Breaking

Minggu, September 05, 2010

genetika gurit banyumasan II

BAB IV
GENETIKA GURIT BANYUMASAN NONTON RONGGENG
KARYA WARTO TIRTA

Analisis pada bab empat ini meliputi unsur majas dan makna parikan dalam geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta, serta unsur genetiknya. Genetik, merupakan sebuah asal-usul karya sastra. Adanya hubungan antara genetika dengan karya sastra tentu berhubungan erat dengan penggunaan gaya bahasa yang digunakan. Hal itu karena waktu, sejarah dan masyarakat mempengaruhi terhadap proses terciptanya karya
sastra baik dari isi bentuk atau strukturnya. Adanya faktor tersebut karya sastra sepenuhnya dipengaruhi oleh pengarang dan kenyataan sejarah yang mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Dalam geguritan Nonton Ronggeng karya Warto Tirta ditemukan adanya penggunaan bahasa kias serta makna Parikan yang berhubungan dengan unsur genetik.
Menurut Riffateree (dalam Prabowo 2007:13) bahasa kias disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Yang dimaksud metafora dan metonimi (secara umum) adalah kiasan yang meliputi metonimi, sinekdok, simile, personifikasi, dan metafora.
Parikan merupakan bentuk variasi bahasa yang digunakan dalam antologi Nonton Ronggeng karya Warto Tirta. Adanya hal tersebut, parikan berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan dalam membaca, dan ditemukan adanya maksud yang berfungsi sebagai penjelas dalam geguritan. Dalam antologi geguritan Nonton Ronggeng tidak semua memiliki parikan, 44 geguritan yang ada 14 geguritan yang menggunakan parikan.

4.1 Diksi
Bahasa khas Banyumasan yang digunakan dalam geguritan Nonton Ronggeng Karya WartoTirta.

Ngapak (Banyumasan) Jawa Indonesia
Angger Yen Jika
Bacin Mambu Bau yang tidak sedap
Banger Nangis Menangis keras
Batir Liyan Orang lain
Bengkeres Atis Dingin sekali
Beruruten Ampak-ampak Berkabut
Bithen Nolak Nolak
Bithing Bithing Peniti
Biyung Makne Ibu
Blukang Blukang Pelepah daun kelapa
Blumbang Lubang Lubang sampah
Budin telo Singkong / ketela pohon
Caos Nyediani Sedia
Ceblaka Kebuka Terbuka
Centheng Pimpinan Ketua
Centhong Senthong Kamar tidur
Corong-corong Speker Pengeras suara
Dawegan Degan Kelapa muda
Deambah Dipidak Diinjak
Degemborna Deswarani Disuarakan
Depe Depepe Dijemur
Deres Deres Deras
Dhingklik dingklik Kursi
Dhos-dhosan Adus Bermain mandi-mandian
Diklethak Decakot Digigit
Dleweran Mancur Bercucuran
Domeih Denesoni Dimarahi
Dromelan Delian Permaian anak seperti petak umpet
Empakna Depakanke Dimakankan
Gagiyan Cepetan Cepatlah
Gapyak - Ramah
Gebedan Pacar Pacar
Gedheg Pager Pagar yang terbuat dari anyaman bambu
Gegiyan Cepetan Cepatlah
Gela gelo Gedheg-gedheg Geleng-geleng
Gembelengan Kemaki Sombong
Gembrumyang - Surara barang jatuh yang sangat keras
Gemiyen Mbiyen Dulu
Gendhakan Bojo Pacar atau pasangannya
Gering aking Gering banget Kurus sekali
Gerongan Nembang Bernyanyi
Gigal Tiba Jatuh
Ginggang Pisah Pisah
Gobang Pedang Pedang
Gumlewang Kabur Melayang
Incig-incig - Tiba-tiba
Inyong Aku Saya
Jagong Lungguh Duduk
Jenggelek Tangi Bangun
Jonjang - Permainan anak-anak yang biasanya dilakukan dimalam hari
Jonjang Linthongan - Permaian tradisional banyumas
Jublegan lungguhan Duduk santai
Kecubrukan - Berjalan ditempat yang kumuh (selokan)
Kemluthuk kemluthuk Suara kaki kuda
Kencot Ngelih Lapar
Klawad-kliwid - Berpakaian minim
Klawar klowor Planga-plongo Melihat dengan ratapan kosong
Kluban Sayuran Sayur
Leleran - Hamparan lumpur yang akan ditanami padi
Mboke makne Ibunya
Menek Munggah Naik
Mijahan Tumis Tumisan
Mlarah-mlarah Akeh banget Banyak sekali
Mledhug Mbledos Meledak
Mlengos Mlengos Membuang muka atau berpaling
Mlompong Ngalamun Melamun dengan pikiran kosong
Murub Murup Menyala
Ndepa Sujud Sujud
Ndhangar Nglengek Jalan yang tidak fokus pada jalannya
Ngandut Meteng Hamil
Ngebor Ngebor Mengebor
Ngebul kemeluk Berasap
Ngenthoar Nggembor Bersuara keras sekali
Nglangut Ngalamun Melamun karena sebuah masalah
Ngodhe Buruh Bekerja untuk orang lain demi mendapatkan imbalan
Njacrah Akeh banget Banyak sekali
Njekangkang Mekangkang Jatuh terlentang
Njeprah Akeh banget Banyak sekali
Njeprah akeh Banyak sekali
Nungsang Kesusu Tergesa-gesa
Nyekek Mangan Makan
Nylekamin Enak Nikmat kusus makanan
Oyos-oyosan Udan-udanan Hujan-hujanan
Pating penthiur Pating mentiyung Melambai-lambai (untuk pohon yang terkena angin)
Pedangan Pawon Dapur
Pedaringan Pedaringan Tempat menyimpan beras
Pekarangan Pekarangan Kebun disekitar rumah
Penayagan Niyaga Orang yang ikut memainkan alat musik jawa
Pengered Bandar Tumpuan kayu sebagai penguat atap rumah
Perek nyathek Cedhak banget Dekat sekali
Plarad-plorod Lunyu Banget Licin sekali
Plinthat-plinthut Umpat-umpet Gerakan yang biasanya takut diketahui orang lain (gerakan yang biasanya dilakukan maling)
Pog ging pog Pol-pole Ujung-ujungnya
Reang Rame Ramai
Remyeng Samar-samar Ramai yang tidak teratur
Remyeng Samar Anara jelas dan tidak (samar-samar)
Repek - Kayu bakar
Rewah Rewah Ribet
Rewang Ngrewangi Membantu
rika Kamu Kamu
Risban Kursi Kursi panjang
Ronggeng Ronggeng Tarian tradisional Banyumas
Segebong - Banyak sekali
Selot suwe Saya-suwi Semakin lama
Separan-separan seolihe Sedapatnya
Sepirang-pirang Akeh banget Banyak sekali
Sesuwen-suwen Suwe banget Selama-lamanya
Slempang Mlayu Lari karena takut
Slenthar slenther Nganah-ngeneh Kesana-kemari
Sumpeg Sumpek Pikiran yang sedang tidak karuan
Tandhakan Nembang Bernyanyi
Tedheng Aling-aling Pelindung
Tekong pekong Juragan cina
Teyeng bisa Dapat
Tlenjeng Sambal Sambal lombok tanpa campuran apa-apa
tritis Emperan Tempat jatuhnya air ujan dari genting
Tulakan Tegalan Ladang
Ublek ngepul Berasap
Umnyeng Samar-samar Antara terlihat dan tidak (samar-samar)
Umpruk abab Akeh omong Banyak bicara yang tidak bermutu
Uput-uput Esuk-esuk Pagi sekai masih samar-samar
Uyel-uyelan Suksukan Desak-desakan

4.1.1 Majas
Majas pada penelitian ini meliputi; majas Metonimi, Sinekdok, Simile, Personipikasi, dan Metafora. Sinekdok itu sendiri dibagi kedalam tiga jenis yaitu Pars Pro Toto, Totum Pro Parte, dan majas Pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan itu.
4.1.1.1 Metonimi
Metomini adalah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat. Dengan kata lain, pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain karena adanya unsur-unsur yang berdekatan antara kedua pengertian itu. Kaitan itu berdasarkan berbagai motivasi, misalnya hubungan kausal, logika, hubungan waktu, dan ruang (Jabrohim dkk 2003:51). Hal itu tampak pada geguritan Penganten Anyar di bawah ini.
....................................
besan teka gawa jodang isi panganan
bakal penganten dedandani moler pisan
sing wadon lambene menter menter
sing lanang maras degdegan raine menger-menger
pengulu teka penganten ngijab
rampung ngijab terus jejer
tumpeng ingkung neng meja ander
swasana bungah rame-rame
deselingi campursari lewih maen
........................................
(hal 49 bait ke-2)
besan datang membawa jodang berisi makanan
calon pengantin dirias dengan cantiknya
yang perempuan bibirnya merah
yang laki-laki merasa gemetar sampai mukanya merah
penghulu datang penganten ijab kobul
selesai ijab kobul lalu bersanding di pelaminan
tumpeng ingkung di meja penuh
suara senang begitu ramai
diiringi campursari lebih menarik

Geguritan ini merupakan gambaran sosok pengantin baru. Hal itu digambarkan ketika seorang pengantin merasa salah tingkah ketika rasa takut yang dirasakan menghadapi orang yang disayanginya berada di kamar berdua. Hal itu merupakan gambaran kecil dari isi geguritan Penganten Anyar.
Geguritan di atas terdapat majas metonimi yang terdapat pada baris ketujuh yang berbunyi tumpeng ingkung neng meja ander “tumpeng ingkung di meja penuh”. Kata ingkung merupakan sebuah nama ciri dari ayam yang sudah dimasak. Hal seperti itu biasanya digunakan pada acara-acara tertentu, seperti pernikahan atau acara-acara sakral lainnya. Unsur majas metonimi terletak pada penggunaan kata ingkung yang digunakan sebagai pengganti nama barang.
Adanya unsur metonimi dalam geguritan di atas dikarenakan karena adanya sebuah ciri yang digunakan berupa kata ingkung, secara tidak langsung orang akan tahu makasud dari kata tersebut. Kata ingkung merujuk pada pengertian ayam.
Majas metonimi juga tampak pada geguritan Tunilan Lan Tukang Unther yang ada di bawah ini.
...................................
bocah cilik ngrubung bakul thoet-thoetan
sing tua rogoh sak ngetokena recehan
sing lagi gendhakan glenak glenik jawilan
tukang unther ndodhok ngisor wit gedhang
main kipyik degusah hansip
malyu genthurit kebirit-birit
pithine gigal
dadune kesingsal
dhuite ilang
modal urung bali tunilan bubar
balik ngomah kedangar-dangar
bukak lawang tiba kejengkang
bojone weruh kaget jengkel sumbar
anake nangis njaluk jajan
ora denei nangis gulangsaran
.............................
(hal 51 bait ke-3)
Anak kecil mengitari pedagang manian dan balon
Yang tua masuk kesaku mengambil uang kecil
Yang sedang berpacaran sedang berjawilan tangan
tukang uter duduk di bawah pohon pisang
pemain judi kipyik diusir hansip
lari sampai tersandung-sandung
kotaknya jatuh
dadunya tersenggol
uangnya hilang
mobil belum kembali tulisan selesai
pulang ke rumah tak melihat jalan
membuka pintu jatuh tersungkur
istrinya melihat kaget marah dengan kerasnya
anaknya menangis bangun minta jajan
tidak dikasih menangis dengan kerasnya

Tunilan merupakan sebuah acara yang biasanya berada di desa pada perayaan tujuh belasan atau peringatan-peringatan lainnya sebagai sarana hiburan. Seorang Tukang Unther biasanya juga ada saat acara-acara tersebut. Seorang Tukang Unther atau tukang judi, sebagai salah satu permainan atau hiburan yang merusak kehikmatan peringatan bersejarah tersebut, seperti yang digambarkan dalam geguritan Tunilan lan Tukang Unther.
Pada geguritan di atas, unsur majas metonimia dijumpai pada baris kedua yang berbunyi sing tua rogoh sak ngetokena recehan “yang tua di dalam saku mengambil uang recehan”. Dalam baris itu terdapat penggunaan kata recehan. Recehan “uang kecil” yang dimaksud merupakan salah satu ciri dari uang. Penggunaan kata uang kecil merupakan ungkapan untuk mengatakan ciri.
Adanya unsur metonimi yang digunakan dalam geguritan tersebut terdapat pada penggunaan nama ciri dari uang. Kata recehan secara langsung orang akan tahu maksud dari ungkapan tersebut, meskipun tanpa sebuah penjelasan. Receh, klening, kricik merupakan bahasa Banyumas yang biasa digunakan untuk menyebutkan uang kecil.

4.1.1.2 Sinekdok
Sinekdok terdiri dari tiga jenis yaitu (1)majas pertautan yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya (Pars Pro Toto).(2). Majas pertautan yang menyebutkan nama bagiannya (Totum Pro Parte) dan (3) Majas yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan itu (KBBI 1995:944).

4.1.1.2.1 Majas Pars Pro Toto
Majas Pars Pro Toto atau majas pertautan yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya. Hal itu tampak pada geguritan Kebut-kebutan di bawah ini:
wengi teka mangkat begadang
nganggo jaket jin katon gagah
numpak otor anyar gembelengan
metu gili kebut-kebutan
stang glewang tiba njekangkang
awak tatu getih mlarah-mlarah
wong tuane ngerti buru tilik
kaget nangis ngulang-nguling
kemutan motor kridit urung lunas
uang muka bae dadak adol lemah warisan
mung kanggo nyenengna anak sing dekudang
lah koh malah tiba motor ringsek ora karuan
................................
(hal 53 bait ke-1)
malam datang berangkat bergadang
memakai jaket jin terlihat gagah
naik motor baru
masuk jalan kebut-kebutan
stang mbelok jatuh tersungkur
badan luka darah dimana-mana
orang tua tahu cepat menjenguk
kaget menangis terguling-guling
teringat motor kredit belum lunas
uang muka saja menjual tanah warisan
hanya untuk menyenangkan anak yang tersayang
lah ternyata jatuh dari motor hancur tak karuan

Kebut-Kebutan merupakan suatu prilaku yang biasanya dilakukan oleh para pemuda demi sebuah gengsi. Geguritan ini memberikan sebuah gambaran rasa kasih sayang orang tua yang disalah gunakan.
Majas Pars Pro Toto pada teks di atas tampak pada baris ke-6 yang berbunyi awak tatu getih mlarah-mlarah “badan luka darah di mana-mana”. Dalam baris itu terdapat penggunaan frasa getih mlarah-mlarah “darah dimana-mana” hal itu merupakan ungkapan untuk mengatakan bahwa, seluruh tubuhnya terluka. Penyebutan darah di mana-mana merupakan ungkapan sebagian untuk keseluruhan. Kata darah itu sendiri merupakan sebuah perwakilan untuk mengungkapkan seluruh tubuhnya yang terluka parah.
Adanya unsur majas Pars Pro Toto pada geguritan Kebut-Kebutan dikarenakan adanya penggunaan nama darah. Darah adalah bagian dari tubuh mahluk hidup. Frasa darah di mana-mana merupakan gambaran dari tubuh yang terluka parah, secara langsung orang mendengar pertakatan tersebut, akan menangkap maksud ucapan tersebut.

4.1.1.2.2 Majas Totum Pro Parte
Majas pertautan yang menyebutkan nama bagiannya (Totum Pro Parte). Hal itu tampak pada geguritan Mboke berikut:
.......................
Mboke, mboke
lamun inyong nglongok senthong
mbukak klambu amben kasang mlompong
rasa getun ora bisa omong
kemutan nuli kebecikan
dadi segara
wadahing anak putui sebrayat kandhang benteng
...........................
(hal 7 bait ke-5)

Ibu-ibu
jika melihat ke kamar
membuka klambu sudah tidak ada lagi
rasa haru tidak dapat dikata
ingat ketika kebaikan
menjadi lautan
tempatnya anak cucu satu desa

Geguritan Mboke merupakan ungkapan sebuah kesedihan karena ditinggal seorang ibu yang sangat mencintai dirinya. Dalam geguritan ini juga merupakan gambaran penyesalan dari seorang anak yang merasa kurang berbakti kepada ibunya. Gambaran seorang ibu yang dipuja-puja lebih dulu pergi meninggalkannya.
Dalam geguritan di atas unsur Totum pro parte tampak pada baris ke-6 yang berbunyi, wadahing anak putu sebrayat kandhang benteng “tempatnya anak cucu satu desa”. Frase kandhang benteng “satu desa” digunakan oleh pengarang untuk meyebut keluarga besarnya. Penyebutan satu desa yang dilakukan pengarang menunjukan sebagian untuk keseluruhan. Ungkapan itu merupakan sebuah gambaran kehidupan keluarga dalam satu rumah yang ditempati oleh banyak orang.
Adanya unsur majas Totum pro parte pada geguritan di atas karena penggunaan kata benteng. Benteng merupakan sebuah gambaran dari lingkungan begitu luas. Kata benteng biasanya digunakan untuk kata-kata seperti benteng Kerajaan, benteng Kadipaten. Ungkapan benteng yang digambarkan geguritan di atas adalah kata yang digunakan untuk satu rumah yang dihuni oleh satu keluarga besar. Benteng merupakan sebuah perluasan untuk mengatakan rumah.

4.1.1.2.3 Majas Pertautan yang Menyebutkan Nama Bahan sebagai Pengganti Nama Barang yang Terbuat dari Bahan Itu.
Majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan itu. Hal itu tampak pada geguritan yang berjudul Deres yang ada di bawah ini.
wong desa iyong esuk mruput esih pedhut
padha gumregah mangkat ngodhe
kathok klor sandhal bodol mikul pongkor
kaos oblong nyangklong arit
rewah rewoh kaput embun
urung mangan aplak-eplek
weteng suwung esih kelet
sarap wedang secangkir
kango dhasar menek klapa dhuwur
pating pethiur sundul mega
lunyu banyu plarad plorod ati kelad kelod
mapah blukang kanggo thingkrang
bledeg ngampar ora dadi soal
kalipur memble luber badheg sepongkor
udan deres awak bengkeres
emut anak bojo butuh mangan
golet dhuwit terut setetes manggar
...................................
(hal 15 bait ke-1)

orang desa pagi-pagi buta, masih berkabut
sudah semangat berangkat bekerja
celana kolor sandal rusak memikul pongkor
baju lengan pendek sambil membawa sabit
masih gelap oleh kabut
belum makan apa-apa
perutpun lapar karena masih kosong
hanya minum segelas air
untuk bekal naik pohon kelapa tinggi
begitu tingginya seakan sampai ke langit
karena airpun jadi begitu licinnya
batang kelapa sebagai tempat duduk
petir menyambar bukan masalah baginya
saripun sudah penuh satu bumbung sampai tumpah
hujan deras sampai badan menggigil
ingit anak istri perlu makan
mencari uang setiap satu tetes air manggar

Deres merupakan salah satu sebutan untuk pengrajin gula. Gula merupakan salah satu potensi alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat Banyumas untuk mencukupi kehidupannya. Banyumas yang sebagian merupakan dataran rendah (termasuk wilayah Ajibarang), merupakan tempat yang subur untuk ditanami pohon kelapa. Itulah gambaran yang diceritakan dalam geguritan Deres.
Geguritan tersebut, unsur majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang terbuat dari bahan tersebut, dapat dilihat pada baris ke-17 yang berbunyi golet dhuwit terut setetes manggar “mencari uang setiap satu tetes air manggar”. Air manggar merupakan ungkapan untuk menyebutkan gula.
Adapun penggunaan majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang yang terbuat dari bahan itu karena penggunan kata air manggar yang digunakan dalam geguritan tersebut. Kata air manggar secara tidak langsung orang akan memahami ungkapan tersebut. Air manggar (badheg) merupakan bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan gula kelapa.
Majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang juga ditemukan pada geguritan Monumen Soedirman, pada penggalan geguritan di bawah ini:
pinggir kali nadhah udan ngadhep gili
patung jendral Soedirman gawe ngeling eling
menawa laladan perang wis mari
ningane aja lali pegat mati
berjuang mangul bedil urak ladi
bambu runcing nggugah ati
rakyat Indonesia cancut tali wonda
bela kamardhikaane nagari
........................
(hal 19 bait ke-1)
di tepi sungai sebagai penangkal hujan dan menghadap kejalan
patung Jendral Soedirman membuat teringat-ingat
bahwa masa peperangan sudah usai
tetapi jangan dilupa sampai mati
senapanpun tidak ditakutinya demi perjuangan
bambu runcing menggugah hati
rakyat Indonesia berjuang dengan tekadnya
membela kemerdekaan negeri

Cerita ini merupakan gambaran sosok pahlawan dari sebuah Monumen Soedirman. Seorang teladan dari desa yang mempunyai jiwa pejuang tinggi. Di atas kuda, dengan gagah berani dan tekad yang tinggi. Patung Jendral Soedirman terlihat melambai-lambai sebagai pertanda kalau perang sudah selesai.
Dalam geguritan di atas, unsur majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang terbuat dari bahan, dapat dilihat pada baris ke-6 yang berbunyi bambu runcing nggugah ati ‘bambu runcing menggugah hati’. Bambu runcing merupakan sebutan untuk tombak yang digunakan rakyat Indonesa pada masa perjuangan.
Adapun unsur majas pertautan yang menyebutkan nama bahan sebagai pengganti nama barang terbuat dari bahan, terdapat pada penggunaan kata bambu runcing. Secara langsung orang akan tahu kalau penggunaan kata bambu runcing merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyebutkan sebuah tombak.

4.1.1.3 Simile
Perbandingan atau perumpamaan atau simile dengan hal lain mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, semisal, seumpama, laksana, sepantun, se dan kata-kata pembanding lain (Pradopo 2002:62). Hal itu tampak pada geguritan berikut:
........................
gawe slametan ngaturi tangga saubenging umah
adat sowan mring dhewi sri sing nuruni lan nguri-nguri pari
sumrambah makmur kadhang tani
sujud pertiwi lemah subur detanduri
caos sajen kanggo ngabekti
roh leluhur wis padha mati
sing kerumat apa dene sing keliwat
sing kerapuan apa sing kesingsal
sedulur papat lima pancer
bubur abang bubur putih
wedang clebek wedang bening
dawegan wis cemawis
rokok linting klembak menyan
kupat lepet ngepung tumpeng
madhep mantep sidheku mlempeng
lebe teka urun donga
kanggo syarat niat khajat
...................................
(hal 13 bait ke-2)
untuk slametan mengundang tetangga sekitar rumah
adatnya berdoa kepada dewi padi yang memberi dan merawat padi
memberi kemakmuran kepada petani
sujud syukur tanah subur ditanami
membuat sajen sebagai tanda terima kasih
roh leluhur yang sudah mati
yang terpelihara dan yang terlewatkan
yang rapuh atau yang terselip
keluarga empat lima penutup
bubur merah, bubur putih
air kopi, air putih
kelapa muda sudah tersedia
rokok lintingan klembak menyan
kupat lepet mengitari tumpeng
hikmat sujud mantep
kyai datang untuk memberi doa
sebagai syarat niat baik

Sebagai sebuah adat yang ada di pedesaan, tentunya acara slametan bukanlah hal yang asing bagi pengarang. Sebuah rasa syukur yang biasanya dilakukan oleh masyarakat desa ketika waktu panen tiba. Ini merupakan gambaran isi geguritan Slametan Mimiti Pari.
Pada geguritan di atas majas simile ditemukan pada baris ke-10, 11 yang berbunyi bubur abang bubur putih, wedang clebek wedang bening “bubur merah, bubur putih, air kopi, air putih”. Dalam geguritan ini dilukiskan berbagai macam sesaji, dari bubur merah, bubur putih, air putih, sampai kopipun ada.
Dalam geguritan tersebut, unsur simile tampak pada bentuk sesaji yang beraneka macam yang diwakili dengan adanya bubur putih, air kopi, air putih. Ungkapan bubur putih, air kopi, air putih merupakan syarat atau bahan yang digunakan dalam sesaji.

4.1.1.4 Personifikasi
Personifikasi sering disebut juga dengan “perorangan”, ialah suatu cara memperjelas maksud dengan menjadikan benda-benda yang digambarkan tersebut seperti manusia. Dengan kata lain suatu cara berbahasa dengan menghidupkan benda-benda mati dan memberinya sifat-sifat seperti yang dimiliki oleh manusia (Suhaianto 2005:71).
Geguritan dengan judul Nonton Ronggeng yang berbunyi swara panggung tambah sumunar “suasana panggung tambah semarak” merupakan salah satu majas personifikasi, dalam kutipan teks geguritan di bawah ini:
..............................
slup
tangane aslap uslup
ronggenge keri jingkat jingkut
ngop sengop pipine mlengos
slendang sampur munggah mudhun
kembang mawar mubyar-mubyar
swara panggung tambah sumunar
.................................
(hal 1 bait ke-2)
slup
tangannya keluar masuk
ronggeng kegelian jingkat jingkut
ngop sengop pipinya berpaling
selendang di tangan naik turun
bunga mawar sedang mekar
suara panggung tambah semarak

Geguritan Nonton Ronggeng merupakan salah satu bentuk fotret kesenian yang ada di daerah Banyumas. Sebuah kesenian yang biasanya diperankan oleh penari wanita. Disitu diceritakan bahwa seorang laki-laki sampai lupa anak istri, hal itu kadang ada benarnya karena begitu menggoda seperti yang digambarkan dalam geguritan tersebut. Ronggeng merupakan kesenian dari Jawa Barat yang dikenal dengan lengger, ketika berada di Banyumas tarian ini bernama Ronggeng. Ronggeng merupakan kesenian yang paling digemari oleh para pemuda, tarian yang begitu seksi sehingga memanjakan para pemuda. Di tempat itulah biasanya, ia merayakan kegembiraannya dengan minum-minuman keras untuk meningkatkan tingkat percaya dirinya. Itulah gambaran dari geguritan Nonton Ronggeng.
Pada baris ketujuh geguritan di atas, unsur majas personifikasi tampak pada penggunaan frasa swara panggung “suara panggung”. Panggung dilukiskan seperti manusia yang mempunyai mulut sehingga bisa bersuara. Makna suara panggung itu sendiri merupakan gambaran suasana panggung yang begitu ramai.
Adanya penggunaan majas personifikasi pada geguritan tersebut didasarkan pada penggunaan kata panggung. Panggung digambarkan dalam geguritan Nonton Ronggeng dilihat hidup seperti manuisa.
Majas personifikasi juga tampak pada geguritan Alun-alun Purwakarta, di bawah ini.
thiar rhiur katon subur
manuk blengok manuk kuntul
sliwar sliwer blebar bleber padha mabur
mider mider ngubengi alun-alun
ora keder ora bingung
sempyak sempyur mabur dhuwur
menclok gendhen kabupaten
nyucuk tuma ndara siten
olih amplop aja iren
wong nasib wong wis kapesthen
mulane ana rejeki aja padha bithen
..................................................
(hal 3 bait ke-1)

beringin rindang berdiri dengan tegaknya
melambai-lambai kelihatan subur
burung blengok burung kuntul
lewat berkali-kali mengitari alun-alun
berputar-putar mengitari alun-alun
tidak tersesat tidak bingung
melambai-lambai terbang tinggi
hinggap digenting kabupaten
makan kutu gadis siapa
dapat amplop jangan iri hati
nasib orang ada yang membagi
makanya rejeki orang lain jangan minder
Alun-alun merupakan salah satu ciri dari sebuah kota, yang terletak di tengah-tengah pusat kota. Purwakarta “Purwokerto”, merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi masyarakat Banyumas. Di sini pengarang memotret sebuah alun-alun Purwokerto pada masa lalu, yang dihiasi dengan rindangnya pohon beringin. Bupati dan para pegawainya digambarkan sedang rapat, hal itu karena pusat pemerintahan berada di sekitar alun-alun. Itulah gambaran isi geguritan Alun-alun Purwakarta
Teks geguritan tersebut di atas mengandung penggambaran benda mati seperti manusia, yaitu tampak pada baris pertama dan kedua yang berbunyi wringin ribyong madheg dhuwur, thiar rhiur katon subur “beringin rindang berdiri dengan tegaknya, melambai-lambai kelihatan subur”. Thiar rhiur merupakan gambaran pepohonan yang begitu rindang dan subur sehingga digambarkan melambai-lambai seperti tangan manusia. Personifikasi merupakaan penggambaraan benda mati seperti manusia digambarkan pada frasa thiar rhiur yang seakan-akan mempunyai tangan seperti manusia.
Majas personifikasi juga dijumpai pada geguritan Ngenteni Babaran yaitu terletak pada kalimat barat gedhe ngamuk gunung “angin kencang menghantam gunung”, dalam teks di bawah ini.
..............................
turu ora lali awak nggreges kringet dleweran
ngadeg ora jejeg
njagong anggang onggong
jantung dheg-dheg pyar
barat gedhe ngamuk gunung
peteng dhedhet asem kecut
ora bisa sambat warah bundhet
njing gonjnag ganjing bumi monyang manying
bleg ubleg- ubleg atine tambah sulek
irung bumpet ora pilek
...................................
(hal 9 bait ke-2)
tidur tidak nyenyak badan menggigil sampai keringat bercucuran
jantung berdetak kencang
angin kencang menghantam gunung
gelap gulita, mangga masam (Susana kacau)
tak dapat minta tolong menjadi kebimbangan
njing gonjang ganjing bumi monyang-manying (suasana kacau)
dibawa dudukpun tak enak hanya menambah gelisah
hidung terasa tersumbat tanpa penyakit plu

Ini adalah sebuah cerita dari seorang laki-laki ketika seorang istri yang dicintainya sedang melahirkan. Penantian yang begitu menakutkan ketika seorang istri yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Geguritan Ngenteni Babaran merupakan gambaran situasi keadaan yang begitu menyeramkan.
Ungkapan ngamuk gunung “menghantam gunung” merupakan gambaran angin yang digambarkan manusia mempunyai tangan sehingga bisa memukul. Hal itu dimaksudkan karena, angin yang begitu kencang yang seakan-akan marah seperti manusia. Ungkapan barat gedhe ngamuk gunung merupakan pengambaran suasana yang sedang kacau. Hal itu diperkuat dengan adanya baris selanjutnya yang berbunyi peteng dhedet asem kecut.
Unsur majas personifikasi yang menyerupai benda mati seperti manusia digambarkan pada ungkapan ngamuk gunung. Ungkapan ngamuk yang berarti memukul merupakan sebuah gambaran sebuah gunung yang digambarkan mempunyai tangan seperti manusia.
Majas personifikasi juga ditemukan pada geguritan Nrawang “menerawang”, sebagai berikut:
............................
ndeleng endahing bumi
lemah subur tanduran padha semi
rejeki mbanyu mili
bocah ngaji padha nuli
lanang wadon padha guyub rukun nyawiji
angon bebek angon meri mlaku ndilir pinggir gili
wong nyambut gawe macul sawah tanduri pari
dhampyak-dhamyak edi peni
latar umah lenang lening
palawija neng pekarangan dhiopeni
sugih bandha sugih rejeki
nyenengi ati
..............................
(hal 10 bait ke-2)
melihat indahnya bumi
tanah subur tanaman saling tumbuh
rejeki seperti air mengalir
anak mengaji saling bersautan
laki-laki perempuan berteman begitu dekatnya
menggiring bebek menggiring meri berjalan beriringan ditepi jalan
petani bekerja di sawah untuk ditanami padi
berdesak-desakan hingga menggoda hati
halaman begitu bersih
palawija ditanam dan terawat
kaya harta kaya rejeki
sungguh menyenangkan hati

Geguritan ini meruapakan sebuah gambaran kesejukan dan keindahan Desa. Tanah yang begitu subur untuk ditanami, sehingga rejeki seakan-akan seperti air mengalir. Rasa kegotong royongan masih dirasa rekat, tidak adanya perbedaan antara satu sama lain. Ikatan persaudaran yang dirasa masih sangat kental, itulah gambaran dari geguritan Nrawang.
Teks geguritan tersebut di atas mengandung penggambaran benda mati seperti manusia, yaitu tampak pada baris kedelapan yang berbunyi dhampyak-dhamyak edi peni “berdesak-desakan hingga menggoda hati”. Dhampyak-dhampyak merupakan gambaran tanaman yang begitu subur sehingga diibaratkan berdesak-desakan. Frasa dhampyak-dhampyak merupakan perumpamaan benda mati yang digambarkan hidup bisa bergerak seperti manusia.
Unsur majas personifikasi yang terkandung di dalam geguritan berjudul Ani-ani terdapat pada baris ketiga yang berbunyi gubug tengah sawah anakseni kringet ndlewer ati bungah “gubuk di tengah sawah menjadi saksi, keringat bercucuran pertanda senang”. Adapun bunyi geguritan Ani-ani tersebut adalah sebagai berikut.
panas nggemplang ora dadi alangan
awak ireng thungtheng nggalur seneng bungah manah
gubug tengah sawah anekseni kringet ndlewer ati bungah
walang mabur pating sleber
cowat cowet cicit cuit
gabah kumpul dadi dhuit
lumbung kebek nabung disit
......................................
(hal 14 bait ke-1)
panas hujan bukan halangan
tubuh hitam kelam pertanda senangnya hati ini
rumah di tengah sawah menjadi saksi, keringat bercucuran pertanda senang
belalang terbang kesana-kemari
cowat-cuwit cici cuwit(suara burung)
padi mengumpul jadi uang
lumbung penuh sebagai tabungan

Ani-ani merupakan salah satu nama cara yang dilakukan para petani dalam memetik padi. Hal itu dilakukanya ketika panen padi di ladang. Masyarakat Banyumas yang sebagian besar bercocok tanam di sawah akan tetapi ada sebagian masyarakat yang memilih berladang. Hal itu lakukan karena daerahnya berupa dataran rendah dan tinggi yang sebagian kurang akan sumber air.
Unsur majas personifikasi tampak pada penggunaan kata gubuk “rumah” pada baris ketiga geguritan di atas. Rumah dilukiskan seperti manusia yang mempunyai mata bisa menjadi saksi. Dalam kenyataannya, rumah adalah benda mati (bukan manusia) sehingga tidak mungkin bisa menjadi saksi. Ungkapan gubuk pada geguritan Ani-ani merupakan unsur majas personifikasi yang menggambarkan benda mati yang hidup seperti manusia.
Unsur majas personifikasi juga terlihat pada geguritan yang berjudul Patung Gathot Soebroto yang berbunyi jebles ana patung Gathot Soebroto ngawe-awe “sampai di patung gatot soebroto melambai-lambai”. Adapun bunyi geguritannya adalah sebagai berikut:
arepa mubeng-mubeng
saka bang wetan Purwakerta
jebles ana patung Gathot Soebrata awe-awe
numpak jaran saguh dedeg padege
motor mobil trek atawabis sliwar sliwer
ngiteri bunderan ngarep er-es-u margono
......................................
(hal 24 bait ke-1)
inginmu berputar-putar
dari sebelah timur Purwokerto
sampai di patung gatot soebroto melambai-lambai
naik kuda tegak berdiri dan berwibawa
sepeda motor, mobil, truk, bis, lewat berkali-kali
mengitari bundaran di depan RSU Margono

Patung Gathot Soebroto merupakan salah satu simbol bagi kota Purwokerto, yang berada di bundaran depan RSU Margono. Sosok seorang yang begitu dibanggakan oleh masyarakat Indonesia. Pejuang yang digambarkan begitu berani mengusir penjajah. Seoarang pejuang yang pantas menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia.
Pada baris ketiga geguritan di atas, unsur majas personifikasi tampak pada penggunaan kata patung. Patung dilukiskan seperti manusia yang mempunyai tangan yang bisa awe-awe “melambai-lambai”. Dalam kenyataannya, patung adalah benda mati, sehingga tidak mungkin bisa melambai-lambaikan tangan. Ungkapan awe-awe pada geguritan Patung Gathot Soebroto mempunyai makna bahwa setiap kali mengitari bundaran RSU Margono Purwokerto, akan terlihat Patung Gathot Soebroto dengan sikap tangan yang seakan-akan melambai-lambaikan tangan. Unsur majas personifikasi yang menggambarkan benda mati, hidup seperti manusia adalah patung yang digambarkan mempunyai tangan seperti manusia sehingga bisa melambai-lambai.
Pada geguritan Terangan dijumpai unsur majas personifikasi yaitu pada baris keempat dan lima yang berbunyi lemah pating bledhag ngablag-ablag “tanah retak-retak terlentang”, pada geguritan di bawah ini:
srengengene padhang
panas nggemplang
neng sawah utawa pekarangan
suket garing nglinthing
lemah pating bledhag
ngablag-ablag
.....................
(hal 31 bait ke-1)
matahari terang
begitu panasnya
tidak di sawah tidak di ladang rumput kering kerontang
tanah retak-retak
terlentang

Terangan adalah waktu dimana musim kemarau tiba. Desa yang tergantung dengan curah hujan untuk bercocok tanam, merasa kesulitan ketika musim kemarau. Ladang, sawah tidak bisa untuk ditanami karena kekeringan. Itulah masa-masa sulit masyarakat desa yang bergantung pada pertanian.
Frasa ngablag-ngablag “terlentang”, merupakan sebuah perumpamaan benda mati yang menyerupai sikap pada manusia. Ungkapan terlentang itu biasanya digunakan untuk sikap seseorang pada posisi tidur ataupun duduk. Hal itu merupakan gambaran begitu luasnya tanah yang mengalami kekeringan sehingga diibaratkan tanah yang terlentang. Secara mudah sikap terlentang pada manusia tentu merupakan sebuah sikap yang membutuhkan tempat begitu luas. Itulah gambaran keadaan tanah pada musim Terangan “kemarau” yang digambarkan hidup sehingga bisa bersikap seperti manusia.
Waktu tak akan pernah berhenti, berganti dari hari ke hari, bulan kebulan, masa kemasa. Waktu tak akan pernah terbendung meskipun sepandai-pandainya orang yang di dunia ini berniat menghentikannya. Waktu akan terus membawa dampak dan perubahan dari anak-anak lalu ke remaja, dewasa, kemudian tua. Itulah sepenggal pengertian geguritan Inyong Kangen Karo Rika di bawah ini.
..............................
ana wadon arep mlirika,weruh bae ora takon
isin maring sekolahe wong pinggiran
eladalah jaman owah wis kebubrah
molah-malik wis ketitik
sekolah tamat dadi pendhidhik, gaji sethithik go sangu urip
selot suwe selot akeh, numpak pit bosen nganti weleh
es ka mlayang mlayu ndhiler
................................
(hal 40 bait ke-1)
ada perempuan meski melirik, melihat saja tak menyapa
malu dengan sekolahnya anak pesisir
eh ternyata jaman berupah sudah terubah
bolak balik sudah tahu
selesai sekolah menjadi guru, gaji sedikit untuk bekal hidup
semakin lama semakin banyak, naik sepeda bosan sampai lelah
melihat motor sampai ngiler
SK melayang lari ke deler

Geguritan ini merupakan sebuah kenangan sekolah, ketika di bangku SMA. Sebuah perbedaan ketika 25 tahun tidak bertemu, saat ini sudah lupa akan wajahnya yang dulu. Kesadarannya timbul ketika ia ingat akan suaranya, yang tidak akan pernah berubah. Tubuh sudah berubah, ketika seorang gadis yang dulu begitu menggoda sekarang tidak lagi. Dulu bisa bangga akan kecantikannya tetapi bukan sekarng karena sudah punya anak dan cucu.
Pada geguritan di atas terdapat majas personifikasi yaitu terdapat pada baris kedelapan yang berbunyi es ka mlayang mlayu ndhiler “SK melayang lari ke deler”. Kata mlayu “lari”, merupakan gambaran benda mati yang diibaratkan benda hidup yang dapat berlari. Lari mengandung pengertian bahwa sebuah surat berharga yaitu surat keputusan pegawai negeri berpindah tangan ke deler untuk jaminan kredit sebuah kendaraan. Unsur majas personifiaksi yang menggambarkan benda mati, hidup seperti manusia yaitu pada kata SK(sebuah surat berharga), yang bisa berlari sampai ke deler.
Pada baris kesatu geguritan Bada yang berbunyi corong-corong mesjid pating genthoar saut-sautan “speker-speker masjid suaranya saling bersaut-sautan” pada geguritan sebagai berikut.
corong-corong mesjid pating genthoar saut-sautan
kalimah takbir ngumandhang neng awang-awang
bedhug detabuh suara tambah syahdu
wulan romadhon jlirit atur pamit
wong puasa sewulan tutug
bayar zakat fitrah nggo nyucikena ibadah
..............................................
(hal 46 bait ke-1)
speaker-speaker masjid bersuara saut-sautan
kalimat takbir terdengar di langit-langit
bedug dipukul menambah sahdunya suasana
bulan ramadhan sebentar lagi akan pergi
berpuasa sebulan penuh
membayar jakat untuk menyucikan ibadah

Bada atau hari raya agama Islam, tentu semua orang tahu. Sebuah perayaaan yang dilakukan sehabis bulan puasa atau hari raya kurban. Seperti yang dilakukan pada umumnya digambarkan bahwa, hari itulah semua orang sibuk untuk bermaaf-maafan.
Unsur majas personifikasi tampak pada penggunaan kata corong-corong “speaker-speaker”. Speker dilukiskan seperti manusia yang mempunyai mulut yang bisa genthor saut-sautan “bersuara saut sautan”. Dalam kenyataan, speaker adalah benda mati(bukan manusia) sehingga tidak mungkin bisa bersaut-sautan. Ungkapan saut-sautan pada geguritan Bada mempunyai makna bahwa waktu bada(Idhul fitri) suara-suara dari speker terdengar di mana-mana. Unsur majas personifikasi yang menggambarkan benda mati, hidup seperti manusia yaitu pada kata speker, yaitu sebuah alat pengeras suara yang digambarkan hidup seperti manusia.

4.1.1.5 Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lain (Pradopo 22002:62). Pada antologi geguritan Nonton Ronggeng hampir seluruh mengandung majas metafora yaitu 28 dari 44 geguritan yang ada di dalamnya.
Geguritan dengan judul Jendral Soedirman yang berbunyi ngombar ati padha gerah “membakar hati yang panas” adapun bunyi geguritannya adalah:
angine crita urung rampung
getih mlarah-mlarah
ngombar ati padha gerah
maju mlaku masang tadhah
wong ewon sing padha takon
sapa jane
swara watuk ngukruk satengahe alas
adoh kana adoh kene
ora sangu bandha ora sangu dhuit
amung dhadha ora tedheng aling-aling
..........................................
(hal 4 bait ke-1)

angin cerita belum usai
darah dimana-mana
membakar hati yang panas
maju berjalan memasang tameng
banyak orang yang bertanya
siapa sebenarnya
suara batuk terdengar di tengah hutan
jauh disana jauh disini
tidak dengn istri tidak berbekal uang
hanya dada tanpa tameng

Jendral Soedirman adalah sosok yang dibanggakan sebagai seorang pemimpin. Seorang yang teguh dalam peendiriannya. Itulah sepenggal isi yang ada dalam geguritan Jendral Soedirman.
Pada baris ketiga geguritan di atas, unsur majas metafora tampak pada penggunaan kata ngobar ati padha gerah “membakar hati panas”, menunjukan sebuah pengertian kobaran semangat. Pengertian memberikan semangat dapat ditangkap dari pengertian membakar hati. Membakar hati yang dimaksud merupakan sebuah kobaran semangat kepada rakyat Indonesia.
Adapun unsur majas metafora merupakan pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan terdapat pada penggunaan kata ngobar. Ngobar adalah ungkapan kata untuk mengungkapakan sebuah kata semangat.
Majas metafora juga dijumpai pada geguritan Wong Desa yang berbunyi ora umuk ora muluk “tidak ulet tidak makan” dalam geguritan di bawah ini.
..........................
ora umuk ora muluk
ana padhang nggolet pangan
ana wengi turu lali
ngepi anak ngepi bojo saben wengi
.............................
(hal 5 bait ke-5)
tidak ulet tidak makan
ada siang mencari makan
ada malam tidur pulas
memeluk anak istri setiap malam

Wilayah Banyumas sebagian besar merupakan berada di pedesaan. Geguritan ini merupakan gambaran aktivitas masyarakat yang lingkupi oleh berbagi macam pekerjaan, antara lain; petani, guru, karyawan kantor, buruh. Orang desa adalah orang yang mempunyai sifat pekerja keras. Itulah yang digambarkan dalam geguritan Wong Desa.
Ungkapan ora umuk ora muluk “tidak ulet tidak makan” merupakan sebuah perumpamaan yang mempunyai makna bahwa barang siapa yang tidak rajin bekerja akan sulit untuk makan. Hal itu diperkuat oleh baris selanjutnya yaitu ana padhang nggolet pangan. Ungkapan ana padhang merujuk pada pengertian adanya siang hari untuk nggolet pangan “mencari makan”. Adapun makna yang ingin disampaikan adalah sebuah prinsif hidup, adanya waktu siang dan malam tentu mempunyai fungsi tersendiri. Kapan untuk bekerja dan kapan waktu untuk istirahat.
Pada geguritan Kemutan Jaman Semana juga dijumpai kalimat weruh dhuit matane ora ijo “lihat uang matanya tidak bermata hijau”, dalam teks di bawah ini.
...................................
urung akeh sing duwe tivi utawa radhio
urung padha sekolah esih akeh sing bodho
nanging wong desa ora gelem delombo
weruh dhuit matane ora ijo
...................................
(hal 6 bait ke-8)
belum banyak yang punya televisi dan radio
jarang yang sekolah banyak yang bodoh
tetapi orang desa tidak dapat dibohongi
lihat uang matanya hijau

Geguritan ini merupakan cerita masa kecil, sebuah suasana yang masih dirasa melekat sampai sekarang. Seorang anak begitu patuh pada ibunya, sebagai anak laki-laki ia mau menggantikan ibunya memasak di dapur. Suasana sepi melekat waktu itu tanpa radio apalagi televisi, meskipun begitu orang desa tidak suka kalau dibohongi.
Ungkapan matane ora ijo “matanya tidak hijau”, merupakan sebuah perumpamaan, guna memperhalus perkataan. Matane ora ijo yang dimaksud merupakan gambaran manusia yang tidak gila harta. Ungkapan hijo pada mata merujuk pada bentuk uang itu sendiri. Sebagian besar uang berwarna hijau, sehingga ungkapan itu muncul untuk memberikan ungkapan kepada manusia yang gila harta. Pemakain kata matane ora ijo merupakan unsur metafora atau pemakain kata dengan arti yang bukan sebenarnya.
Pada baris kesembilan dijumpai majas metafora pada geguritan Kasmaran dengan ungkapan pringas pringis kemutan sing ireng manis “tersenyum-senyum teringat yang hitam manis”, dalam teks geguritan di bawah ini:
panas nggemplang
atine grungsang ora pengin mangan
merem ora turu
melek ora ogleg
ditakoni ora krungu
mesem guyu layu-luyu
kelayu-layu kemutan wong ayu
ati kangen kepengin ketemu
pringas pringis kemutan sing ireng manis
...................................
(hal 8 bait ke-1)
begitu panasnya
hati bimbang sampai makanpun tak enak
terpejam tak bisa tidur
tak tidur tapi tak bisa tidur
ditanyapun tak mendengar
tersenyum tertawa terbayang-bayang
teringat-ingat orang cantik
hati rindu ingin bertemu
tersenyum teringat yang hitam manis

Ini merupakan sebuah kisah cinta yang dialami seorang pengarang dalam dunia hayalnya. Kasmaran seperti yang diceritakaan dalam geguritannya bukanlah yang dialami pengarang akan tetapi hanyalah permainan imajinasi saja. Sedikitpun ia tidak menyentuh wanita yang diceritakan dalam geguritannya, ini hanyalah permainan kata yang ia tulis.
Ungkapan ireng manis “hitam manis”, dalam teks di atas merupakan sebuah ungkapan bukan sebenarnya, melainkan merupakan sebuah perumpamaan atau sebutan kepada gadis yang dicintainya, agar orang lain tidak tahu akan maksud yang diucapkannya. Hal itu diperkuat oleh kalimat sebelumnya yaitu kelayu-layu kemutan wong ayu “teringat-ingat yang cantik”. Ungkapan ireng manis, wong ayu merupakan metafora atau kata bukan sebenarnya. Adapun maksud ireng manis merupakan sebuah lontaran panggilan kepada seorang gadis.
Bait pertama, baris pertama pada geguritan Nyawah dijumpai kalimat kakang tani ngubek belet “kakak petani mengolah tanah”, pada geguritan di bawah ini.
kakang tani ngubek belet
dina wengi nggulanwenthah
nyebar winih ning gulahan
sawah diweluku lan digaru dadi leleran
nunggu wektu sawise labuhan
............................................
(hal 11 bait ke-1)
kakak bertani mengolah tanah
siang malam bekerja keras
menyebar benih di tanah
sawah dibajak dan dirapikan supaya bisa ditanami
menunggu waktu hingga setengah hari

Ini merupakan potret kejadian yang ada disebuah pedesaan. Sebuah areal persawahan yang begitu luas, dengan pemandangan seorang petani yang sedang sibuk membuat sawah, dan seorang petani yang sedang berbaris rapi menanam padi. Pemandangan yang sudah jarang dilihat saat ini.
Frasa ngubek belet “mengolah tanah”, dalam teks di atas merupakan sebuah ungkapan metafora atau makna kata bukan sebenarnya, melainkan untuk menyebutkan ungkapan bercocok tanam. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran seperti mengolah tanah yang seakan-akan menyerupai proses pembuatan makan.
Pada geguritan yang berjudul Guru juga dijumpai majas metafora, seperti yang ada di bawah ini.
......................
dadi guru kudu sabar lan tawadhu
ngilmu dhasar ngilmu luhur kanti wilaku
lunga abab kanggo sebab
ana sebab dadi bab
suluh ilmu weneh sangu
obor padhang kanggo sangu
.............................
(hal 12 bait ke-2)
menjadi guru harus sabar dan pandai bersyukur
meski ilmu dasar tetapi luhur dan berguna
lugunya hati menjadi sebab
ada sebab ada akibat
kayu bakar ilmu memberi bekal
lampu terang di jalanan

Pada baris kelima geguritan di atas yang berbunyi suluh sangu weneh sangu “kayu bakar ilmu memberi bekal”. Frasa suluh sangu “kayu bakar ilmu” merupakan ungkapan bukan sebenarnya, karena secara logika antara kayu bakar dengan ilmu itu sendiri tidak ada hubungannya. Ungkapan suluh ilmu itu sendiri dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa, ilmu diibaratkan kayu bakar yang bisa memberikan penghidupan. Ungkapan itu diperkuat dengan frasa weneh sangu “memberi bekal”. Kalimat suluh ilmu weneh sangu merupakan ungkapan metafora atau makna kata bukan sebenarnya. Hal itu merupakan gambaran ilmu yang di ibaratkan kayu bakar.
Hal itu juga di temukan pada geguritan Curug Cipendok, yaitu pada baris keempat dan lima yang berbunyi banyu curug tiba mabyur bening lintring, kaya kasaring saring “air terjun yang jatuh begitu jernih, seakan-akan tersaring-saring”, pada geguritan di bawah ini.
adoa manjat temurun gunung
curug cipendhok degoleti wong plesiran
kiwa tengen tanduran ijo royo-royo
banyu curug tiba mabyur bening lintring
kaya kasaring saring
........................................
(hal 16 bait ke-1)
begitu jauh naik turun gunung
air terjun cipendok dicari para wisatawan
kanan kiri tanaman hijau royo-royo
air terjun jatuh mabyur dengan jernihnya
seakan-akan tersaring-saring

Curug Cipendhok merupakan salah satu obyek wisata yang berada di daerah Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Curug Cipendhok merupakan salah satu tujuan wisata yang paling diminati oleh masyarakat Banyumas. Keindahan alam yang masih asli, bisa memanjakan mata. Pemandangan air terjun yang bisa melupakan kesibukan akan aktivitas, membuat banyak orang rindu akan keadaan alamnya yang asli. Itulah cerita yang diungkapkan dalam geguritan Curug Cipendhok.
Frasa kaya kasaring-saring “seakan-akan tersaring-saring” merupakan ungkapan bukan sebenarnya akan tetapi penggambaran air yang begitu jernih, sehingga seakan-akan ada yang menyaringnya. Hal itu diperkuat oleh baris sebelumnya yang berbunyi banyu curug tiba mabyur bening lintring “air terjun jatuh dengan begitu jernihnya”. Ungkapan itu merupakan metafora atau makna kalimat yang bukan sebenarnya, hal itu merupakan penggambarkan suasana yang begitu sejuk, dengan kejernihan airnya.
Pada geguritan Mesjid Saka Tunggal ditemukan majas metafora pada baris keempat yang berbunyi luwih becik numpak ilmu lan ibadah “lebih baik menumpuk ilmu untuk ibadah”, dalam geguritan di bawah ini.
.................................
sembah sujud maring illahi robbi
duh pangeran urip mung sadulit
kanggo apa numpuk dunya bandha
luwih becik numpak ilmu lan ibadah
kanggo sangu urip neng akherat
..................................
(hal 18 bait ke-3)
sembah sujud kepada Ilahi Robi
duh pangeran hidup ini hanya sebentar
untuk apa menumpak harta benda
lebih baik menumpuk ilmu untuk ibadah
untuk bekal hidup di akherat

Mesjid Saka Tunggal merupakan salah satu tempat yang disakralkan oleh masyarakat Banyumas. Sebuah tempat yang diyakini dihuni oleh para Wali. Banyak cerita dari Masjid Saka Tunggal, selain sebagai tempat suci ini merupakan sebuah peninggalan sejarah yang harus dijaga. Masjid yang berada di Cikakak Kabupaten Banyumas.
Pada geguritan di atas unsur majas metafora yaitu pada penggunaan frasa numpuk ilmu pada kaliamat luwih becik numpuk ilmu lan ibadah merupakan kata yang bukan sebenarnya, melainkan untuk mengatakan ungkapan calirah ilmu setinggi-tingginya. Hal itu diperkuat oleh kata sebelumnya yang berbunyi lewih becik “lebih baik” menumpuk ilmu dan dilanjutkan pada baris selanjutnya yang berbunyi kanggo sangu urip nang aherat “untuk bekal hidup di akherat”.
Baturaden merupakan salah satu judul dalam anatologi geguritan Nonton Ronggeng, yang mempunyai unsur majas metafora. Hal itu ditemukan pada baris kelima yang berbunyi nafsu kemanungsan tumplek blek “nafsu manusia tertumpah di situ”, pada geguritan di bawah ini.
.................................
nyecep wengi dalan padhang
gang sumebyar putri idaman hidung belang
wedhone klawad kliwid lanange sliwar sliwer gang sadhar
marakna ora sadhar gawa impen kurag ajar
nafsu kemanungsan tumplek blek
ora eling ninggal kewajiban
......................................
(hal 20 bait ke-4)
malam-malam jalanan terang
jalanan cerah oleh putri idaman hidung belang
perempuan mondar-mandir laki-lakinya kesana kemari
membuat tak sadar membuat mimpi kurang ajar
nafsu manusia tertumpah disitu
lupa meninggalkan kewajiban

Baruraden merupakan salah satu obyek wisata yang berada di lereng gunung Slamet. Alam yang begitu sejuk membuat Obyek wisata Baturaden menjadi tempat pavorit bagi mayarakat Banyumas dan sekitarnya. Disatu sisi tempat ini sudah mulai tercemar oleh putri idaman hidung belang ketika malam datang. Sebuah wisata yang seharusnya dijaga oleh warganya agar terus asri dipandang mata.
Pada geguritan di atas unsur majas metafora yaitu pada penggunaan frasa tumplek blek “tumpah semua” pada kalimat nafsu kemanungsan tumplek blek merupakan ungkapan bukan sebenarnya. Makna tumpah semua merupakan gambaran manusia di luar batas kesadarannya, saat apa yang ingin dilakukannya tanpa dibatasi rasa kemanusiaannya. Hal itu diperkuat oleh baris selanjutnya yang berbunyi ora eling ninggal kewajiban “tidak ingat meninggalkan kewajibannya”. Ia lupakan segalanya demi nafsu yang melekat pada dirinya dan melupakan segala yang menjadi kewajiban dirinya.
Pada geguritan Banyumas dijumpai pada baris ke-14 yang berbunyi tlatah Banyumas wutah getih inyong “kota Banyumas tumpah darah saya”, pada geguritan di bawah ini.
gunung slamet madeg jejeg kemul pedhut
simbol kawibawan wong banyumas
sing sregep nyambut gawe
gemati marang sedulur
gotong royong mangun desa
ceblaka pangandikane
jujur tindhak tandhuke
ra tedheng aling aling dhadhane
andhap asor budhine
iman takwa dasar kapercayaane
senajan ora bakal ninggal kabudayan adate
sasrawungan gethok tular ngraket paseduluran
sambat sinambat guyub rukun sakulawarga
tlatah Banyumas wutah getih inyong
tek cekeeli uger-ugering pratiwi
aku ora bakal boyong senajan bedhil nodhong
aja gumedhe neng arep inyong
pangkat bisa minggat dunya bisa mlarat
............................................
(hal 21 bait ke-1)
gunung slamet berdiri dengan tertutup kabut yang menyelimutinya
sebagai simbol kewibawaan orang Banyumas
yang rajin bekerja keras
patuh pada leluhur
gotong royong membangun Desa
perkataannya jujur
jujur pula kelakuannya
terbuka apa adanya tanpa ada yang ditutupi
rendah hati
iman takwa sebagi dasar kepercayaanya
walaupun tak kan meninggalkan kebudayaan aslinya
bersama-sama bertukar pikiran mengikat persaudaraan
suka tolong menolong seia sekata serasa satu keluarga
wilayah banyumas adalah tumpah darah saya
ku pegang persendian tanah air
saya tak kan pergi meski senapan di depan saya
janganlah sombong di depanku
jabatan bisa hilang, hartapun bisa habis

Gunung Slamet merupakan salah satu simbol bagi masyarakat Banyumas. Ini merupakan ungkapan seseorang yang begitu bangga akan kesuburan tanah di Banyumas. Frasa wutah getih “tumpah darah”, mempunyai makna yang bukan sebenarnya. Tumpah darah merupakan ungkapan untuk mengatakan tempat saya dari lahir sampai sekarang. Kalimat tlatah Banyumas wutah getih inyong mempunyai sebuah pengertian bahwa kota Banyumas adalah tempat saya mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, sehingga diibaratkan sampai tumpah darahnya. Hal itu merupakan perumpamaan bahwa daerahnya seakan-akan adalah hidupnya.
Pasrah merupakan salah satu geguritan dalam antologi Nonton Ronggeng yang bertemakan kerohanian dengan majas metafora. Pada baris keempat yang berbunyi mangan nungsag keloloden wungkal “makan tergesa-gesa tersendat batu”, pada geguritan di bawah ini.
..........................
saba paran sepangan-pangan
luru krekel cut seupa
manjat murun gunung sangu sega jagung
mangan nungsag keloloden wungkal
pontang panting kesunggah beling
mung siji sing kudu kemutan
tetep eling maring illahi robbi
.............................
(hal 26 bait ke-2)

berkelana makan sedapatnya
mencari batu lewat sebesar butiran nasi
naik turun gunung hanya berbekal nasi jagung
makan tergesa-gesa samapi tersendat batu
pontang-panting tertusuk kaca becah
hanya satu yang harus teringat
tetap ingat kepada Illahi Robi

Pasrah adalah satu gambaran sebuah perjuangan dalam hidup. Demi sesuap nasi ia lakukan pekerjaan dengan tekun. Sebuah kepasrahan kepada Sang Pencipta akan dirinya agar bisa mendapatkan jalan yang terang, dengan penuh ketekunan ia pasrahkan jalan hidupnya kepadaNya.
Frasa keloloden wungkal “tersendat batu” pada kalimat mangan nungsag keloloden wungkal adalah kata yang bukan sebenarnya. Ungkapan “tersendat batu” , merupakan sebuah gambaran sulitnya kehidupan yang dideritanya sampai tidak ada waktu untuk beristirahat yang diibaratkan makanpun tersendat batu. Hal itu diperkuat dengan adanya baris selanjutnya yang berbunyi pontang-panting kesunggah beling “pontang-panting tertusuk kaca becah”. Itu merupakan gambaran sebuah rutinitas yang sibuk, sehingga keadaan di sekelilingnya tidak dilihatnya. Kaca pecah itu sendiri mempunyai makna gambaran kehidupan yang kurang berjalan lurus.
Geguritan di atas merupakan wujud penderitaan yang terjadi setelah sebuah fenomena alam terjadi. Ngebor adalah salah satu penyebab penderitaan itu yang sekaligus dijadikan judul geguritan oleh Warto Tirta. Adapun penggalan isinya adalah sebagai berikut.
................................
kudu eling lan waspadha
majune jaman ora bias diadhang
rembesing budhaya terus mblandhang
mulane padha sangu iman lan taqwa
kanggo cekelan brayan neng alam dunya
aja ngasi keblinger ora duwe uger
(hal 28 bait ke-2)

harus ingat dan waspada
majunya jaman tidak bisa terhalang
meresapnya budaya tidak bisa dibendung
makanya berbekallah iman dan takwa
untuk pegangan hidup di dunia
jangan sampai salah jalan tak punya pegangan hidup

Ini merupakan gambaran sosok artis yang cukup memberikan dampak kepada masyarakat dengan goyang Ngebor. Sebuah fenomena yang cukup dikenal oleh masyarakaat Indonesia. Ini adalah sebuah ketekadan seorang Inul Daratista yang memperjuangkan hidupnya dari nol hingga terkenal. Ini merupakan perjuangan yang patut dicontoh.
Pada geguritan di atas terdapat majas metafora yaitu pada baris keempat dan lima yaitu mulane padha sangu iman lan taqwa, kanggo cekelan brayan neng alam dunya “makanya berbekallah iman dan takwa, untuk pegangan hidup di dunia”. Ungkapan kanggo cekelan merupakan bukan makna yang sebenarnya, karena secara nyata iman tidak dapat dipegang. Pegangan merujuk pada pengertian pandangan hidup, cita-cita, atau sebuah harapan yang ada harus didasari keyakian. Hal itu diperkuat oleh baris yang selanjutnya aja nganti keblinger ora due uger “jangan sampai salah jalan karena tidak punya pandangan hidup”. Hal itu memberikan contoh bahwa hidup itu harus mempunyai pendirian agar tidak mudah goyah oleh pengaruh orang lain.
Sebuah fenomena alam yang terjadi di Indonesia ternyata bukan sebatas kasus lumpur lapindo saja yang dikemas dalam geguritan Ngebor. Pada kenyataannya Warto Tirta mencoba memotret kembali sebuah kejadian alam, yang menimpa daerah Jogja pada tahun 2006 dengan geguritannya yang berjudul Breg.
.......................
tua enom gedhe cilik
wolak-walik
pating njengkelit
umah gedhong umah gedhek
tumplek blek
blek
jungkir walik
jlerat jlerit
uput uput lindu teka
..........................
(hal 29)
tua muda besar kecil
bolak-balik
rumah gedong rumah kayu
tumpah terbalik
tumpah prah
prah
jatuh terbolak-balik
saling berteriak
pagi buta gempa datang
...................................

Breg merupakan sebuah potret gempa yang terjadi pada tahun 2006. Gempa yang memporak porandakan kota Jogja, gempa yang membangunkan penduduk Jogja di pagi hari. Banyak orang yang menjadi korban ketika itu.
Pada baris keempat dan lima geguritan di atas yang berbunyi umah gedhong umah gedheg tumplek blek “rumah gedong rumah kayu tumpah terbalik”. Majas metafora, terdapat pada frasa tumplek blek “tumpah terbalik”. Hal itu memberikan gambaran yang bukan sebenarnya, hanya saja sebuah penggambaran kejadian alam yang begitu besar. Maksud tumpah terbalik itu sendiri mengandung pengertian hancur. Hal itu diperkuat oleh kalimat terakhir pada penggalan geguritan di atas yang berbunyi uput-uput lindu teka “pagi-pagi gempa datang”. Sebuah kejadian alam yang menimpa Jogja waktu itu.
Lain halnya dengan geguritan sebelumnya, yang memberikan kesan serius. Geguritan di bawah ini adalah salah satu geguritan yang bertemakan permainan yaitu Jonjang. Jonjang adalah salah satu permainan jaman dulu seperti yang diceritakan dalam teks geguritan di bawah ini:
.........................
sinambi maca
lewane alam dunya
becik ketitik ala ketara
wong cilik dulat dulit
golet rejeki olihe setitik
wong gedhe menang kerahe
golek rejeki akeh pengarahe
dunya brana dadi raja
ngelmu luhur ara kajen dadi rekasa
.......................................
(hal 30 bait ke-3)
dengan membaca
indahnya dunia ini
baik terliat jelekpun terlihat
orang miskin colak-colek
mencari rejeki banyak jalannya
banyak harta jadi raja
ilmu luhur tidak berguna jadi kesengsaraan

Jonjang adalah sebuah permaian tradisional dari daereh Ajibarang. Permainan ini biasanya dimainkan malam hari ketika terang bulan. Sebuah permainan yang begitu jarang dijumpai saat ini. Ini merupakan sebuah keprihatinan ketika permainan tradisional yang mulai tidak dikenali lagi.
Baris kedelapan yang berbunyi dunya brana dadi raja “banyak harta jadi raja”, merupakan salah satu ungkapan yang bukan sebenarnya. Ungkapan banyak harta jadi raja merupakan ungkapan untuk dia yang gila akan kekayaan. Memang harta bukanlah segalanya tapi segalanya kadang bisa terbeli oleh harta. Ungkapan itu diperkuat oleh baris yang selanjutnya yang berbunyi ngelmu luhur ara kajen dadi rekasa “ilmu luhur tidak berguna jadi kesengsaraan”. Hal itu membuktikan bahwa ilmu yang luhurpun hanya menimbulkan kesengsaraan saja, bila tidak diimbangi oleh kekayaan. Sebagian besar orang dipandang karena kekayaannya.
Unsur majas metafora atau makna kata bukan sebenarnya dunya brana dadi raja. Ungkapan raja disini merupakan makna kata bukan sebenarnya, melainkan hal itu ungkapan untuk seseorang yang dipandang dari kekayaannya.
Mlirik Dingklik adalah salah satu judul geguritan dalam anatologi Nonton Ronggeng yang bertemakan politik. Dalam geguritan ini ditemukan unsur majas metafora, yaitu baris kelima geguritan di bawah ini.
.........................................
tak tak tak tak dumblang dumblang
tung gentak gentung
kaki kaki barang kentrung
gelar sarung bukak tudhung
metani waktu sing lagi gandrung
aja nyela aja nyandhung kon ati ora linglung
apa jane sing lagi limbung
akeh wong masang wuwu agal ugul
awak dhewek sing paling unggul
kanggo golet tumpakan adhiluhung
senajan sing jagong kursi empuk esih wutuh mengkruk-mengkruk
................................................
(hal 32 bait ke-2)
tak tak tak dumblang dumblang
tung gentang gentung
kakek-kakek waktu luang
tebar sarung membuka caping
metani(mencari kutu di kepala) waktu yang lagi kangen
jangan mencela jangan jahat supaya hati tidak bingung
apa yang sebenarnya yang sedang ramai
banyak orang memasang umpan asal-asalan
badan sendiri yang paling baik
untuk mencari kendaraan utama
walaupun yang duduk dikursi pemerintahan masih enak-enakan

Mlirik Dhingklik merupakan sebuah potret persaingan di dunia politik. Sebuah janji yang diumbar-umbar kepada masyarakat untuk menarik simpatinya. Ketika membutuhkan semua orang dianggapnya saudara akan tetapi setelah itu dilupakan. Geguritan ini juga merupakan sebuah harapan kepada mereka yang duduk di kursi pemerintahan agar politik bukan menjadi ajang mencari penggemar saja akan tetapi didasari dengan tanggung jawab.
Ungkapan metani waktu sing lagi gandrung “metani(mencari kutu dikepala) waktu yang lagi kangen”, merupakan kata yang bukan sebenarnya atau metafora. Frasa metani wektu merupakan sebuah kejadian dalam proses waktu yang panjang. Metani itu sendiri berasal dari kata petan yang berarti mencari kutu di kepala. Metani wektu menggambarkan waktu yang begitu lama. Sing lagi gandrung merupakan sebuah penjelas yang mengungkapkan bahwa, sebuah kerinduan akan dirasa lebih lama dari waktu yang sebenarnya.
Majas metafora juga ditemukan pada geguritan Eling-eling pada baris ke-15 yang berbunyi prawan kencur didol murah “gadis kencur dijual murah”, pada teks di bawah ini.
kolang kaling sabrang wetan
eling eling jaman wis edan
lanang wadon padha puletan
tua enom kelalen sambatan
gedhe cilik padha wadanan
uger-uger budhaya padha ditinggal
nyembah gusti dadi ceremonial
bencana musibah dadi tontonan
aweh bantuan dadi kesombongan
politik mambrah-mambrah dadi tujuan
sujarah dadi guyonan
reformasi dadi umpruk abab
tontonan dadi tuntunan
wudel katon dadi lumrah
prawan kencur dedol murah
degawa om-om sing ngmbar syahwat
bocah sekolah tamat nganggur njeprah
ngodhe demo ngganggo rupiah
..............................................
(hal 34 bait ke-1)
kolang kaling sebelah timur
ingatlah jaman sudah menggila
laki-laki perempuan saling kumpul
tua muda lupa akan tolong menolong
kaya miskin saling mengejek
akar-akar budaya mulai ditinggalkan
menyembah gusti menjadi ceremonial
bencana musibah menjadi hiburan
menolong menjadi kesombongan
politik rusak jadi tujuan
sejarah menjadi tertawaan
reformasi menjadi ajang suara
hiburan menjadi pegangan
pusar terlihat menjadi hal yang wajar
gadis kecil dijual murah
dibawa om-om yang mengumbar sahwat
lulusan sekolah menjadi pengangguran dimana-mana
demo menjadi pekerjaan demi rupiah

Geguritan Eling-eling merupakan gambaran perubahan jaman. Hal itu dilihat ketika seorang laki-laki perempuan yang bukan suami istri sudah terbiasa tidur bersama. Sebuah sejarah hanya menjadi bahan tertawaan, sebuah tontonan menjadi tuntunan, pengangguran di mana-mana, gadis muda menjadi dagangan. Itu hal yang dilihatnya ketika semua orang mengatakan peruabahan jaman. Eling-eling merupakan sebuah harapan kepada masyarakat agar selalu ingat akan jati diri bangsa.
Penggunaan kata prawan kencur pada geguritan di atas merupakan ungkapan bukan sebenarnya melainkan ungkapan untuk mengartikan gadis di bawah umur. Kencur itu sendiri merupakan gambaran anak kecil, yang masih berbau kencur. Prawan kencur adalah sebuah sebutan untuk gadis muda yang belum tahu tentang perawatan tubuh, sehingga masih berbau menyengat seperti kencur. Hal itu merupakan gambaran kekacoan yang ada di negri ini, kejadian nyata. Ungkapan tersebut diperkuat pada baris yang selanjutnya yang berbunyi bocah sekolah tamat nganggur njeprah, ngodhe demo ngganggo rupiah. Geguritan ini juga mencoba menggambarkan sebuah fenomena politik yang ada di negri ini. Anak sekolah jadi pengangguran, merupakan hal yang wajar dipandang mata. Demontrasi menjadi sebuah profesi untuk mencari uang.
Lain halnya dengan geguritan sebelumnya yang mempunyai uraian yang panjang. Dzikir merupakan salah satu gurit terpendek pada antalogi geguritan Nonton Ronggeng. Pengemasan yang begitu singkat dengan bahasa dialek Banyumasan.
inyong depa
sema sumarah
neng tritis umah sinebut gusti, ya allah
suh luruh pasrah
nyawiji
ji
la illahailallah
(hal 35)

saya bersujud
dengan penuh keiklasan
di tritis(tempat jatuhnya air dari genting) rumah menyebut gusti, ya Alloh
dengan kepasrahan
menyatu
tu
la illahailalloh

Geguritan Dzikir merupakan sebuah gambaran seseorang yang selalu ingat akan sang pencipta. Selalu pasrah akan dirinya bahwa aku, sekedar berhenti sejenak di dunia. Gambaran seseorang yang patuh akan perintah sang pencipta.
Pada geguritan di atas terdapat unsur majas metafora pada baris ketiga yaitu neng tritis umah sinebut gusti, ya alloh “di tritis(tempat jatuhnya air dari genting) rumah menyebut gusti, ya Alloh”. Frasa ning tritis umah merupakan makna yang bukan sebenarnya. Hal itu merupakan gambaran sebuah keseriusan dalam beribadah yang diibaratkan ia duduk di bawah tempat jatuhnya air hujan menetes dari genting. Kata tritis itu sendiri mempunyai makna tempat dimana air hujan jatuh dari genting rumah.
Sebuah imajinasi seseorang dapat berkembang menjadi sebuah hayalan, seperti yang ditulis dalam geguritan Mantes-Mantes di bawah ini.
diajeng
tekamu sing tanpa aba lan ora keraba
incig-incig sededeg senyet
breg
reeeeg
jantung inyong ora kemreteg
kalayang
kur pantese
awakmu mandhep
tumiba seba neng sisih welas asih slira inyong sing agi mblayang
kangen kumanthil semelap ora klinglap
mbok bae nyong bias nglayap
.........................................
(hal 36 bait ke-1)
diajeng
kedatanganmu tanpa suara dan tak bisa diraba
tiba –tiba menyatu dengan hatiku
datang
bergetar
jantungku bergetar begitu kencang
melayang
hanya angan-angan
dirimu di depanku
tiba-tiba di sisiku dengan kasih sayangmu, aku yang sedang terbayang
rindu tergantung merasuk kekalbu
sipa tahu siapa bisa bermimpi

Semua orang tentu mempunyai harapan atau cita-cita yang berbeda-beda. Kadang cita-cita itu berkembang menjadi sebuah hayalan, karena harapan yang terlalu berlebihan. Begitu juga dengan cita-cita seorang laki-laki yang mengidam-idamkan seorang gadis. Itulah yang terekam dalam geguritan Mantes-Mantes.
Baris kedua pada geguritan di atas berbunyi tekamu sing tanpa aba lan ora keraba “kedatanganmu tanpa suara dan tak bisa diraba”, merupakan gambaran hayalan yang bukan makna sebenarnya atau mengandung majas metafora. Ungkapan itu mengandung makna bahwa orang yang disayanginya bisa datang kapanpun juga tanpa disadarinya. Ia datang disaat merindukannya. Dengan perasaanya Ia temukan kedatangannya dalam hayalan. Hal itu diperkuat pada kalimat kesepuluh yang berbunyi tumiba teba neng sisih welas asih slira inyong sing agi mblayang “tiba-tiba di sisiku dengan kasih sayangmu, aku yang sedang terbayang”. Hal itu menjelaskan bahwa apa yang dirasakannya saat itu hanyalah angan-angan saja.
Majas metafora juga ditemukan pada geguritan yang berjudul Pesthi, pada baris pertama yang berbunyi satemah lumaku neng dunya “sebentar ku melangkah di dunia, seperti yang ada dalam geguritan di bawah ini.
satemah lumaku neng dunya
sawise tinitah
digedongana dikuncikana
pesthi gusti
ora bakal owah
anggere wektu teka
kabeh bakal kajibah
..............................
(hal 37)
sebentar berjalan di dunia
setelah diperintahkan
dibuat dan dikuncikan
pasti gusti
tidak mungkin berubah
jika waktu tiba
semua pasti jelas
Manusia berhak untuk berharap dan mempunyai cita-cita, akan tetapi itu semua tidak akan pernah terjadi ketika Tuhan tidak mengijinkannya. Manusia tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi nanti akan tetapi Tuhan mempunyai kepastian, kehendaknya itulah yang akan terjadi. Pesthi adalah salah satu geguritan tentang gambaran kebesaran Tuhan.
Pada geguritan di atas yang menggunakan majas metafora terdapat pada frasa satemah lumaku “sebentar berjalan”, merupakan ungkapan kata yang bukan sebenarnya. Sebentar berjalan yang dimaksud melainkan sebuah perjalanan hidup di dunia dari lahir sampai mati yang diibaratkan hanya beberapa langkah saja. Hal itu merupakan gambaran bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara ada batas diantara kehidupan dan kematian. Hal itu diperkuat oleh kalimat pada baris ketiga yang berbunyi digedongna dikuncikena, bahwa Dia yang menciptakan dan menjadikan manusia ada di dunia, tentunya suatu saat akan dikuncikan atau dikembalikan kepada asalnya.
Jangkah segara tanpa etung wektu merupakan kalimat yang dikutip dari baris kedua geguritan Nelayan pada penggalan teks di bawah ini. Kalimat itu mempunyai makna mengarungi lautan tanpa menghitung waktu.
.................................
sangu jaring numpak prau
jangkah segara tanpa elung wektu
adoh kana adoh kene
sepisan mangkat segar diambah
ati bungah angger olih iwak mambrah-mambrah
bali esuk anak bojo sumarah
(hal 38 bait ke-3)

bekal jaring naik prahu
mengarungi lautan tanpa menghitung waktu
jauh di sana jauh di sini
sekali berangkat laut diarungi
hati senang jika dapat ikan melimpah ruah
pulang pagi anak istri senang

Geguritan ini merupakan gambaran betapa besarnya tanggung jawab seorang nelayan untuk keluarganya, ia bekerja ketika semua orang tertidur lelap. Unsur majas metafora pada geguritan di atas terdapat pada frasa tanpa etung wektu “tanpa menghitung waktu” pada geguritan di atas mempunyai makna bahwa sebuah perjalan hidup yang dialami seorang nelayan di tengah laut tanpa batasan-batasan waktu. Hasil yang diperoleh dirasa cukup baru akan berfikir untuk pulang. Kesenangan itu timbul ketika hasil yang didapat itu melimpah. Bukan waktu yang begitu cepat akan tetapi tanpa hasil. Hal itu diperkuat pada baris selanjutnya yang berbunyi ati bungah angger olih iwak mambrah-mambrah, bali esuk anak bojo sumarah, hal itu merupakan sebuah gambaran meskipun sang suami harus pulang pagi keluarga merasa senang karena hasil yang didapat memuaskan.
Sebuah kenangan tidak akan pernah terlupakan, jarak dan waktu memisahkan manusia. Itulah sepenggal pengertian yang tertuang dalam geguritan Centheng Desa di bawah ini.
..........................................................
lah jan
kemutan angger sekolah lagi dewulang ngesuhena guru
angger ulangan olihe sindik ondhol utawa kursi njengking
pintere olih embret omongan
ketambah dunya wong tuane lumayan
kena kanggo sangu kampanye golet bithing swara
.....................................................
(hal 43 bait ke-1)
lah jan !
teringat waktu sekolah diajar membuat guru marah
waktu ulangan dapat ondol kalau tidak kursi terbalik
begitu pandainya berbicara
ditambah harta orang tuanya cukup melimpah
bisa cukup untuk kampanye mencari kotak suara
bisa memberi teman saudara

Centheng Desa adalah sebuah gambaran seorang pemuda desa yang menganggap dirinya adalah orang kota. Sebuah gambaran kesombongan seorang pemuda sudah merasa lebih akan dirinya. Ia malu jika harus mengakui kalau dirinya adalah orang Desa.
Centheng Desa juga merupakan gambaran seorang preman politik dari Desa. Sebuah janji-janji yang disuarakan kepada rakyat ketika ia membutuhkannya. Geguritan ini juga menggambarkan sebuah perubahan jaman ketika seorang koruptor mulai dihapus dari negara ini, sebuah gambaran roh reformasi sudah mulai suci.
Unsur majas metafora dijumpai pada baris ketiga geguritan di atas. Frasa ondhol utawa kursi njengking pada kalimat angger ulangan olihe sindik ondhol utawa kursi njengking “waktu ulangan dapat ondol kalau tidak kursi terbalik”, merupakan makna bukan sebenarnya. Kata ondol sendiri merupakan salah satu makanan yang terbuat dari singkong berbentuk bulat sehingga digambarkan dengan angka nol, kursi terbalik itu sendiri merupakan sebuah gambaran nilai empat. Itu merupakan gambaran bodohnya anak sekolah yang terbiasa dapat nilai nol dan empat.
Mendhe adalah salah satu geguritan dalam anatologi yang bertemakan kasih sayang keluarga. Pada baris kedelapan yang berbunyi pinter pikirane lancip tindhak tandhuke “pandai berpikir dan runcing kelakuannya”, pada geguritan di bawah ini.
.....................................
kulup
bubu sing lelet tur angler
tek slimuti kambi tresna asih sekang gusti illahi
murih besuk gedhe dadi wong kopama
adoh sing rubedha lan betharakala
akeh rejekine akeh godhane
dregang awake sehat rohanine
pinter pikirane lancip tindhak tandhuke
bisa junjung dhuwur jero wong tuwa
(hal 45 bait ke-6)

Nak
tidurlah yang nyenyak
saya slimutkan dengan cinta dari ilahi robi
supaya besar jadi orang ulama
jauh dari kesalahan dan kebiadaban
banyak rejeki dan jauh dari godaan
kuat badanya sehat rohaninya
pandai berpikir dan runcing kelakuannya
bisa menjujung tinggi dan membanggakan orang tua

Mendhe merupakan sebuah prilaku yang biasanya dilakukan oleh seorang ibu atau ayah kepada anaknya ketika masih kecil. Sebuah pelukan hangat yang diberikan orang tua ketika tidur. Dengan penuh kasih sayang dan cita-cita yang diharapkan orang tua kepada anaknya. Mendhe merupakan sebuah prilaku kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Kata lancip pada kalimat pinter pikirane lancip tindhak tandhuke merupakan makna yang bukan sebenarnya. Kata lancip itu sendiri merujuk pada pengertian tegas, mempunyai pandangan yang jelas dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Hal itu merupakan harapan seorang ayah kepada anaknya, dengan harapan bisa menjadi contoh bagai orang lain. Unsur majas metafora terdapat pada penggunaan kata lancip yang merupakan penggambaran kecerdasan.
Setiap daerah tentunya mempunyai keindahan tersendiri yang tersimpan di dalamnya. Begitu juga dengan daerah Purbalingga yang terdapat sebuah objek wisata Gua Lawa. Itulah sekilas isi yang terdapat dalam geguritan Plesir Gua Lawa di bawah ini.
dina prei pada plesiran
mlaku-mlaku neng gua lawa
betah deleng khahanan sing endah
gone dhuwur silir-silir buang gerah
kringet ilang atine bungah
liren disit jagong gelaran klasa
mangan sangu kupat lawuh mendhoan
rasane enak nylekamin pisan
awak bregas mlaku trengginas
pikiran jemabar nalar padhang
............................................
(hal 52 bait ke-1)
hari libur berangkat berlibur
jalan-jalan di gua lawa
senang melihat keaadaan yang indah
tempatnya tinggi sejuk membuang panas
berhenti dulu duduk di atas tikar
makan bekal kupat dengan tempe
rasanya enak sekali
badan sehat jalan semangat
pikiran luas berpikir cerah

Gua Lawa adalah salah satu obyek wisata yang berada di Purbalingga. Sebuah tempat wisata yang sudah banyak dikenal orang khususnya wilayah Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas dan sekitarnya. Tempat wisata dengan biaya murah akan tetapi bisa dimanjakan oleh suasana alam yang menyejukan mata. Keaslian alam yang belum dicemari oleh orang-orang jahil.
Unsur majas metafota terdapat pada baris keempat geguritan di atas yang berbunyi gone duwur silir-silir buang gerah. Frasa buang gerah pada kalimat gone duwur silir-silir buang gerah “tempatnya tinggi sejuk membuang panas”, merupakan kata yang bukan sebenarnya. Ungkapan membuang panas itu sendiri merupakan sebuah gambaran kesejukan objek wisata Gua Lawa, yang memberikan keindahan alam yang menyegarkan badan.
Sebuah bencana alam merupakan sebuah rahasia Tuhan yang tidak ada satu orangpun tahu kapan datangnya. Itulah yang digambarkan dalam geguritan yang berjudul Tsunami di bawah ini.
reg
oreg
oreg
pyok
sempyok
sebyur
byur
sebyaksebyaksebyaksebyak
byak
herrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
keleler keleler keleler
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah………………
allohuakbar
allohuakbar
allohuakbar
gonjang ganjing
oragoreg
segarabuminyeburdadisiji
ngemu getih
nyikep tatu
...............................................
(hal 54)
tar
bergetar
bergetar
sempyok
sembyur
byur
sembyak sembyak sembyak sembyak
byak
her
keleler…
aa…
allohu akbar…
allohu akbar…
allohu akbar…
gonjang – ganjing
getar getar
laut dan bumi menyatu menjadi Satu
berkumur darah
melukis luka

geguritan ini merupakan sebuah potret kejadian alam yang begitu menggemparkan rakyat Indonesia pada tahun 2004. Sebuah fenomena alam yang menerjang Aceh pada waktu itu. Tsunami, itulah sebuah musibah yang masih melekat bagi Rakyat Indonesia. Jerit, tangis sudah tidak bisa dibendung lagi karena kiamat kecil telah melandanya.
Unsur majas metafora ditemukan pada ungkapan ngemu getih, nyikep tatu pada baris ke-19,20. Kalimat itu merupakan ungkapan yang bukan sebenarnya. Ngemu itu sendiri mempunyai makna menahan air di dalam mulut, dalam hal itu adalah darah. Hal itu merupakan penggambaran sebuah kejadian yang begitu hebatnya. Nyikep tatu mempunyai makna bahwa, nyikep itu sendiri adalah memeluk sedangkan tatu adalah luka. Luka yang ada pada tubuh itu merupakan hal yang wajar karena seakan-akan itu berada dalam pelukannya.
Keluarga adalah orang paling dekat dengan kita. Apa yang terjadi pada mereka secara tidak langsung kita merasakan. Ibu adalah orang pertama yang mungkin mampu merasakan apa yang kita rasakan, begitu sebaliknya. Itulah yang digambarkan dalam geguritan yang berjudul Kangen Biyung di bawah ini:
udan grimis tengah wengi
hawa anyep remesep
awak nlethek
piker agi juthek
emut biyung sing wis kepundhut dhisit
...................................................
(hal 55 bait ke-1)
hujan gerimis tengah malam
rasanya dingin menusuk kalbu
badan gemetar
pikiran sedang pusing
teringat ibu yang sudah diambil dulu

Pada geguritan di atas unsur majas metafora yang terdapat pada baris kelima yang berbunyi emut biyung sing wis kepundhut dhisit “teringat ibu yang sudah diambil dulu”. Ungkapan dipundhut merupakan makna kata yang bukan sebenarnya. Makna dipundut itu sendiri mempunyai makna mati. Ini hanyalah sebuah pinjaman, pasti akan diambil lagi oleh pemiliknya. Ibu adalah pemberian karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia dan sudah sewajarnya jika diambil kembali, karena hanya titipan untuk mendidik anaknya.
Orang kedua yang paling dekat dengan anak adalah seorang ayah. Darah anak mengalir darah orang tua, sehingga apa yang menjadi sifatnya kadang menurunkan kepada anaknya. Ayah adalah sosok pemimpin keluarga. Itulah gambaran sepintas yang tercerna dalam geguritan Bapa di bawah ini.
................................
sumur sumber kauripan
paring pepadang neng petengan
saka guru awak doyong
penggered genceng piker
penengah rembug gegoh
......................................
(hal 56 bait ke-2)
seumur hidup, menghidupi
memberi terang di kegelapan
kusenan kaut keluarga
akarnya pikiran
sebagai penengah keluarga

Unsur majas metafora teradapat pada baris keempat geguritan di atas yang berbunyi penggered genceng piker “kusenan kuat keluarga”. Kata pengered merupakaan makna yang bukan sebenarnya. Pengered hanyalah sebuah gambaran bahwa seorang Bapa “ayah”, yang berperan sebagai pelindung keluarga, sebagai penjaga bagi istri dan anaknya. Makna Pengered itu sendiri adalah bagian dari rumah yang merupakan penghubung atap dan dinding sebagai pengikatnya. Tidak adanya pengered sulit rumah itu berdiri, itulah gambaran seorang ayah.
Adanya laki-laki karena adanya perempuan, ada hidup tentu ada mati, semua yang ada di dunia ini sudah berpasangan. Memang kadang anak kurang menerima kenyataan, orang yang dekat dengan anak begitu cepat diambil hingga air mata tak bisa dibendung. Itulah sepenggal gambaran geguritan Ngiring Bandhosa di bawah ini.
.................................
pengormatan akhir tumuju alam kubur
pratanda salasijining warga kepundhut gusti alloh
(hal 57 bait ke-2)
penghormatan akhir sampai di alam kubur
pertanda salah satunya warga diambil gusti Allah

Pada geguritan di atas terdapat unsur majas metafora yang terdapat pada baris kedua yang berbunyi pratanda salasijining warga kepundhut gusti alloh “pertanda salah satunya warga diambil gusti Allah”. Ungkapan dipundhut merupakan makna kata yang bukan sebenarnya. Makna dipundut itu sendiri mempunyai makna mati. Karena Allohlah yang memiliki ini semua sudah sewajarnya pasti akan akan diambil lagi, karena ini sekedar titipan.
Fotret kehidupan nyata yang terungkap dalam geguritan Ngudarasa merupakan gambaran pahitnya kehidupan. Penggalan kalimat itu merupakan sebagian isi geguritan di bawah ini.
.............................................
gegondhelan sembur wong tua
seneng lan susah dadi jamu leluhur
pait getir brantawali uyup-uyup awan bengi
konane awak dregeng
ati tambah
jiwa kuwat
piker padhang
kesepuh neng panase srengenge
ademe udan
remesepe embun
tanpa wegig wegah lumaku saguh
jejer paugeran munggah kekarepan karengkuh
senajan desa mawa cara
...............................................
(hal 58 bait ke-2)
berpegangan kepada orang tua
senang dan susah menjadi jamu leluhur
pahit getir diminum siang dan malam
supaya badan bregas
hati tebal
jiwa kuat
berpikir terang
terhempas oleh panasnya matahari
dinginnya hujan
meresapnya embun
tanpa kabut , malas berjalan tetap berjalan tegas
berjejer keinginan mencapai sampai tercapai

Ungkapan pait getir brentawali uyup-uyup awan bengi pada baris ketiga merupakan makna yang bukan sebenarnya. Kata Brentawali di sini mempunyai makna sebuah kehidupan yang begitu pahit. Brentawali itu sendiri merupakan sebuah tumbuhan untuk membuat jamu-jamuan yang berbentuk ranting-ranting dan pahit rasanya. Hampir tidak ada yang menandingi pahitnya brentawali. Unsur majas metafora terdapat pada penggunaan kata brentawali yang dipandang sebagai sebuah perjalanan hidup.
Majas yang dominan pada antologi geguritan Nonton Ronggeng adalah majas metafora. Hal itu dikarenakan sebuah puisi merupakan kalimat dengan bahasa kias yang mempunyai makna bukan sebenarnya. Adanya hal itu dikarenakan pengarang mencoba mengungkapkan apa yang ada diimajinasinya dengan bahasa yang tidak langsung mudah dicerna atau dengan media pembanding, sehingga membutuhkan pemahaman yang mendalam.
Metafora merupakan pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Itulah sebagian besar makna yang terkandung dalam antologi geguritan Nonton Ronggeng.

4.1.2 Makna Parikan
Parikan sebagai bentuk variasi bahasa yang digunakan dalam antologi Nonton Ronggeng karya Warto Tairta, tentunya juga mempunyai makna yang terkandung di dalamnya. Parikan, selain berguna untuk menghilangkan kejenuhan dalam membaca tentunya ada maksud yang tersirat dalam parikannya. Memang tidak semua memiliki parikan, 44 geguritan yang ada dalam antologi Nonton Ronggeng terdapat 14 geguritan yang menggunakan parikan.
Adapun geguritan yang dimaksud antara lain; Kemutan Jaman Semana, Kasmaran, Slametan Mimiti Pari, Curug Cipendhok, Monument Soedirman, Mlirik Dhingklik, Mantes-Mantes, Nelayan, Inyong Kangen Karo Rika, Centheng Desa, Bada, Panganten Anyar, Tulinan Lan Tukang Unther,Plesir Gua Lawa. Makna yang terkandung dalam setiap geguritan akan dibahas di bawah ini.
1) Kemutan Jaman Semana
Dalam geguritan ini terdapat dua bentuk parikan, pertama; uruk-uruk udan gedhe, ana banyak ana lele, lelene mlebu mbale, kepaiten mele-mele. Dalam parikan tersebut berbentuk seperti pantun, pada baris satu dan dua sampiran dan tiga empat adalah isi. Adapun maksud parikan tersebut, tidak ada hubungannya dengan isi yang ada dalam geguritan Kemutan Jaman Semana. Ini hanyalah hiburan semata, sehingga pembaca tidak merasa jenuh, akan tetapi dalam bait selanjutnya yang berbunyi ricik-ricik udan grimis, wong ngluthis wateke thukmis. Ungkapan ricik-ricik udan gerimis merupakan sampiran sedangkan wong ngluthis wateke thukmis merupakan sebuah isi yang menggambarkan kejelekan seseorang yang tidak pernah setia pada pasangannya. Thukmis bisa dianggap sebagai sebuah bentuk prilaku manusia yang suka bermain dengan perasaan.
2) Kasmaran
Dalam geguritan Kasmaran terdapat tiga bentuk parikan, yang pertama dalam bait ke-2 yang berbunyi dipacul kena lemahe, disusul adoh omahe. Ungkapan itu tentunya ada hubungannya dengan isi geguritan. Maksud tersebut berada pada kalimat kedua yang berbunyi disusul adoh omahe “dijemput jauh rumahnya”. Ungkapan tersebut adalah sebuah pertimbangan akan diri seorang yang sedang kasmaran “jatuh cinta”, kepada orang yang dicintainya. Jarak tentunya merupakan sebuah masalah yang perlu dipertimbangkan seperti yang digambarkan dalam geguritan Kasmaran.
Kedua dalam bait ke-4 yang berbunyi; suweng ireng digadhekena, wis kadung seneng dikapakena. Bentuknya tidak ada bedanya dengan parikan sebelumnya, yaitu kalimat ke-2 yang berupa isi. Ungkapan itu mempunyai pengertian, kalau sudah suka mau diapakan lagi. Makna itu tentunya masih ada kaitannya dengan parikan yang pertama. Ini adalah sebuah hal nyata, seseorang yang sedang Kasmaran mempunyai perasaan yang sulit untuk dibendung apa lagi ketika jarak memisahkannya.
Ketiga pada bait ke-6 yang berbunyi; tepes teles kudanan sore, awak lemes kedanan kowe, merupakan dampak dari semua yang terungkap di atas. Arti dari awak lemes kedanan kowe yaitu badan lemas tergila-gila kamu. Badanpun bisa terasa lemas ketika perasaan itu muncul dalam dirinya. Parikan pertama, ke-2, dan ke-3, merupakan sebuah urutan cerita yang ingin disampaikan pengarang melalui geguritannya. Jarak yang memisahkan kisah percintaannya menimbulkan perasaan yang menggebu-gebu, akan tetapi hal itu tidak dapat terwujud sehingga begitu sakit untuk dirasakan.
3) Slametan Mimiti Pari
Dalam geguritan ini terdapaat satu parikan pada bait ke-2 yang berbunyi; e dayohe teka, e gelarna klasa. Antara kalimat pertama dan kedua merupakan isi, karena antara keduanya mempunyai hubungan makna. E dayohe teka “e tamunya datang”, ketika tamu datang e gelarna klasa “e bukakan tikar”. Tikar di sini merupakan makna yang sebenarnya, akan tetapi bisa mengandung kiasan, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ini merupakan sebuah himbauan bahwa ketika ada orang bertamu berilah tempat yang layak untuknya. Adapun hubungan parikan tersebut dengan isi adalah, ketika seorang petani akan melakukan slametan biasanya duduk di teras yang beralaskan klasa “tikar” agar bisa duduk melingkar.
4) Curug Cipendhok
Dalam geguritan Curug Cipendhok terdapat 6 parikan yang ada di dalamnya. Pertama pada bait ke-3 yang berbunyi gawa sisir diarani sendhok, ayo plesir maring cipendhok. Parikan tersebut merupakan berupa ajakan untuk berwisata ke Cipendhok seperti yang diungkapkan pada kalimat kedua yang berbunyi ayo plesir maring cipendhok “mari berwisata ke Cipendhok.
Ke-2 pada bait ke-5 yang berbunyi curug cipendhok karang tengah, atine mongkog tambah bungah. Itu merupakan gambaran ketika kita berwisata ke Cipendhok hati susah bisa menjadi senang. Begitu juga dengan yang digambarkan pada parikan (ke-3) bait ke-5 berbunyi curug cipendhok banyune cilik, sinambi ndhodhok dulat dulit, itu merupakan gambaran air terjun yang ada mengalir tidak begitu deras, sehingga enak untuk dinikmati. Sebuah keadaan alam juga digambarkan pada parikan ke-4 bait ke-5 yang berbunyi undhak-undhakan manjat disit, lagi labuh aja balik, sing gendhakan tambah asik, sing weruh aja brisik. Di situ digambarkan jalannya berundak-undak, janganlah menyerah karena terasa enak untuk mereka yang datang dengan pasangannya.
Pada parikan ke-5 bait ke-7 merupakan sebuah himbauan yang berbunyi ali-ali ilang wrangkahe, aja lali karo kaendhahane, ali-ali kliru nganggone, aja lali panggonane. Maksud dari parikan tersebut adalah janganlah lupa akan keindahan alam yang ada di Air terjun Cipendok dan jangan lupa akan tempat wisatanya. Pada parikan ke-6 bait ke-9 sama halnya dengan dengan parikan ke-5 yang berisi himbauan, hanya saja berbeda maksud yang terkandung di dalamnya. Di sini lebih fokus kepada lokasi yaitu berada di Cipendhok Karangtengah, airnya melimpah ruah yang digambarkan pada bunyi curug cipendhok karang tengah, tengah curug banyune mlarah mlarah, melu cilongok pancen wis genah, mayuh sedulur padhang plesir nganah. Sebuah wisata alam yang menarik untuk dinikmati.
Pada dasarnya antara parikan pertama, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6 sama-sama mempunyai hubungan dengan isi. Unsur keterkaitan antara parikan dengan isi membuat geguritan Curug Cipendhok, bermakna dan menghibur.
5) Monumen Soedirman
Pada geguritan yang berjudul Monumen Soedirman terdapat satu parikan yaitu pada bait ke-3, yang berbunyi; kulon kali wetan kali, tengah-tengah kembang melathi, kari-kari aja lali, berjuang ngurak landi tekan mati. kalimat pertama dan kedua berupa sampiran dan tiga, empat adalah isi. Ungkapan kari kari aja lali merupakan sebuah ajakan pada generasi penerus bangsa agar jangan lupa akan perjuangan Jendral Soedirman, yang berjuang sampai titik darah penghabisan, seperti yang diungkapkan dalam baris ke-4; berjuang ngurak landi tekan mati.
6) Mlirik Dhingklik
Pada geguritan ini terdapat 4 parikan yang ada di dalamnya. Pertama pada bait ke-3 yaitu yang berbunyi anak bebek kon ora silem, awake dhewek kon ora dalem. Makna yang terkandung berupa kebanggaan akan hal yang dimiliki oleh dirinya. Hal itu tentunya tidak ada hubungan langsung dengan judul di atas akan tetapi itu merupakan penjelas dari bait ke-2 yang berisi tentang kebanggan akan pejabat yang berasal dari daerahnya sendiri.
Kedua pada bait ke-6 yang berbunyi esuk esuk mangan bubur, blusak blusuk golet sedulur. Makna terdapat pada kalimat kedua yang artinya kemana-mana mencari saudara. Saudara di sini merupakan ungkapan untuk mengatakan pendukungnya. Hal itu dilakukan karena Mlirik Dhingklik “mengincar jabatan”, agar dia bisa duduk di kursi pemerintahan.
Ketiga pada bait ke-9 yang berbunyi udhud nginthing bako garing, golet bithing padha sing eling. Makna parikan tersebut merupakan himbauan pejabat bahwa disaat mencari masa sebagai pendukungnya. Meskipun sebuah persaingan akan tetapi bersainglah yang sehat. Itu merupakan sebuah harapan kepada pejabat yang mengincar kursi pemerintahan agar jalur yang digunakan dalam mencari pendukungnya dengan cara yang benar.
Keempat pada bait ke-12 yang berbunyi mangan emping mlarah-mlarah, dadi pemimpin kudu sing amanah. Ungkapan itu merupakan sebuah harapakan yang ditulis dalam geguritan Mlirik Dhingklik yaitu disaat seorang pejabat sudah terpilih ingatlah akan janji yang diucapkannya saat mencari pendukung. Pimpinlah dengan baik, dan janganlah jabatan menjadi sebuah kesombongan.
7) Mantes-Mantes
Pada parikan Mantes-mantes terdapat pada bait ke-2 yang berbunyi; ambu wangi kembang jambe, awan bengi kemutan kowe. Kalimat pertama berupa sampiran dan kedua berupa isi, yaitu mempunyai makna bahwa siang malam teringat kamu. Secara tidak langsung kalimat itu merujuk pada gambaran orang yang sedang Mantes-mantes “menghayal”. Hayalan itu akan muncul ketika dia mengingatnya.
8) Nelayan
Pada geguritan ini terdapat pada bait ke-2 yaitu berbunyi; kembang boreh dadi bleluluk, mangkat sore bali esuk. Itu merupakan gambaran seorang nelayan yang bekerja berangkat disore hari dan pulang dipagi hari. Gambaran seorang nelayan yang giat bekerja keras.
9) Inyong Kangen Karo Rika
Pada geguritan ini terdapat 3 parikan. Pertama pada bait ke-17 yang berbunyi; ana kayu go gawe perabot, tiba ngglethak ana sing jiot, gemiyen ayu bokonge menthot, bareng duwe anak dadi gembrot. Makna parikan tersebut adalah merupakan gambaran ketika seorang teman sudah lama tidak bertemu dan pada saat bertemu sudah tidak secantik ketika masih sekolah dulu, karena sudah mempunyai anak banyak.
Ke-2 pada bait ke-18 yang berbunyi; gawe teken kayu nangka, kayune wonene lemu-lemu, inyong kangen karo rika, slawe taun nembe ketemu. Itu merupakan sebuah kerinduan yang dirasakan ketika seorang teman sudah 25 tahun tidak bertemu.
Ke-3 pada bait ke-19 yang berbunyi; jangan lenca dekira bakmi, ditambah kuah enak sekali, dong sekolah cinta pernah bersemi, tamat sekolah ditinggal pergi. Parikan itu merupakan sebuah gambaran ketika masih sekolah. Sebuah hubungan percintaan anak sekolah yang hanya seumur jagung. Perjalanan cinta yang dirasakan saat sekolah kemudian ditinggal pergi setelah tamat sekolah. Dari ketiga parikan di atas merupakan sebuah cerita dan kenangan masa lalu.
10) Centheng Desa
Dalam geguritan Centheng Desa ini terdapat 6 parikan. Pertama pada bait ke-2 yang berbunyi; aja monggeni wayah wengi, bocah wingi aja kemlinthi. Parikan tersebut merupakan harapan kepada pemuda, janganlah sombong karena kamu merasa paling kuat. Di situ digambarkan janganlah bermain api diwaktu malam, karena kamu sesungguhnya belum tahu akan malam hari.
Ke-2 pada bait ke-3 yang berbunyi; woen wuni kulite abang, angger wani maju tak tendhang. Itu merupakan gambaran kesombongan seorang pemuda yang begitu menggebu-gebu amarahnya. Usia yang rawan akan perubahan tingkah laku, digambarkan dalam kalimat angger wani maju tak tendhang “jika berani maju akan ditendang”. Ditendang di sini merupakan gambaran kecaman seorang pemuda.
Ke-3 pada bait ke-5 yang berbunyi; nganggo dasi dawa sesisih, esih bersih moh deresiki, ana reformasi padha rebut korsi, wong cilik repot nasi. Parikan tersebut mempunyai makna bahwa ketika reformasi menggejolak saling berebut kursi, tanpa memikirkan rakyat kecil yang kesulitan mencari makan. Itu merupakan sebuah gambaran preman di dalam sebuah pemerintahan.
Ke-4 pada bait ke-8 yang berbunyi; kaos oblong madan cungklang, bolong sepira ditambal dluwang, milih inyong aja sumelang, kanggo rika siap berjuang. Parikan tersebut merupakan gambaran para partai politik yang sedang merayu rakyat guna mendapatkan simpatinya. Rayuannya untuk memanfaatkan rakyat agar tertarik kepadanya.
Ke-5 pada bait ke-10 yang berbunyi nandur blingo oyode mulur, nandur beweh madep dhuwur, arep jago eman sedulur, sregep aweh sregep wuwur. Makna dari parikan tersebut merupakan sebuah tingkah laku yang dilakukan pejabat disaat ingin mendapatkan simpatinya. Digambarkan bahwa ketika ingin mencalonkan diri ia sayang kepada rakyat, murah senyum dan suka memberi.
Ke-6 pada bait ke-16 yang berbunyi; nabuh gong tabuhe nyilih, bareng jagong kelalen sing milih.Makna parikan tersebut merupakan kenyataan dan jawaban dari janji yang telah diumbar-umbar sebelumnya. Ia lupakan rakyat ketika ia sudah duduk di kursi pemerintahan.
11) Bada
Geguritan yang berjudul Bada terdapat 12 parikan. Pertama pada bait ke-2, yang berbunyi; kapuk megar tiba nglayang, kupluk anyar sregep sembahyang. Itu merupakan gambaran ketika sesuatu hal yang baru perubahan itu akan timbul yang digambarkan kupluk “peci”. Ia rajin solat ketika mendapatkan peci baru.
Ke-2 pada bait ke-4, yang berbunyi; tuku mrica digawa plesiran, rampung puasa padha takbiran. Parikan itu mempunyai makna bahwa setelah melakukan ibadah puasa penuh umat islam pada malam 1 syawal melakukan takbiran.
Ke-3 pada bait ke-6, yang berbunyi; maring kebon gawa klasa , klasa kuwal ning pinggiran, wulan romadhon padha puasa, wulan syawal padha lebaran. Maksud dari parikan itu merupakan gambaran ketika bulan puasa, saat itulah waktu lebaran tiba. Seperti yang digambarkan pada parikan ke-4, pada bait ke-8 yang berbunyi; ana baya mangan slada, ketiban bluluk ora sepira, bubar riaya pada bada, silaturahmi njaluk ngapura. Digambarkan bahwa setelah selesai bulan puasa saatnya silaturahmi atau bermaaf-maafan kepada orang yang ada di sekitar kita.
Ke-5 pada bait ke-9, yang berbunyi; kluban slada dekumbah sumur, maring sawah meme tudhung, lagi bada medang ora etung, bali ngomah wetenge bunthung. Itu merupakan gambaran ketika waktu lebaran. Semua orang memuaskan makan karena sebulan penuh ia berpuasa. Digambarkan bahwa ketika pulang kerumah perutnya sampai buncit karena kekenyangan.
Ke-6 pada bait ke-11, yang berbunyi; maring pasar tuku janganan, kurang uyah maring pedhangan, klambine anyar lunga salaman, terut umah padha medangan. Ini merupakan gambaran saat lebaran dengan hal yang baru, suasana baru. Dari rumah-ke rumah ia dapatkan makanan yang tersaji ketika lebaraan tiba.
Ke-7 pada bait ke-14, yang berbunyi; gawe pethi kayu jati, akeh bathi munggah kaji. Parikan tersebut ditujukan kepada mereka para pedagang yang untung ketika lebaran, karena dagangannya laku keras hingga keuntungannya bisa untuk naik haji.
Ke-8 pada bait ke-15, yang berbunyi; gawe pethi kayune mentah, akeh bathi seneng sedekah. Ini merupakan himbauan kepada para pedang, jangan lupa bersedekah ketika keuntungan itu didapat, karena itu merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepadamu.
Ke-9 pada bait ke-17, yang berbunyi; iwak sayur bumbu tomat, tomat selawe kulite tiba, ayuh sedulur emut solat, solat kuwe kuncine swarga. Makna dari parikan tersebut merupakan berupa peringatan bahwa beribadahlah, karena itu adalah kunci sorga. Hidup ini merupakan titipan yang Kuasa, sudah sewajarnya jika kita selalu ingat.
Ke-10 pada bait ke-19, yang berbunyi; klayar kluyur nggoleti beras, nguber beras decucuk dhara, ayuh sedulur padha iklas, bener salah padha ngapura. Parikan ini merupakan sebuah kata bijak yaitu sebuah kata maaf memang mudah akan tetapi harus didasari sebuah keiklasan. Benar dan salah tidak ada bedanya yang paling penting kita bisa minta maaf dengan ikhlas.
Ke-11 pada bait ke-21, yang berbunyi; jangan klewih bumbu kamijara, tabah micin rasane pera, wong sugih dunya bandhuara, wong miskin wetenge lara. Ungkapan parikan tersebut merupakan gambaran sebuah perbedaan antara miskin dan kaya. Mereka kaya berlimpah harta, sedangkan yang miskin sulit untuk makan.
Ke-12 pada bait ke-23, yang berbunyi; bocah pasaran nang pondhokan, pondhokan kaji nyembeleh kurban, bubar lebaran mabok-mabokan, kelalen ngaji lan nderes qur’an. Ini merupakan gambaran nyata bahwa setelah puasa selesai ia kembali kejalan yang dulu. Suka mabuk-mabukan dan meninggalkan solat kembali.
12) Panganten Anyar
Pada geguritan Penganten Anyar terdapat 6 parikan yang ada di dalamnya. Pertama pada bait ke-3 yang berbunyi; tuku suweng maring pasar, pasar klewer ana undar, paling seneng penganten anyar, bubar jejer udar-udar. Parikan ini merupakan gambaran seorang penganten baru yang akan melakukan malam pertama.
Ke-2 pada bait ke-6, yang berbunyi; benang lawe dawa sepethit, pentilane degawe jarit, barang gawe utang disit, bubarane ora duwe dhuit. Parikan itu menggambarkan bahwa ketika orang yang berhajat dengan modal hutang, diujung acara ia tidak mendapatkan hasil karena untuk membayar hutang.
Ke-3 dan 4 pada bait ke-8, yang berbunyi; lampu listrik degeyang-geyong, aja brisik mbok ana wong dan lampu listrik deutak-utik, ngesun sethithik rasane asik. Merupakan gambaran keadaan disaat malam pertama, ketika ketegangan mulai merasuk dalam tubuhnya semua terasa indah dan menakutkan. Takut akan seseorang mengintipnya indah saat ia harus melaluinya.
Ke-5 pada bait ke-10, yang berbunyi buang runtah godhonge dammar, damar loro kayune mubah, agi bungah penganten anyar, bukak kado isine grabah. Parikan itu menceritan tentang keadaan setelah hajatan, sebuah hasil yang didapat, digambarkan dengan membuka-buka kado.
Ke-6 pada bait ke-12, yang berbunyi; jangan beweh debuntel klaras, kanggo lawuh mandan enak, barang gawe olieh akeh beras, olih mantu tambah anak. Parikan tersebut merupakan sebuah gambaran keadaan sesudah hajatan, terpancar kesenangan karena bertambahnya anak (menantu).
13) Tulinan Lan Tukang Unther
Pada geguritan Tunilan Lan Tukang Uther terdapat satu bentuk parikan, yaitu padabait ke-2 yang berbunyi; gawa tumbu layan pikulan, pikulan kayu abote tengah, malem minggu padhang wulan, nyawang wong ayu atine bungah. Secara langsung makna yang terkandung dalam parikan dengan isi tentunya berbeda. Disitu hanya menggambarkan sebuah keadaan malam hari yang menyenangkan, dengan digambarkan terang bulan gadis-gadis cantik yang dilihatnya.
14) Plesir Gua Lawa
Pada geguritan Plesir Gua Lawa terdapat satu bentuk parikan, yaitu pada bait ke-3 yang berbunyi; aja kuciwa angger urung begja, begja susah aja kakean polah, plesir gua lawa neng purbalingga, ati bungah sukur karo gusti allah. Makna parikan tersebut adalah sebuah himbauan bahwa janganlah kecewa jika pergi ke Gua Lawa, sebuah tempat yang berada di Purbalingga, membuat hati senang dan gembira.
Pada dasarnya parikan yang ada mempunyai makna sebagai penjelas, itu terlihat dari analisis di atas. Memang ada sebagian yang berperan sebagai penghibur saja, hal itu bukan berarti parikan tersebut tidak mempunyai makna. Adanya hal itu dikarenakan parikan tersebut tidak mempunyai hubungan makna dengan isi.
4.1.3 Genetika Gurit Nonton Ronggeng Karya Warto Tirta
Genetik merupakan sebuah asal-usul karya sastra (Jabrohim 2001:63). Adapun faktor yang terkait dengan asal-usul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Adanya waktu sejarah dan masyarakat yang mempengaruhi terhadap proses terciptanya karya sastra baik dari isi bentuk atau strukturnya. Gurit Nonton Ronggeng karya Warto Tirta adalah sebuah karya sastra yang lahir di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Seorang pengarang yang lahir dan menikah di Kracak, Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, merupakan figur seorang Guru. Ia berprofesi sebagi warta anggota BPD, Pembina Karang Taruna, Kabid infokom PGRI Kabupaten Banyumas, serta pembina tukang ojek dan pemuda. Hal itu seperti yang digambarkan pada geguritan Ngenteni Babaran, Guru, dan Mantes-Mantes. Geguritan tersebut merupakan gambaran prilaku dirinya yang digambarkan dalam geguritannya.
Antologi geguritan Nonton Ronggeng merupakan sebuah gambaran kehidupan yang dilihat oleh seorang pengarang. Pengarang, yang merupakan makluk berbudaya, bermasyarakat serta mempunyai sejarah dalam kehidupannya tentu ada pengaruhnya terhadap karya yang diciptakannya.
Pengarang merupakan warga masyarakat Banyumas, tentunya ada pengaruhnya terhadap kreatifitas pengarang dalam mengembangkan karyanya. Lingkungan merupakan situasi yang paling utama dalam mempengaruhi imajinasi pengarang, hal itu dikarenakan pengarang hidup di lingkungan masyarakat. Seperti yang digambarkan dalam geguritan Wong Desa, Nyawah, Slametan Mimiti Pari, Ani-Ani, Deres, Mesjid Saka Tunggal, Baturaden, Terangan, Centheng Desa, Plesir Gua Lawa. Geguritan tersebut merupakan sebuah salah satu gambaran alam dan lingkungan masyarakat Banyumas pada umumnya.
Banyumas yang terdiri dari daratan dan pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, dataran tinggi untuk pemukiman dan sebagian pegunungan untuk perkebunan. Hasil bumi dan kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet. Sebagian besar masyarakat Banyumas merupakan petani sebagai penghasil padi, gula, kelapa serta hasil bumi lainnya.
Wilayah Banyumas yang terdiri dari dataran dan pegunungan, memberikan kesan yang sejuk. Selain potensi alam berupa hasil bumi, Banyumas juga mempunyai pemandangan alam yang indah untuk dipandang, seperti obyek wisata Baturaden, Curug Cipendhok, dan obyek wisata lainnya.
Pusat pemerintahan Banyumas berada di Purwokerto, menjadikan Banyumas sebagai kota mati. Pendhopo Sipanji merupakan salah satu tempat perintahan masa lampau yang berada di Banyumas, yang masih dipakai sampai sekarang. Pusat pemerintahan yang sebelumnya berada di Kabupaten Banyumas pindah ke Purwokerto. Alun-alun merupakan simbol dari seiap kota berada persis di depan pusat Pemerintahan. Segala aktifitas dari perkantoran, pemerintahan, perdagangan, pendidikan berpindah kesana.
Faktor kedua berupa unsur kebudayaan masyarakat Banyumas. Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali dipandang sebagai wilayah marginal (Koentjaraningrat, 1984) yang berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan kebudayaan yang berkembang wilayah negarigung (pusat kekuasaan keraton) yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Kebudayaan Banyumas atau sering pula disebut budaya Banyumasan hadir sebagai kebudayaan rakyat yang berkembang di kalangan rakyat jelata yang jauh dari lingkungan keraton.
Letak geografis Banyumas yang berada di daerah perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan kebudayaan Banyumas. Kedua kebudayaan ini mengalami perubahan yang bermuara pada terbentuknya ragam budaya tersendiri yang justru berbeda dengan kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda sebagai induk kebudayaan. Dalam konteks kesenian, lokal masyarakat Banyumas telah banyak menghasilkan ragam kesenian tradisional yang bernafas kerakyatan seperti Lengger(Ronggeng), Bongkel, Jemblung, Calung, Angklung, dan lain-lain.
Kebudayaan Banyumas juga dipengaruhi oleh kultur Barat (kolonial) seperti tercermin dalam berbagai ragam tradisi masyarakatnya. Tradisi marungan yang berupa kebiasaan para priyayi di daerah pedesaan yang suka bersenang-senang dengan minum-minuman keras sambil bermain kartu dan menyaksikan pertunjukan tarian ronggeng. Hal itu disinyalir merupakan pengaruh kolonialisme Belanda lama menguasai Indonesia.
Seperti yang digambarkan dalam Nonton Ronggeng, Ngebor,Mlirik Dhingklik, Centheng Desa, Kebut-Kebutan. Geguritan tersebut merupakan gambaran kebudayaan masyarakat Banyumas seperti yang diceritakan di atas, bahwa kebudayaan Banyumas dipengaruhi oleh Belanda yaitu mempunyai kebiasaan, suka bersenang-senang dengan minum-minuman keras sambil bermain kartu sambil menyaksikan pertunjukan tarian ronggeng. Hal itu disinyalir merupakan pengaruh kolonialisme Belanda yang telah lama menguasai Indonesia.
Adapun yang digambarkan dalam geguritan Mboke, Kasmaran, Ngenteni Babaran, Nrawang, Pasarah, Jonjang, Eling-eling, Dzikir, Pesthi, Mendhe, Bada, Kangen Biyung, dan Bapa, merupakan gambaran yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Sebagai pribadi yang ulet dan rajin, Ia merupakan seorang yang taat pada agama. Geguritan tersebut juga mengambarkan kesedihan ketika ia harus ditinggal seorang ibu yang mencintainya. Gambaran seorang suami yang merasa takut ketika seorang istri sedang melahirkan, itu merupakan pengalaman pribadi yang dialami oleh seorang pengarang.
Satu dari 44 geguritan yang ada dalam Antologi Nonton Ronggeng merupakan insfirasi yang bukan di alami dan dirasakan oleh pribadi seorang pengarang adalah geguritan Ngudarasa. Ngudarasa merupakan sebuah pengalaman dari seorang teman yang menggambarkan kerasnya kota. Kejadian yang harus dialami oleh seorang teman yang sedang mengadu nasib diperantoan.
Secara keseluruhan antologi geguritan Nonton Ronggeng merupakan sebuah cerita nyata dari seorang pengarang saat membaca alam, lingkungan masyarakat dan pribadi dirinya. Ini merupakan sebuah ungkapan keperihatinan dirinya akan bahasa Banyumasan yang hanya menjadi sebuah ejekan dan bahkan sebagian besar orang merasa malu, jika harus menulis dengan dialeknya. Lahirnya geguritan Nonton Ronggeng merupakan pembuktian dirinya, akan bahasa yang digunakan bisa terlahir sebuah karya sastra.