming dan Simons (1986: XVI) menambahkan bahwa stilistika merupakan cabang linguistik dan analisisnya berorientasi pada linguistik.
2) Stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Shoot 1984: 4).
3) Stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra (Kris 1988:3). Menurut Kris bahasa memang sudah mempunyai gaya seperti halnya bahasa dalam karya sastra yang mempunyai perbedaaan dari bahasa kesehariaan.
4) Stilistika mengkaji wacana dari segi orientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik pada satu pihak dan kritik sastra dipihak lain.
Sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra. Adanya pengarang dalam menyampaikan gagasan menurut Aminudin (1995:46) terdapat 3 gagasan yaitu:
a. menggambarkan obyek atau peristiwa secara imajinatif;
b. mengaktualisasikan isi melalui penggambaran obyek dan peristiwa;
c. memekatkan nilai-nilai idiologis tertentu melalui kreasi dalam menggunakan sistem tanda.
Sejalan dengan kenyataan bahwa penciptaan karya sastra terkait dengan kreasi individual pengarangnya, sedangkan yang kedua sebagai kreasi seni penciptaan karya sastra juga memperhatikan adanya kebaharuan dan perkembangan kehidupan sosial juga ikut menentukan perkembangan kehidupan karya sastra. Adanya hal semacam itu karya sastra dapat dicurigai memiliki ciri yang tidak sepenuhnya sama.

2.2.2 Bentuk Ekspresi sebagai kajian Stilistika
Ekspresi adalah bentuk pengungkapan gagasan, gambaran isi tuturan yang tergambarkan sebagai konfigurasi gagasan dan bentuk dalam satuan lambang kebahasaan (Aminudin 1995:78). Sebagai satu hal yang bersifat abstrak, bentuk ekspresi ada dalam ketiadaan. Bagi pembaca pemahaman bentuk ekspresi berhubungan erat dengan memahami isi wacana.
Seorang pengarang menyampaikan dalam dunia gagasannya, pada dasarnya tidak bersifat konkret atau sesuatu yang tidak ada itu diartikan sebagai konfigurasi gagasan. Dalam konfigurasi gagasan yang konkret dan dikenali kreatornya melalui lambang kebahasan itu adalah sebuah bentuk ekspresi.
Adapun karya sastra yang merupakan bentuk kreasi seni yang merupakan sistem tanda sebagai wahana pemaparan penyampaian gagasan, penggambaran suasana, maupun nilai tertentu (Aminudin 1995:303). Sebagai bentuk kreasi seni kehadiran karya sastra tersebut juga ditentukan untuk memberikan efek emotif tertentu bagai penanggapnya.
Sebagai wacana yang berbentuk geguritan mempunyai fungsi puitik dimana fungsi bahasa yang menggambarkan makna simbol kebahasaan sebagaimana makna yang terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri secara internal. Sebagai wacana yang lebih banyak menggunakan sistem tanda atau lebih banyak menggunakan bahasa puitis banyak sekali dijumpai bahasa kias.

2.3 Gaya Bahasa
Istilah gaya berasal dari bahasa inggris yang beratikan style. Kata style berasal dari bahasa Yunani stylos yang berarti wujud sesuatu, misalnya bentuk arsitektur, yang memiliki ciri sesuai dengan karateristik ruang dan waktu. Adapun dalam bahasa latin stilus yang berarti alat untuk menulis sesuai dengan cara yang digunakan penulisnya (Aminudin 1997:1).
Abram (dalam Nugiantoro 1995:276) mengemukakan style atau gaya bahasa adalah cara pengacapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang menuangkan sesuatu yang diutarakan. Style ditandai dengan ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Stile menurut Leech dan Shoot (dalam Nugiantoro 2002:276) adalah suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dan konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian stile mempunyai sifat bermacam-macam tergantung pada konteksnya. Pada hakekatnya stile merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang diungkapkan (Nugiantoro 1995:227)
Aminudin (1995:72) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Gaya bahasa adalah sebuah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa (Baribin 1985:64). Tingkah laku berbahasa merupakan sarana yang penting. Tanpa gaya bahasa sastrapun tidak ada, karena sastra adalah sebuah keindahan.
Pradopo (1987:264-265) mengemukakan tentang pengertian gaya bahasa yaitu:
1) Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:137) bahwa gaya bahasa adalah ciri khas yang dipakai seseorang untuk mengungkapakan diri(gaya pribadi).
2) Menurut Slamet Muljana (tanpa tahun:20-21) bahwa gaya bahasa itu susunan perkataan yang terjadi karena perasaan dan hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan sesuatu perasaan tertentu dalam hati pembaca dan gaya bahasa juga selalu subjektif dan tidak objektif.
3) Menurut Abrams (1981:190) bahwa gaya bahasa ini adalah cara ekspresi kebahasaan dalam puisi ataupun prosa. Gaya bahasa itu sendiri adalah bagaimana seorang pengarang atau penulis berkata mengenai apa yang dikatakannya.
4) Menurut Kridalaksana (1983:49-50) salah satu pengertian gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang dalam bertutur atau menulis; lebih khusus adalah pemakaian ragam bahasa tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan lebih luas gaya bahasa itu merupakan keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan pikirannya.

2.3.1 Bahasa Kias
Menurut Keraf (2000:137) pada mulanya bahasa kias berkembang dari analogi dalam pengertian kuantitatif dan kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi identitas antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua istilah. Dalam arti yang lebih luas ini analogi lalu berkembang menjadi kiasan.
Aminudin (1995:297) bahasa kias merupakan penggantian kata yang satu dengan yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis, dari yang umum dengan yang umum, yang umum dengan yang khusus dan yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan tersebut bersifat personal karena penggunaan kata-kata yang diperbandingkan itu secara potensial harus mampu mencitrakan sesuatu dan membuahkan gagasan baru.
Perbandingan sebagai salah satu ciri umum dari bahasa kias dan detail pemilihannya dapat mengambil bentuk berbagai macam. Perbandingan tersebut dapat didasarkan pada hubungan ciri semantis yang bersifat tetap. Oleh karena itu, bahasa kias dapat dipaparkan atau dipilah dalam berbagai jenis. Meskipun begitu batas antara yang satu dengan yang lain kadang-kadang masih sulit ditetapkan. Menurut Riffateree (dalam Prabowo 2007:13) penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonim. Yang dimaksud metafora dan metonimi (secara umum) adalah kiasan yang meliputi metonimi, sinekdok, simile, personifikasi, dan metafora.

2.3.1.1 Metonimi
Metomini adalah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat. Dengan kata lain, pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain karena adanya unsur-unsur yang berdekatan antara kedua pengertian itu. Kaitan itu berdasarkan berbagai motivasi, misalnya hubungan kausal, logika, hubungan waktu, dan ruang (Jabrohim dkk 2003:51)
Metonimia adalah suatu cara untuk mengemukakan suatu maksud dengan mengganti sifat, nama atau sesuatu yang merupakan ciri khas dari benda-benda tersebut (Suharianto 2005:70).
Metonimia adalah bahasa kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut, objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo 2002:77).

2.3.1.2 Sinekdok
Jabrohim dkk (2003: 52), mengatakan bahwa sinekdok adalah bahasa figuratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari suatu benda atau hal untuk tanda itu atau hal itu sendiri. Sinekdok adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau benda itu sendiri (Pradopo 2002:78).
Sinekdok terdiri dari tiga jenis yaitu (1) majas pertautan yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya (pars pro toto), (2) majas pertautan yang menyebutkan nama bagiannya (totum pro parte), dan (3) majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan itu (KBBI 1995:944).

2.3.1.3 Simile
Simile adalah majas pertautan yang membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi mengandung segi yang serupa. Keserupaan ini dinyatakan secara eksplisit dengan kata seperti, bagai, dan laksana (KBBI 1995:l941).
Perbandingan atau perumpamaan atau simile dengan hal lain mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, semisal, seumpama, laksana, sepantun, se dan kata-kata pembanding lain (Pradopo 2002:62)
Simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Sebagai sarana yang menyarankan tersebut simile menggunakan kata-kata pembanding: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, se, dan kata-kata pembanding lain (Jabrohin dkk 2003:44)

2.3.1.4 Personifikasi
Personifikasi sering disebut juga dengan “perorangan”, ialah suatu cara memperjelas maksud dengan menjadikan benda-benda yang digambarkan tersebut seperti manusia. Dengan kata lain suatu cara berbahasa dengan menghidupkan benda-benda mati dan memberinya sifat-sifat seperti yang dimiliki oleh manusia (Suhaianto 2005:71).
Personifikasi adalah jenis bahasa figuratif yang hampir sama dengan metafora. Bentuk bahasa figuratif ini mempersamakan benda atau hal dengan manusia. Benda atau hal itu digambarkan dapat bertindak dan mempunyai kegiatan seperti manusia. Benda atau hal yang tidak bernyawa seolah-olah mempunyai sifat seperti kemanusiaan. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kejelasan gambaran, menimbulkan bayangan angan yang konkret, dan mendramatisasikan suasana dan ide yang ditampilkan (Jabrohim dkk 2003:48).
Personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang konkret (Pradopo 2002:75).
Personifikasi adalah pengumpamaan atau perlambangan benda mati sebagai orang atau manusia (KBBI 1995:760).

2.3.1.5 Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, dan kata-kata pembanding lain (Pradopo 22002:62).
Metafora adalah bentuk bahasa figuratif yang membandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya yang pada dasarnya tidak serupa. Oleh karena itu, di dalam metafora ada dua hal yang pokok, yaitu hal-hal yang diperbandingkan dan perbandingannya (Jabrohim dkk 2003:45)
Metafora disebut juga perbandingan; ialah suatu cara mengatakan atau melukiskan sesuatu dengan membandingkannya dengan sesuatu yang lain. Dengan cara tersebut diharapkan pendengar atau pembaca akan lebih dapat menangkap maksud yang diharpakan penulis karena benda yang menjadi bahan perbandingan tersebut sudah diketahui benar baik wujud maupun sifatnya oleh pendengar atau pembaca (Suharianto 2005:70).
Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (KBBI 1995:651).

2.4 Genetik
Menurut Jabrohim (2001:63) genetik adalah asal-usul sebuah karya sastra. Adapun faktor yang terkait dengan asal-usul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Adanya waktu, sejarah dan masyarakat yang mempengaruhi terhadap proses terciptanya karya sastra dimana baik dari isi, bentuk atau strukturnya. Dengan demikian suatu masyarakat yang menghidupi pengarang dapat melahirkan sebuah karya sastra itu pula.
Menurut Piaget (Guldmann dalam Faruk 2005:13), manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan akan tetapi sekaligus isi-mengisi. Dalam kenyataanya seorang masyarakat akan bertindak sesuka hatinya sehingga secara tidak langsung seorang pengarang yang merupakan anggota masyarakat akan mempengaruhi karyanya. Adapun rintangan seperti yang diungkapkan oleh Guldmann di antaranya:
1) Kenyataan bahwa sektor-sektor kehidupan tertentu tidak menyadarkan dirinya pada integrasi dalam struktur yang dielaborasikan.
2) Kenyataan bahwa semakin lama persetrukturan dunia eksternal itu semakin sukar dan bahkan semakin tidak mungkin dilakukan.
3) Kenyataan bahwa individu-individu dalam kelompok yang bertanggung jawab bagi lahirnya proses keseimbangan, telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya sehingga terjadi proses yang mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu.
Dari ketiga ungkapan Guldmann di atas terlihat bahwa setiap kelompok bertanggung jawab akan keseimbangan lingkungannya. Sebagai lingkungan yang menghasilkan karya sastra tentunya akan mempengaruhi sebuah karya sastra. Adanya homologi antara struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama, (Faruk 2005:15).
Lahirnya sebuah teori strukturalisme genetik bermula dari penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna. Hal itu sangat berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita dan norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang dalam kultur sosial tertentu Teeuw (dalam Jabrodin 2001:62). Jelasnya bahwa sebuah penafsiran karya sastra dengan menghilangkan pengarang serta eksistensinya di dalam, maka keobjektivitasannya suatu penafsiran itu diragukan, karena campur tangan pembaca lebih besar dalam penafsiran karya sastra.
Karya sastra adalah sebuah struktur, akan tetapi struktur bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk 2005:12). Adanya pendapat Goldmann yang mengemukakan bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua bahwa dalam usahanya mengekpresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, obyek-obyek dan relasi-relasi secara imajiner.
Gurit Nonton Ronggeng karya Warto Tirta adalah sebuah karya sastra yang lahir di tengah- tengah kehidupan masyarakat. Hal itu tentunya tidak akan terlepas dari faktor sejarah, masyarakat, dan pengarang itu sendiri. Stilistika sebagai sebuah metode untuk membedah sebuah karya sastra akan terlihat keobjektivitas pengkaji bila tidak menghiraukan faktor sejarah masyarakat dan pengarang itu sendiri (faktor genetik). Adanya hal itu sebuah karya sastra Gurit Nonton Ronggeng nantinya akan dianalisis dengan metode stilistika genetik. Hal itu dimaksudkan bahwa selain bermanfaat dan berdaya guna, peneliti juga tidak melupakan atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh pengarang dengan memanfaatkan faktor imajinasi.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian geguritan karya Warto Tirta ini menggunakan pendekatan Stilistika Genetik dengan teori Stilistika. Pendekatan ini menganggap bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dengan karya sastra, di mana bahasa mempunyai tugas penting dalam kehadiran karya sastra (Jabrohim 2001:63). Pendekatan ini mengkaji masalah gaya bahasa yaitu kategori permajasan (majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora) serta melihat seberapa besar pengaruh pengarang dan masyarakat terhadap geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta. Hal tersebut dilihat dari faktor genetiknya.

3.2 Sasaran Penelitian.
Sasaran dalam penelitian ini adalah gaya bahasa yang digunakan dalam antologi gurit Banyumasan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta terutama kategori permajasan (majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora) serta melihat seberapa besar pengaruh pengarang dan masyarakat terhadap terciptanya geguritan tersebut.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam yaitu berupa teks dan wawancara. Teks berupa geguritan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta yang ditulis dari tahun 2004-2006 sebanyak 44 geguritan. Data dalam penelitian ini berupa geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta yang diduga mengandung gaya bahasa dalam kategori permajasan (majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora). Adapun sumber wawancara berupa data dari penulis, pembaca, serta lingkungan masyarakat sekitar.

3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah mendiskripsikan dan menganalisis berupa gaya bahasa yang terdiri atas unsur permajasan (meliputi Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora). Penelitian ini juga melihat seberapa besar faktor genetik (sosiohistoris pengarang, serta melihat seberapa besar pengaruh masyarakat terhadap geguritan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta).
Langkah-langkah teknik analisis data dibagi dalam tiga tahapan yaitu:
3.3.1 Tahap pertama (analisis teks)
1) Membaca teks geguritan Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta secara berulang-ulang guna memahami isinya.
2) Mencari kategori permajasan yaitu Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora yang terdapat dalam gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.
3) Mengumpulkan kategori permajasan yaitu Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora yang terdapat dalam gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.
4) Menganalisis kategori majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora.
5) Mendiskripsikan wujud kategori majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora yang terdapat dalam gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.
6) Menjelaskan peranan kategori majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora yang terdapat dalam gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.
7) Menyimpulkan pemakaian kategori majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personifikasi, dan Metafora yang terdapat dalam gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta.

3.3.2 Tahap kedua
Dalam tahap kedua dibagi ke dalam dua tahap yaitu obervasi dan wawancara.
3.3.2.1 Teknik Observasi

Observasi adalah upaya untuk merumuskan suatu permasalahan, membandingkan masalah yang dirumuskan dengan kenyataan di lapangan, pemahaman secara mendetail dari permasalahan guna menemukan data yang didapat dari pertanyaan yang akan diberikan kepada informan serta untuk menemukan starategi pengambilan data dan bentuk perolehan, pemahaman yang dianggap paling tepat.
Observasi dalam penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Observasi yang dilakukan mengenai sejarah, sosial budaya, dan lingkungan masyarakat Ajibarang. Guna mendapatkan kebenaran data dari informan yang memang betul-betul mengetahui secara pasti informasi untuk mendapatkan data yang valid.

3.3.2.2 Teknik Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara memberikan jawaban atas peranyaan itu.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data melalui percakapan dengan informan. Teknik yang digunakan dalam wawancara menggunakan bentuk wawancara terarah dan tidak terarah. Wawancara terarah dilakukan dengan menggunakan materi yang telah dipersiapkan sehingga jawaban yang diberikan oleh informan diharapkan sesuai dengan yang diharapkan. Wawancara tidak terarah bersifat bebas, santai dan memberikan seluas-luasnya kepada informan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, dengan demikian apabila ada hal-hal yang tak terduga mengacu pada permasalahan materi sehingga dapat melengkapi.
Wawancara merupakan cara yang dipergunakan seseorang untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan informan. Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dan data dalam rangka suatu penelitian masyarakat.


3.3.2 Tahap Ketiga (analisis data)
Analisis data yang terakhir yaitu dengan cara menyinkronkan data yang ada. Tahapan pertama yang dilakukan yaitu membaca hasil kedua hasil analisis berupa teks dan hasil wawancara. Pembacaan hasil kedua analisis tersebut dilakukan guna memahami kedua data itu.
Tahap akhir dari penganalisisan data yaitu melakukan pengecekan dengan teori yang ada. Hal ini dimaksudkan guna mengetahui seberapa besar keterkaitan data dari lapangan (hasil wawancara) dengan teks geguritan Nonton Ronggeng.

Tidak ada komentar: