Breaking

Rabu, Agustus 09, 2023

Rabu, Agustus 09, 2023

Taman Bunga Celosia Bandungan



Di Kabupaten Semarang, terdapat sebuah tempat yang begitu memikat hati dengan pesonanya yang tak kalah menakjubkan. Daerah Bandungan, dikenal sebagai surga udara sejuk dan keindahan kebun-kebun bunga yang memukau, menghadirkan daya tarik wisata yang tak terlupakan. Namun, di tengah semua keindahan ini, ada sebuah destinasi yang mampu mencuri perhatian dengan gemerlapnya, Taman Bunga Celosia namanya.
Terhampar di kaki gunung Ungaran, Taman Bunga Celosia adalah manifestasi nyata dari konsep wisata kekinian yang sedang tren. Lebih dari sekadar panorama taman bunga yang menawan, tempat ini memadukan seni visual dengan hiburan modern. Jangan kaget jika Anda menemukan diri Anda terhanyut dalam pesona warna-warni celosia yang memenuhi area taman. Namun, yang membuatnya lebih istimewa adalah adanya beragam wahana permainan yang mengundang gelak tawa serta spot-spot foto yang menantang kreativitas Anda.
Tidak hanya mata yang dimanjakan, juga lidah Anda akan dimanjakan oleh ragam wisata kuliner yang siap memanjakan rasa. Setiap sudut taman memancarkan kehidupan, menciptakan pengalaman yang menyatu dengan keindahan alam sekitarnya. Lokasinya yang terletak di Jalan Wisata Candi Gedong Songo Km 0.5, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, menjadikannya sebagai tujuan mudah dijangkau, terutama bagi mereka yang hendak mengunjungi Candi Gedong Songo.
Rute perjalanan ke Kebun Bunga Celosia Bandungan tak hanya sekadar perjalanan, tetapi juga sebuah petualangan yang sejalan dengan jalan menuju ke Candi Gedong Songo. Mengunjungi tempat ini adalah menghadirkan sentuhan magis yang menggabungkan alam, seni, dan hiburan dalam satu paket tak terlupakan. Jadi, jika Anda mencari perpaduan sempurna antara pesona alam dan sensasi kekinian, Taman Bunga Celosia adalah tempat yang tak boleh Anda lewatkan.

Daya tarik Taman Bunga Celosia



Bagi para pengunjung yang memasuki Taman Bunga Celosia, pengalaman yang ditawarkan melebihi sekadar merasakan keindahan taman bunga semata. Di sini, kunjungan bukan hanya mengajak mata berkelana, tapi juga mengajak jiwa dan kreativitas untuk bermain. Udara segar yang berasal dari ketinggian Gunung Ungaran menyambut setiap langkah, memberikan sensasi yang menghirup kedamaian.

Dalam suasana yang penuh keajaiban ini, tak heran banyak pengunjung tiba dengan tujuan lebih dari sekadar menikmati pesona bunga. Mereka ingin meresapi momen berharga dengan latar alam yang mengagumkan. Sudut-sudut taman menjadi panggung eksplorasi visual, mengundang setiap pengunjung untuk berpose seiring angin sejuk yang menerpa.

Begitu banyak pilihan spot menarik yang menghiasi taman ini, masing-masing menghadirkan suasana yang unik. Jembatan kaca membawa sensasi melayang di atas keindahan bawahnya, lorong tanpa batas melahirkan ilusi tak terhingga, taman kaktus memadukan keanggunan tanaman unik, dan rainbow wisteria menciptakan landasan yang penuh warna-warni. Vertical garden dan tropical garden memberikan pengalaman seakan berada di dalam khayalan hijau yang nyata.

Tak hanya sebatas keindahan taman, Taman Bunga Celosia membawa pengalaman tak terlupakan melalui beragam hiburan dan aktivitas. Di "Little Korea", Anda dapat merasakan sensasi budaya dengan mengenakan hanbok sebagai aksesori foto yang elegan. Bagi yang mencari sensasi lebih berenergi, beragam wahana seperti kolam renang, ontang-anting, trampoline, bom-bom car, mini trail, go kart, hingga taman kelinci siap menghibur dan menguji adrenalin.

Tidak perlu khawatir tentang fasilitas, karena Taman Bunga Celosia telah menyediakan segala yang diperlukan. Tolet yang nyaman, tempat ibadah untuk merenung, dan tempat parkir untuk kenyamanan. Café garden menjadi tempat sempurna untuk bersantai sambil menikmati hidangan lezat, sementara pertunjukkan live music menambahkan sentuhan artistik di tengah alam.

Jika ingin membawa pulang secuil keindahan taman, jangan lewatkan kesempatan untuk membeli bunga-bunga yang cantik. Setiap elemen di Taman Bunga Celosia bekerja harmonis untuk menciptakan pengalaman wisata yang tak terlupakan. Jadi, siapkan diri Anda untuk terpesona oleh pesona taman bunga yang tak hanya memanjakan mata, tapi juga jiwa dan semangat petualangan Anda.


Jumat, Juli 14, 2023

Jumat, Juli 14, 2023

Puntadewa (Yudistira)



Nama lain Puntadewa :
     * Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
    * Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
    * Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
    * Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
    * Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
* Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
    * Pandawa, "putera Pandu".
    * Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:

    * Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
    * Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
    * Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
Raden Puntadewa adalah putra sulung dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.

Puntadewa adalah putra Raja Pandu dan Ratu Kunti. Namun, sebenarnya ia adalah putra Ratu Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal ini terjadi karena kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh oleh Pandu saat mereka sedang berhubungan intim dalam wujud kijang. Namun, berkat ajian Adityaredhaya, Kunti dan Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk melahirkan pewaris tahta kerajaan.

Puntadewa memiliki empat saudara, dua saudara seibu, dan dua saudara berbeda ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen.

Puntadewa memiliki beberapa alias atau nama lain, seperti Raden Dwijakangka, yang digunakan saat ia hidup dalam pengasingan selama 13 tahun di kerajaan Wirata. Ia juga dikenal sebagai Raden Darmaputra karena merupakan putra Batara Darma. Nama-nama lainnya termasuk Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, yang merupakan julukan dari Prabu Kresna.

Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.

Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.


Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya, setelah Pandawa berhasil lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak disuatu purocana (semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan menyerahkan setengah dari Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu muslihat kurawa yang membuat para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada malamnya mereka dapat leluasa membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang menyadari hal itu dengan cepat membawa saudara-saudara dan ibunya lari menuju terowngan yang diiringi oleh garangan putih sampai pada Kayangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke Pancala, dimana sedang diadakan sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi. Barang siapa berhasil mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan yang berhasil dalam sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi Drupadi untuk diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah mengalahkan Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah pohon beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama Pancawala.

Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.

Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki jimat peninggalan dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang, Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya menyentuh kalung ini makan seketika itu pulalah, ia dapat berubah menjadi raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat Jamus Kalimasada.
Kemudian atas bantuan dari Werkudara, adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah mengadakan Sesaji Raja Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara. Dengan demikian Puntadewa menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan bagi raja-raja di dunia.

Pada Perang besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “….tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar Astina tersebut.
Setelah selesai Baratayuda, Puntadewa menjadi raja di Astina sebentar dengan gelar Prabu Kalimataya. Lalu di gantikan oleh cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Setelah tua, Puntadewa lalu memimpin adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya untuk mencapai nirwana. Disana satu persatu istri dan adik-adiknya meninggal, lalu hanya ia dan anjingnya lah yang sampai di pintu nirwana, di sana Batara Indra menolak membawa masuk anjing tersebut, namun puntadewa bersikeras membawanya masuk. Lalu setelah perdebatan panjang anjing tersebut berubah menjadi Batara Darma dan ikut ke nirwana bersama Puntadewa.

Kamis, Juli 13, 2023

Kamis, Juli 13, 2023

Kisah Pewayangan: Cerita Asal Usul Lahirnya Pandawa Lima dalam Kisah Mahabharata


Panadawa adalah kelompok tokoh dalam wiracarita Mahabharata, sebuah epos kuno dari India. Mereka adalah keturunan Dewa Dharma, yang berperan dalam membangun fondasi moral dan etika yang kuat bagi masyarakat. Panadawa terdiri dari lima saudara, yaitu Yudistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sahadeva, serta saudara perempuan mereka, Draupadi.

Menurut Mahabharata, Panadawa lahir dari Raja Pandu dengan bantuan beberapa Dewa. Raja Pandu adalah raja dari Kuru, salah satu kerajaan di India kuno. Namun, Raja Pandu mengalami kutukan yang menyebabkannya tidak dapat memiliki keturunan secara alami. Oleh karena itu, ia meminta izin dari istrinya, Kunti, untuk menggunakan sebuah mantra atau doa yang diberikan oleh Dewa Dharma.

Kunti diberikan kekuatan oleh Dewa tersebut untuk memanggil Dewa-Dewa dan mendapatkan keturunan darinya. Dengan izin Kunti, ia menggunakan mantra tersebut dan memanggil Dewa Dharma. Dalam pertemuan mereka, Kunti mendapatkan anugerah untuk memiliki lima anak dari lima Dewa yang berbeda.

Kemudian, Kunti membagikan anugerah tersebut kepada sahabat Raja Pandu, yakni Madri. Kunti meminta Madri untuk memanggil Dewa-Dewa lain dan mendapatkan dua anak. Dengan demikian, kelahiran Panadawa menjadi mungkin karena peran Dewa-Dewa dalam menghadapi permohonan Kunti dan Madri.

Setelah kelahiran, Panadawa dibesarkan di istana dan mendapatkan pendidikan yang baik. Mereka tumbuh menjadi pahlawan dan pemimpin yang hebat dalam epik Mahabharata, dan terlibat dalam perang besar antara Pandawa dan Korawa yang terjadi di Kurukshetra.

Catatan: Mahabharata adalah wiracarita kuno yang memiliki berbagai versi dan interpretasi. Informasi ini didasarkan pada versi yang umumnya diterima, tetapi perbedaan dan variasi dapat ditemukan dalam cerita ini.

Rabu, Juli 12, 2023

Rabu, Juli 12, 2023

Menyelami Makna Filosofis Tokoh Pewayangan Jawa, Punakawan



Dalam dunia pewayangan Jawa, cerita lahirnya punakawan atau tokoh-tokoh kecil yang lucu dan cerdik ini sangat terkenal. Namun, sebenarnya tidak ada satu cerita khusus yang menceritakan secara rinci tentang asal-usul punakawan. Sebaliknya, keberadaan mereka dalam pewayangan lebih merupakan hasil perkembangan dan penambahan dalam cerita pewayangan yang sudah ada.
Istilah punakawan berasal dari kata pana yang artinya paham, dan kawan yang artinya teman. Jika mencari tokoh Punakawan di naskah Mahabharata dan Ramayana, jangan heran jika tokoh Punakawan tidak ada di sana. Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa. Menurut Slamet Muljana, seorang sejarawan, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
Punokawan terkenal yang sering muncul dalam cerita pewayangan Jawa adalah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka sering berperan sebagai teman atau pengiring tokoh utama, seperti para ksatria atau pangeran. Punakawan dikenal sebagai tokoh humor dalam cerita pewayangan dan sering kali memberikan komentar-komentar lucu yang menghibur penonton.

Meskipun tidak ada cerita spesifik tentang lahirnya punakawan, ada beberapa cerita yang menjelaskan latar belakang atau hubungan mereka dengan tokoh-tokoh lain dalam pewayangan. Misalnya, Semar, yang dianggap sebagai punakawan senior, sering kali dijelaskan sebagai tokoh dari kerajaan Alengka yang dikirim oleh Dewi Rama, istri Raja Dasaratha, untuk membantu putranya, Rama, dalam menjalankan tugasnya sebagai pahlawan.

Bagi Gareng, Petruk, dan Bagong, tidak ada cerita yang menggambarkan secara rinci asal-usul mereka. Namun, mereka sering kali dianggap sebagai saudara atau anak-anak Semar dalam cerita pewayangan. Kehadiran mereka dalam cerita pewayangan memberikan warna dan hiburan yang khas, sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral kepada penonton.

Secara keseluruhan, punakawan merupakan tokoh-tokoh yang melekat dalam cerita pewayangan Jawa. Keberadaan mereka memberikan sentuhan humor dan hiburan dalam pertunjukan pewayangan, sambil membawa pesan-pesan moral kepada penonton. Meskipun tidak ada satu cerita tunggal tentang lahirnya punakawan, mereka tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam budaya dan tradisi pewayangan Jawa.

Semar
Salah satu tokoh yang selalu ada di Punakawan ini, dikisahkan sebagai abdi tokoh utama cerita Sahadewa dari keluarga Pandawa. Bukan hanya sebagai abdi, namun Semar juga kerap kali memberikan nasihat-nasihat bijaksananya untuk keluarga Pandawa. Semar digambarkan sebagai tokoh yang sabar dan bijaksana. Kepala dan pandangan Semar menghadap ke atas, menggambarkan kehidupan manusia agar selalu mengingat Sang Kuasa. Kain yang dipakai sebagai baju oleh Semar, yakni kain Semar Parangkusumorojo merupakan perwujudan agar memayuhayuning banowo atau menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. Di kalangan spiritual Jawa, Semar dianggap sebagai symbol ke-Esaan.

Gareng

Dalam cerita pewayangan Jawa, diceritakan Nala Gareng adalah anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diangkat anak oleh Semar. Pancalparnor adalah nama lain Gareng yang artinya menolak godaan duniawi. Gareng memiliki kaki pincang, hal ini mengajarkan agar selalu barhati-hati dalam bertindak. Dalam suatu cerita, Gareng dulunya adalah seorang raja, namun karena ia sombong, ia menantang setiap ksatria yang ia temui dan dalam suatu pertarungan, mereka seimbang.

Tidak ada yang menang maupun kalah, namun dari pertarungan itu. Wajah Gareng yang awalnya rupawan menjadi buruk rupa. Gareng memiliki perawakan yang pendek dan selalu menunduk, hal ini menandakan kehati-hatian, meskipun sudah makmur, tetapi harus tetap waspada. Matanya juling yang menandakan ia tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan. Tangannya melengkung, hal ini menggambarkan untuk tidak merampas hak orang lain.

Petruk

Petruk digambarkan sebagai sosok yang gemar bercanda, baik melalui ucapan ataupun tingkah laku. Ia adalah anak ke dua yang diangkat oleh Semar. Nama lainnya yakni Kanthong Bolong, yang artinya suka berdema. Sebagai punakawan, ia adalah sosok yang bisa mengasuh, merahasiakan masalah, pendengar yang baik, dan selalu membawa manfaat bagi orang lain.

Dalam suatu cerita, saat pembangunan candi Sapta Arga, kerajaan ditinggalkan dalam keadaan kosong. Kemudian jimat Kalimasada milik pandawa pun hilang. Jimat itu dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu, Bambang Irawan – anak Arjuna – bersama Petruk berusaha merebut jimat tersebut. Akhirnya jimat itu berhasil direbut oleh Bambang Irawan dan dititipkan kepada Petruk. Namun sayangnya Petruk menghilangkan jimat tersebut. Untungnya jimat itu dapat ditemukan kembali, kemudian ia meminta maaf pada Pandawa. Melalui kisah itu, Petruk ingin mengingatkan untuk memperhitungkan setiap tata kelakuan dan tidak mudah percaya kepada siapapun. Kemudian ia juga mengajarkan untuk berani mengakui kesalahan.

Bagong

Bagong adalah anak ke tiga yang diangkat oleh Semar. Diceritakan, Bagong adalah manusia yang muncul dari bayangan. Suatu ketika, Gareng dan Petruk minta dicarika teman oleh Semar, kemudian Sang Hyang Tunggal berkata “Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri” seketika, sosok Bagong muncul dari bayangan.

Sosok Bagong digambarkan berbadan pendek, gemuk, tetapi mata dan mulutnya lebar, yang menggambarkan sifatnya yang lancang namun jujur dan sakti. Ia kerap kali melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Dari sikap Baagong yang tergesa-gesa itu, justru mengajarkan untuk selalu memperhitungkan apa yang hendak dilakukan, agar tidak seperti Bagong. Tokoh pewayangan satu ini juga mengingatkan bahwa manusia di dunia memiliki berbagai watak dan perilaku. Tidak semuanya baik, sehingga setiap orang harus bisa memahami watak orang lain, toleran, dan bermasyarakat dengan baik.

Selasa, Juli 11, 2023

Selasa, Juli 11, 2023

Semar dalam Wayang: Kebijaksanaan, Perlindungan, dan Cinta yang Melampaui Batas



Pendahuluan:
Dalam seni pertunjukan wayang, terdapat banyak karakter yang memiliki makna mendalam, salah satunya adalah Semar. Semar adalah salah satu tokoh Punokawan dalam tradisi wayang Jawa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi karakteristik, peran, dan keunikan Semar dalam pertunjukan wayang.

Karakteristik Semar:
Semar adalah salah satu tokoh Punokawan yang memiliki karakteristik yang khas. Ia digambarkan dengan postur tubuh yang pendek dan gemuk, memiliki wajah yang cerdas, dan sering kali menggunakan gaya bicara yang khas. Ia adalah tokoh yang bijaksana, penyabar, dan penuh kasih sayang. Semar juga dikenal karena cintanya yang tulus kepada keluarga dan kesetiaannya sebagai penjaga dan pelindung.

Peran Semar dalam Wayang:
Semar memiliki peran penting dalam pertunjukan wayang. Ia sering kali menjadi penasihat dan mentor bagi para tokoh utama, terutama Pandawa. Dalam pertunjukan wayang, Semar memberikan nasihat kebijaksanaan, mengingatkan akan nilai-nilai moral, dan membantu tokoh-tokoh utama dalam menghadapi cobaan dan konflik. Ia juga berperan sebagai sosok pelindung yang mampu melawan kejahatan dan mempertahankan kebenaran.

Kebijaksanaan dan Perlindungan Semar:
Kebijaksanaan adalah salah satu ciri khas yang melekat pada karakter Semar. Ia memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam, serta kemampuan untuk melihat jauh ke depan. Kebijaksanaan Semar tercermin dalam nasihat-nasihatnya yang bijak dan dalam upayanya untuk menjaga ketertiban dan keseimbangan dalam dunia wayang. Selain itu, Semar juga melambangkan perlindungan yang kuat. Ia siap melindungi dan membela keluarganya atau siapapun yang membutuhkan bantuan dan perlindungan.

Cinta yang Melampaui Batas:
Semar juga dikenal karena cintanya yang tulus dan melampaui batas. Ia sangat mencintai keluarganya, terutama Pandawa, dan siap melakukan apa saja untuk melindungi mereka. Cinta Semar mewakili kasih sayang tanpa syarat dan pengorbanan tanpa pamrih. Karakter ini mengajarkan tentang pentingnya cinta, keluarga, dan persaudaraan yang kuat.

Warisan Semar:
Semar telah menjadi salah satu karakter yang sangat populer dalam tradisi wayang Jawa. Karakternya yang bijaksana, penyayang, dan penuh kasih sayang membuatnya menjadi favorit penonton dari berbagai kalangan. Tidak hanya dalam pertunjukan wayang tradisional, tetapi juga dalam berbagai adaptasi modern seperti sandiwara, film, dan acara televisi. Semar terus menjadi simbol kebijaksanaan, perlindungan, dan cinta yang melampaui batas dalam budaya Jawa dan terus menginspirasi penonton dengan pesan-pesannya yang mendalam

Senin, Juli 10, 2023

Senin, Juli 10, 2023

Gareng dalam Wayang: Humor, Kejujuran, dan Keterlibatan yang Menginspirasi



Pendahuluan:
Dalam seni pertunjukan wayang, terdapat banyak karakter yang menarik dan menghibur, salah satunya adalah Gareng. Gareng adalah salah satu tokoh Punokawan dalam tradisi wayang Jawa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi karakteristik, peran, dan keunikan Gareng dalam pertunjukan wayang.

Karakteristik Gareng:
Gareng adalah salah satu tokoh Punokawan yang memiliki karakteristik yang unik. Ia digambarkan dengan badan yang pendek, kurus, dan memiliki wajah yang khas. Gareng sering kali menggunakan bahasa yang humoris, dengan dialog yang kocak dan lucu. Ia juga dikenal karena sifatnya yang jujur, tulus, dan sederhana. Gareng sering kali menjadi tokoh yang memberikan komentar-komentar tajam dan kritik sosial dalam pertunjukan wayang.

Peran Gareng dalam Wayang:
Gareng memiliki peran penting dalam pertunjukan wayang. Ia sering kali menjadi sumber humor dan komedi dalam cerita, membawa tawa dan kegembiraan kepada penonton. Dalam dialognya dengan karakter lain, Gareng menggunakan kalimat-kalimat yang lucu, kocak, dan mengandung permainan kata yang menghibur. Selain itu, Gareng juga berperan sebagai penjaga kejujuran dan moralitas. Ia sering kali mengungkapkan kebenaran dan memberikan komentar kritis terhadap tindakan yang salah atau ketidakadilan.

Kejujuran dan Keterlibatan Gareng:
Kejujuran adalah salah satu ciri khas yang melekat pada karakter Gareng. Ia tidak takut untuk mengungkapkan kebenaran dan memberikan komentar yang tajam, bahkan jika itu berarti mengkritik penguasa atau orang-orang berkuasa. Gareng juga sering kali mewakili suara rakyat kecil dan memberikan perspektif dari sudut pandang mereka. Melalui kejujuran dan keterlibatannya, Gareng menginspirasi penonton untuk tetap teguh pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran.

Kepopuleran Gareng:
Gareng telah menjadi salah satu karakter yang sangat populer dalam tradisi wayang Jawa. Karakternya yang humoris, jujur, dan penuh kritik sosial membuatnya menjadi favorit penonton dari berbagai kalangan. Tidak hanya dalam pertunjukan wayang tradisional, tetapi juga dalam berbagai adaptasi modern seperti sandiwara, film, dan acara televisi. Gareng terus menjadi ikon humor dan kejujuran dalam budaya Jawa dan terus menginspirasi penonton dengan pesan-pesannya yang memotivasi.

Kesimpulan:
Gareng adalah salah satu tokoh Punokawan yang menarik dalam pertunjukan wayang. Karakternya yang humoris, jujur, dan penuh kritik sosial membuatnya menjadi sumber humor dan kegembiraan dalam cerita wayang. Gareng tidak hanya menghibur penonton,tetapi juga memberikan pesan kejujuran, kebenaran, dan keterlibatan dalam pertunjukan. Kepopulerannya dalam tradisi wayang Jawa dan dalam budaya modern adalah bukti keunikan dan daya tarik dari karakter yang menghadirkan tawa, menginspirasi kejujuran, serta memberikan komentar kritis terhadap ketidakadilan. Gareng adalah sosok yang mengajarkan pentingnya mempertahankan integritas dan mengungkapkan kebenaran, serta mewakili suara rakyat kecil dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

Minggu, Juli 09, 2023

Minggu, Juli 09, 2023

Petruk dalam Wayang: Kejenakaan dan Kecerdikan yang Menghibur



Pendahuluan:
Dalam seni pertunjukan wayang, terdapat banyak karakter yang menarik dan menghibur, salah satunya adalah Petruk. Petruk adalah salah satu tokoh Punokawan dalam tradisi wayang Jawa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi karakteristik, peran, dan keunikan Petruk dalam pertunjukan wayang.

Karakteristik Petruk:
Petruk adalah salah satu tokoh Punokawan yang memiliki karakteristik yang unik. Ia digambarkan sebagai sosok yang cerdik, jenaka, dan berpenampilan kurus dengan postur tubuh yang panjang. Petruk sering kali menggunakan bahasa yang lucu dan jenaka, dengan dialog yang penuh dengan kalimat-kalimat cerdas dan permainan kata yang menghibur. Ia juga dikenal karena tingkah laku yang menggelikan dan gerakan yang lincah.

Peran Petruk dalam Wayang:
Petruk memiliki peran penting dalam pertunjukan wayang. Ia sering kali menjadi sumber humor dan komedi dalam cerita, membawa tawa dan kegembiraan kepada penonton. Dalam dialognya dengan karakter lain, Petruk menggunakan kalimat-kalimat yang kocak dan cerdas, memainkan permainan kata dan humor verbal yang membuat penonton terhibur. Selain itu, Petruk juga berfungsi sebagai pencair suasana dan pembawa kelucuan di antara momen-momen tegang dan serius dalam cerita.

Kelicikan dan Kecerdikan Petruk:
Kelicikan dan kecerdikan Petruk membuatnya menjadi karakter yang disukai oleh penonton. Ia sering kali menggunakan strategi licik dan trik cerdik untuk menghadapi situasi sulit atau untuk memenangkan perdebatan dengan karakter lain. Kecerdikan Petruk juga terlihat dalam kejelian dalam melihat kelemahan orang lain dan memanfaatkannya dengan cara yang lucu dan menghibur.

Kepopuleran Petruk:
Petruk telah menjadi salah satu karakter yang sangat populer dalam tradisi wayang Jawa. Karakternya yang lucu, cerdik, dan menghibur membuatnya menjadi favorit penonton dari berbagai kalangan. Tidak hanya dalam pertunjukan wayang tradisional, tetapi juga dalam berbagai adaptasi modern seperti sandiwara, film, dan acara televisi. Petruk terus menjadi ikon komedi dalam budaya Jawa dan terus memikat penonton dengan kejenakaannya yang khas.

Kesimpulan:
Petruk adalah salah satu tokoh Punokawan yang menarik dalam pertunjukan wayang. Karakternya yang lucu, cerdik, dan lincah membuatnya menjadi sumber humor dan kegembiraan dalam cerita wayang. Petruk tidak hanya menghibur penonton, tetapi juga memberikan sentuhan kecerdikan dan kejenakaan yang memeriahkan suasana. Kepopulerannya dalam tradisi wayang Jawa dan dalam budaya modern adalah bukti keunikan dan daya tarik dari karakter yang menghadirkan tawa dan kegembiraan kepada penonton.

Sabtu, Juli 08, 2023

Sabtu, Juli 08, 2023

Bagong dalam Wayang: Humor dan Kelicikan yang Menghibur



Pendahuluan:
Dalam seni pertunjukan wayang, terdapat banyak karakter yang menarik dan menghibur, salah satunya adalah Bagong. Bagong adalah salah satu tokoh Punokawan dalam tradisi wayang Jawa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi karakteristik, peran, dan keunikan Bagong dalam pertunjukan wayang.

Karakteristik Bagong:
Bagong adalah salah satu tokoh Punokawan yang memiliki karakteristik yang unik. Ia digambarkan sebagai tokoh muda dengan wajah yang polos dan ceria. Bagong sering kali menggunakan bahasa yang lucu dan kocak, dan memiliki kecenderungan untuk mencari jalan pintas dan trik cerdik dalam menghadapi situasi sulit. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan kelicikan.

Peran Bagong dalam Wayang:
Bagong memiliki peran penting dalam pertunjukan wayang. Ia sering kali menjadi sumber humor dan komedi dalam cerita, membawa keceriaan dan tawa kepada penonton. Dalam dialognya dengan karakter lain, Bagong menggunakan kalimat-kalimat yang kocak dan cerdas, yang membuat penonton terhibur. Selain itu, Bagong juga berfungsi sebagai pembawa pesan moral dan nasihat kehidupan dalam cerita wayang. Meskipun terlihat kocak, Bagong sering kali menyampaikan pesan-pesan yang dalam dan berarti.

Kelicikan dan Humor Bagong:
Kelicikan dan humor Bagong membuatnya menjadi karakter yang disukai oleh penonton. Ia menggunakan trik dan strategi cerdik untuk mengatasi situasi sulit, sering kali mengalahkan lawan-lawannya dengan caranya sendiri yang unik. Kelicikan dan humor Bagong juga memberikan keseimbangan dalam pertunjukan wayang, menghadirkan momen hiburan yang segar di antara keseriusan dan kepentingan moral yang disampaikan dalam cerita.

Kepopuleran Bagong:
Bagong telah menjadi salah satu karakter yang sangat populer dalam tradisi wayang Jawa. Karakternya yang kocak, cerdik, dan menghibur membuatnya menjadi favorit penonton dari berbagai kalangan. Tidak hanya dalam pertunjukan wayang tradisional, tetapi juga dalam berbagai adaptasi modern seperti sandiwara, film, dan acara televisi. Karakter Bagong terus diperbarui dan dikembangkan, tetapi tetap mempertahankan esensi humor dan kecerdikannya yang khas.

Kesimpulan:
Bagong adalah salah satu tokoh Punokawan yang menarik dalam pertunjukan wayang. Karakternya yang kocak, cerdik, dan kelicikan membuatnya menjadi sumber humor dan hiburan dalam cerita wayang. Bagong tidak hanya menghibur penonton, tetapi juga memberikan pesan moral dan nasihat kehidupan. Kepopulerannya dalam tradisi wayang Jawa dan dalam budaya modern menunjukkan daya tarik yang tak terelakkan dari karakter yang ceria dan penuh trik ini.

Jumat, Juli 07, 2023

Jumat, Juli 07, 2023

Pandawa: Keberanian, Kehormatan, dan Keberhasilan dalam Mahabharata



Pendahuluan:
Dalam wiracarita Mahabharata, salah satu epik terbesar dalam sastra India kuno, terdapat kelompok pahlawan yang terkenal dengan nama Pandawa. Pandawa adalah kelompok lima bersaudara yang terdiri dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi karakteristik, peran, dan makna Pandawa dalam kisah Mahabharata.

Asal-Usul Pandawa:
Pandawa adalah keturunan Raja Pandu dan Dewi Kunti, serta merupakan saudara sepupu dari Kurawa, kelompok antagonis dalam Mahabharata. Ayah Pandawa, Raja Pandu, adalah keturunan Kuru, sedangkan ibu mereka, Dewi Kunti, adalah putri dari raja Yadawa. Pandawa dibesarkan di tengah-tengah kesulitan dan cobaan, termasuk pengasingan di hutan selama 12 tahun.

Karakteristik Pandawa:
Setiap anggota Pandawa memiliki karakteristik yang unik. Yudhistira, yang merupakan tokoh tertua, dikenal karena kebajikan dan kejujurannya. Bima, yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, adalah simbol keberanian dan kekuatan. Arjuna, yang terkenal sebagai pemanah ulung, mewakili keahlian dan keterampilan dalam pertempuran. Nakula dan Sadewa, saudara kembar, dikenal karena kecantikan dan kesetiaan mereka. Setiap karakter Pandawa memiliki peran dan kualitas yang penting dalam memerangi kejahatan dan mempertahankan kebenaran.

Peran Pandawa dalam Mahabharata:
Pandawa memiliki peran sentral dalam konflik utama dalam Mahabharata antara Pandawa dan Kurawa. Mereka berjuang untuk mempertahankan hak mereka atas kerajaan Kuru yang sah dan melawan korupsi, pengkhianatan, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Kurawa. Pandawa juga dikenal karena keberhasilan mereka dalam pertempuran dan strategi militer yang cerdas. Mereka membuktikan kemampuan mereka sebagai prajurit yang berani dan pemberani dalam berbagai pertempuran penting.

Makna Pandawa:
Pandawa melambangkan kebajikan, kehormatan, keberanian, dan keberhasilan dalam melawan kejahatan dan ketidakadilan. Mereka dianggap sebagai contoh ideal kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab. Kisah Pandawa dalam Mahabharata mengajarkan nilai-nilai moral, etika, dan keadilan kepada pembaca dan penonton. Mereka menggambarkan pentingnya mempertahankan kebenaran dan integritas dalam menghadapi cobaan dan kesulitan dalam kehidupan.

Pesan-pesan dari Pandawa juga melibatkan konsep ketulusan, persaudaraan, dan pengabdian kepada tugas. Pandawa bersatu sebagai keluarga yang solid dan saling mendukung, menghadapi tantangan bersama-sama. Keberhasilan mereka tidak hanya didapatkan karena kehebatan individu, tetapi juga karena kerja tim, kepercayaan, dan pengorbanan satu sama lain.

Warisan Pandawa:
Kisah Pandawa dalam Mahabharata tidak hanya memiliki dampak yang besar dalam budaya dan agama India, tetapi juga diakui dan dihormati di seluruh dunia. Karakteristik dan kisah heroik mereka telah menginspirasi banyak karya seni, sastra, dan pertunjukan teater. Nilai-nilai yang mereka wakili, seperti keberanian, kejujuran, persatuan, dan keberhasilan melawan kejahatan, terus relevan dalam kehidupan manusia hingga saat ini.

Kesimpulan:
Pandawa adalah kelompok pahlawan yang terkenal dalam epik Mahabharata. Mereka melambangkan keberanian, kehormatan, dan keberhasilan dalam melawan kejahatan dan ketidakadilan. Karakteristik dan peran mereka dalam kisah Mahabharata mengajarkan nilai-nilai moral dan etika, serta mempertegas pentingnya mempertahankan kebenaran dan integritas dalam kehidupan. Kisah Pandawa terus diwarisi dan dihormati dalam budaya dan sastra India, serta mempengaruhi inspirasi kreatif di seluruh dunia.





Kamis, Juli 06, 2023

Kamis, Juli 06, 2023

Punokawan: Karakter Pewayangan yang Menghibur dan Penuh Makna



Pendahuluan:
Punokawan adalah salah satu kelompok karakter yang sangat terkenal dalam seni pertunjukan wayang, khususnya dalam wayang kulit Jawa. Punokawan terdiri dari empat tokoh utama, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi asal-usul, karakteristik, dan makna dari Punokawan dalam tradisi pewayangan Jawa.

Asal-Usul Punokawan:
Asal-usul Punokawan berkaitan dengan kisah panjang tentang kelahiran Semar, yang merupakan tokoh pewayangan yang paling senior di antara mereka. Menurut legenda, Semar adalah abdi dewa yang bertugas melindungi kerajaan di masa lalu. Ia diutus oleh dewa untuk menjaga ketertiban dan memberikan nasihat kepada para penguasa. Gareng, Petruk, dan Bagong kemudian menjadi anak-anak Semar yang membantu dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Karakteristik Punokawan:
Setiap Punokawan memiliki karakteristik yang unik. Semar biasanya digambarkan dengan postur tubuh yang pendek dan memiliki wajah yang cerdas. Ia melambangkan kebijaksanaan, kebijaksanaan, dan perlindungan. Gareng, yang sering digambarkan dengan badan yang pendek dan kurus, adalah tokoh humor dan pendobrak tradisi. Ia melambangkan sifat-sifat kebodohan dan kejujuran. Petruk, yang lebih tinggi dan lebih langsing, adalah tokoh yang cerdik dan jenaka. Ia melambangkan sifat kelicikan dan penipuan yang kreatif. Bagong, yang digambarkan sebagai tokoh muda dan naif, mewakili generasi muda yang polos dan ceria.

Makna Punokawan:
Punokawan dalam pewayangan tidak hanya menghibur, tetapi juga memiliki makna yang dalam. Mereka sering kali menjadi pemandu dan penasihat bagi tokoh-tokoh utama dalam cerita pewayangan. Melalui dialog dan interaksi mereka, Punokawan menyampaikan pesan-pesan moral, nasihat kehidupan, dan nilai-nilai etika kepada penonton. Mereka juga sering kali menjadi pembawa komedi dan humor dalam pertunjukan, memberikan keseimbangan yang penting antara keseriusan dan hiburan.

Selain itu, Punokawan juga melambangkan keragaman manusia dan kompleksitas kehidupan. Setiap karakter Punokawan mewakili sifat-sifat yang berbeda dan saling melengkapi, mengajarkan kita tentang pentingnya toleransi, kerjasama, dan penghargaan terhadap perbedaan. Mereka juga menunjukkan bahwa kehidupan tidak selalu serius, tetapi juga memerlukan keceriaan dan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan.

Warisan Punokawan:
Punokawan tidak hanya menjadi bagian integral dari seni pertunjukan wayang, tetapi juga mempengaruhi budaya dan kesenian Indonesia secara luas. Mereka sering kali dijadikaninspirasi dalam seni rupa, sastra, dan bahkan media modern seperti kartun dan komedi. Karakteristik dan keunikan Punokawan telah membuat mereka menjadi simbol yang dihormati dan diakui dalam budaya Jawa dan bahkan di luar Jawa.

Kesimpulan:
Punokawan adalah kelompok karakter yang tak terpisahkan dari seni pertunjukan wayang, khususnya wayang kulit Jawa. Melalui kebijaksanaan, humor, dan nasihat kehidupan yang mereka sampaikan, Punokawan tidak hanya menghibur penonton tetapi juga mengajarkan nilai-nilai moral dan etika. Dalam kompleksitas dan keragaman karakteristik mereka, Punokawan menghadirkan kebijaksanaan, kebodohan, kecerdikan, dan polositas, mengingatkan kita akan pentingnya toleransi dan kerjasama dalam kehidupan. Warisan Punokawan terus hidup dalam budaya dan seni Indonesia, menjadi inspirasi bagi banyak karya seni dan menunjukkan daya tarik yang tak terelakkan dalam menghibur dan menginspirasi penonton dari generasi ke generasi.
Kamis, Juli 06, 2023

SEJARAH, FILOSOFI, DAN WATAK TEMBANG MACAPAT


Tembang Macapat merupakan sebuah tembang, nyanyian atau puisi tradisional budaya Jawa yang mana disetiap baitnya memiliki baris kalimat disebut dengan gatra. Setiap gatra memiliki sejumlah suku kata tertentu yang disebut guru wilangan dengan akhiran pada bunyi sajak yang disebut guru lagu.

Sebenarnya tidak hanya kebudayaan Jawa saja yang memiliki tembang macapat, namun di daerah lain juga terdapat tembang macapat seperti Bali, Sasak Lombok, Madura, dan Sunda. Bahkan tembang macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.

Secara umum tembang macapat diartikan dalam bahasa Jawa yakni dengan cara membagi menjadi dua suku kata yaitu “maca papat-papat”. Jika diartikan dalam bahasa indoesia ialah “membaca empat-empat”.

Maksud dari arti tersebut adalah cara membaca tembang macapat terjalin tiap empat suku kata. Namun ini hanya satu dari banyaknya arti, masih terdapat banyak arti dan penafsiran lain.

Karya kesustraan klasik Jawa dari jaman Mataram Baru umunya ditulis menggunakan metrum macapat yang mana merupakan sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran.

Karya-karya tersebut sebenarnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya seperti daftar isi saja.

Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat ialah Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.

Tembang macapat atau puisi tradisional jawa terdapat tiga bagian kategori:

ü  Tembang Cilik

ü  Tembangan Tengahan

ü  Tembang Gedhe

Tembang macapat dikategorikan sebagai tembang cilik dan tembang tengahan, namun untuk tembang gede adalah untuk kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno.

Jaman Mataram Baru penggunaannya tidak diterapkan perbedaan antara suku kata baik panjang atau pendek.

Di sisi lain tembang tengahan juga dapat merujuk pada kategori kidung yang merupakan puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Jika tembang macapat dibandingkan dengan kakawin terdapat perbedaan pada aturan-aturannya. Tembang macapat jauh lebih mudah digunakan dalam bahasa Jawa karena tembang kakawin yang didasari menggunakan bahasa Sansakerta.

Kakawin benar-benar sangat memperhatikan panjang pendek setiap suku kata, berbeda dengan tembang macapat yang mengabaikan panjang pendek suku katanya.

Kapan munculnya pertama kali macapat, sampai saat ini belum ada penemuan yang meyakinkan. Ada yang menyampaikan bahwa Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.


 

FILOSOFI TEMBANG MACAPAT

Tembang macapat tersebut bila dirangkum secara keseluruhan sebenarnya bercerita tentang perjalanan hidup manusia. Filosofi ini menggambarkan bagaimana seorang manusia hidup sejak lahir, mulai belajar di masa kanak-kanak, dewasa dan pada akhirnya meninggal.

 WATAK TEMBANG MACAPAT

Tembang macapat masing-masing arti dari tembang tersebut melambangkan watak atau karakter tersendiri. Mulai dari watak sedih atau duka, nasehat, percintaan, kasih sayang hingga kebahagiaan.

Watak dari tembang macapat pada umumnya digunakan sebagai acuan untuk pembuatan lirik lagu karena tembang macapat digunakan sebagai sebuah tembang yang berisi sebuah nasehat tentang kehidupan.

 

ASAL-USUL TERBENTUKNYA TEMBANG MACAPAT

 

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada umumnya tembang macapat dapat diartikan dengan bahasa Jawa “maca papat-papat” diartikan dalam bahasa indonesia “membaca empat-empat”.

Namun hal tersebut merupakan satu-satu arti yang dimiliki oleh tembang macapat, diluar sana masih banyak sekali penafsiran-penafsiran lain yang menjelaskan dengan penafsiran yang berbeda.

Salah seorang pakar Sastra Jawa Prof. Dr. Bernard (Ben) Arps atau lebih dikenal Bernard Arps yang mana seorang pakar Budaya, Bahasa dan Sastra Jawa yang lahir di Leiden Belanda ini menjelaskan dalam bukunya Tembang in Two Traditions.

Selain penjelasan diatas arti lain dari tembang macapat adalah bahwa kata “pat” tersebut merujuk pada jumlah tanda diaktritis atau sandangan dalam aksara Jawa yang sangat relevansi sekali dalam penembangan macapat.

Menurut  penafsiran Ranggawarsita yang dijelaskan dalam Serat Mardawalagu, macapat adalah sebuah singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang memiliki arti “melagukan nada keempat”. Karena selain maca-pat-lagu terdapat juga maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan yang terakhir maca-tri-lagu.

ü  MACA-SA

Menurut sejarahnya maca-sa merupakan kategori tembang tertua yang diciptaka oleh para Dewa yang diturunkan langsung kepada Pandita Walmiki lalu diperbanyak oleh Sang Pujangga istana berasal dari kediri ialah bernama Yogiswara. Maca-sa dikategorikan di era sekarang ini sebagai sebutan dengan nama tembang gedhe.

ü  MACA-RO

Maca-ro juga termasuk dalam kategori tembang gedhe dimana jumlah tiap bait per pupuh dapat berkurang dari empat empat namun jumlah suku kata disetiap baitnya tidak harus sama. Maca-ro juga diciptakan oleh seorang pujangga istana yang memperbanyak maca-sa ialah Yogiswara.

ü  MACA-TRI

Maca-tri merupakan tembang kategori ketiga adalah tembang tengahan yang katanya diciptakan oleh Resi Wiratmaka seorang Pandita Istana janggala dan lalu disempurkan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan salah seorang saudaranya.

Maca-tri yang telah disempurnakan tersebut nantinya merupakan cikal bakal dari macapat dan tembang cilik yang diciptakan oleh Sunan Bonang kemudian diturunkan kepada semua wali.

Sejarah Tembang Macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.

Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.

Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali. Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda.

Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

 

Penciptaan Macapat

Macapat sebagai sebutan metrum puisi Jawa Pertengahan dan Jawa Baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat, ternyata sulit dilacak sejarah penciptaanya. Purbatjaraka menyatakan bahwa macapat lahir bersamaan dengan syair berbahasa Jawa Tengahan; bilamana macapat mulai dikenal, belum diketahui secara pasti. Pigeud berpendapat bahwa tembang macapat digunakan pada awal periode Islam. Pernyataan Pigeud yang bersifat informasi perkiraan itu masih perlu diupayakan kecocokan tahunnya yang pasti.

Karseno Saputra memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa pendapat beberapa pendapat dan pernyataan. Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir di kalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada Kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma yang bertahun 1643 Jawa atau 1541 Masehi.

Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada Kidung Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa Jawa Kuno, Tawa Tengahan, dan Jawa Baru, yaitu kekawin, kidung, dan macapat. Tahun perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder bahwa lebih kurang pada abad XVI di Jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru.

Dalam Mbombong Manah (Tejdohadisumarto, 1958: 5 ) disebutkan bahwa tembang macapat (yang mencakup 11 metrum ) diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh pada tahun 1191 Jawa (1279 Masehi). Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan (Laginem, 1996: 27).

Para pencipta itu adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra, dan Adipati Nata Praja.

Namun berdasarkan kajian ilmiah, ada dua pendapat yang memiliki sedikit perbedaan tentang timbulnya macapat. Pendapat pertama bertumpu bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa.

ü  Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede

Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua daripada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring. Tembang macapat timbul pada zaman Majapahit akhir, ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai surut (Danusuprapto, 1981: 153-154). Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada (Poerbatjaraka, 1952: 72).

ü  Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede

Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan dengan kidung, muncullah tembang gede berbahasa Jawa Pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa Baru.

Pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa Jawa Baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa Jawa Pertengahan yang biasa disebut dengan kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa Jawa Baru berupa kitab suluk dan kitab niti. Kitab suluk dan niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.

ü  Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa

Dalam hipotesis Zoetmulder (1983: 35) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa Jawa Pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa Jawa Baru, melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa Jawa Kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit.

Sejak datang pengaruh Islam, bahasa Jawa Kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan yang menimbulkan bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Baru. Kemudian, bahasa Jawa Pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa Jawa Baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra Jawa Kuno dan Pertengahan masih ada di Bali.

 

Struktur Aturan Tembang Macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya terbagi menjadi beberapa pupuh, namun disetiap pupuhnya terbagi lagi menjadi beberapa bagian dan pada bagian tersebut ada setiap pupuh yang menggunakan metrum sama. Metrum tersebut biasanya tergantung pada watak isi teks yang diceritakan.

Jumlah pada per pupuh memiliki perbedaan tergantung jumlah teks yang digunakan. Setiap teks dibagi lagi menjadi larik atau gatra.

Setiap larik atau gatra tersebut dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Maka, disetiap gatra mempunyai jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama juga.

Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata tersebut diberi nama dengan sebutan guru wilangan. Namun aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

 

Jenis Metrum Macapat

Jumlah metrum baku macapat terdapat 15 buah, kemudian metrum-metrum tersebut dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan, dan tembang gedhe.

Tembang cilik terdapat sembilan metrum, tembang tengahan terdapat enam metrum, sedangkan tembang gede hanya mempunyai satu metrum.

Terdapat beberapa jenis tembang macapat. Masing jenis tembang mempunyai aturan berupa guru lagu dan guru wilangan yang masing-masing mempunya aturan berbeda-beda.

Agar mempermudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan dan guru lagu dari tembang-tembang macapat. Oleh karena itu disetiap metrum ditata dalam sebuah tabel, berikut dibawah ini penjelasan tentang struktrur pengertian Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru Wilangan.

 

Perwatakan Tembang Macapat

Dalam tembang macapat terdapat watak yang erat kaitannya dengan isi metrum dan lagu. Dalam teks yang bermetrum Asmarandana, misalnya, watak yang dimiliki adalah rasa sedih, rindu, dan mesra sehingga isinya terkandung di dalamnya melukiskan rasa sedih, rindu, dan mesra pula.

Apabila teks itu didendangkan, lagunya harus sesuai dengan suasana yang terdapat dalam isinya. Dengan demikian, penggunaan suatu metrum harus sesuai dengan wataknya karena watak turut menentukan nilai keindahan tembang.

Setiap tembang memunyai watak yang berbeda dari jenis tembang yang lain. Watak tembang telah dirumuskan dalam beberapa aturan baku kesusasteraan Jawa.

Di bawah ini perwatakan tembang macat

  1. Asmaradana; berwatak:  sedih, rindu, mesra; kegunaan: menyatakan rasa sedih, rindu, mesra.
  2. Balabak; berwatak: santai, seenaknya; kegunaan: menggambarkan suasana santai, kurang sungguh-sungguh.
  3. Durma; berwatak: bersemangat, keras, galak; kegunaan: mengungkapkan kemarahan, kejengkelan, peperangan.
  4. Dandanggula; berwatak:  manis, luwes, memukau; Kegunaan: menggambarkan berbagai hal dan suasana.
  5.  Gambuh; berwatak: wajar, jelas, tanpa ragu-ragu; Kegunaan: mengungkapkan hal-hal bersifat kekeluargaan, nasihat, dan kesungguhan hati.
  6.  Girisa; berwatak: hati-hati, sungguh-sungguh; kegunaan: melukiskan hal-hal yang mengandung kewibawaan, pendidikan, pengajaran.
  7.  Jurudemung; berwatak: senang, gembira, menggoda; kegunaan:  melukiskan hal-hal yang mengandung banyak tingkah, memancing asmara.
  8.    Kinanti; berwatak: terpadu, gembira, mesra; kegunaan: memberi nasihat, mengungkapkan kasih sayang.
  9. Maskumambang; berwatak: susah, sedih,terharu, merana, penuh derita; kegunaan: melukiskan suasana sedih, pilu, penuh derita.
  10. Megatruh; berwatak: susah, sedih, penuh derita, kecewa, menerawang; kegunaan: melukiskan suasana sedih pilu, penuh derita, menerawang.
  11.  Mijil; berwatak: terharu, terpesona; kegunaan: menyatakan suasana haru, terpesona dalam hubungannya dengan kasih sayang, nasihat.
  12.  Pangkur; berwatak: gagah, perwira, bergairah, bersemangat; kegunaan: memberikan nasihat yang bersemangat, melukiskan cinta yang berapi-api, suasana yang bernada keras
  13. Pucung; berwatak: santai, seenaknya; kegunaan: menggambarkan suasana santai, kurang bersungguh-sungguh.
  14.  Sinom; berwatak: senang, gembira, memikat; Kegunaan:  menggambarkan suasana, gerak yang lincah.
  15.  Wirangrong: berwatak: berwibawa; Kegunaan:  mengungkapkan suasana yang mengandung keagungan,   keindahan alam, pendidikan 

Tabel Tembang Macapat


 

Jadi, ringkasnya:
• Guru Gatra merupakan banyaknya jumlah larik (baris) dalam satu bait.
• Guru Lagu merupakan persamaan bunyi sajak di akhir kata dalam setiap larik (baris).
• Guru Wilangan merupakan banyaknya jumlah wanda (suku kata) dalam setiap larik (baris).

Terdapat 11 macam tembang macapat. Beberapa “tutur" dari orang tua menjelaskan bahwa, kesebelas tembang macapat tersebut sebenarnya menggambarkan tahap-tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai dengan meninggalnya.

 

Istilah-istilah dalam tembang macapat

  1.          1.         Ada-ada   adalah vokal yang dilakukan oleh dalang untuk membuat suasana sereng (marah) dalam pewayangan.
  2.          2.         Andhegan  adalah tempat pemberhentian nafas ketika melagukan tembang. Perbedaannya dengan pedhotan adalah andhegan lebih lama tempo perhentiannya secara fakultatif.

Contoh adalah

Bapak pocung, dudu watu dudu gunung (A)

Dawa, kaya ula,

Pencokanmu, wesi miring (A)

Yen lumaku, si pocung ngumbar suwara. (A)

       3.    Bawa adalah adalah tembang yang digunakan untuk membuka gendhing dalam sajian karawitan. Biasanya yang digunakan adalah tembang gedhe dan tembang tengahan.

Contoh            :  bawa Dhandhang gula padasih

 “sekar tengahan Kusworogo

“ sekar ageng Minta jiwo

       4.           Cakepan adalah rangkaian  kata  atau  kalimat yang digunakan dalam tembang. Dalam bahasa Indonesia sama dengan syair.

       5.           Cengkok    adalah gaya lagu tiap orang dengan orang lain atau gaya daerah satu dengan yang lain mungkin ada perbedaan. Adanya perbedaan ini adalah perbedaan gaya lagu atau cengkok. Meskipun nama lagunya sama

Contohnya   :  Lagu Sinom daerah Semarang berbeda dengan lagu Sinom di Surakarta, dan sebagainya

       6.           Gatra adalah merupakan banyaknya jumlah larik (baris) dalam satu bait.

       7.           Gending / Lagu  adalah  suara yang indah dari gamelan.

       8.           Gerong  adalah tembang yang dilagukan oleh beberapa orang pria (wiraswara) untuk mengisi bagian tertentu dari gendhing.

                 Contoh            :  Gerong Ladrang Pangkur

“  Ladrang Sri Kuncoro

                        “ Ketawang Puspowarno, dan lain sebagainya

       9.           Gregel adalah permainan suara dari seorang vokalis untuk memperindah lagu. Permainan suara ini tiap-tiap vokalis tidak sama. Jadi menurut cengkok dan gregelnya sendiri.

     10.         Jineman adalah bagian tembang yang dilagukan oleh beberapa orang. Bagian tembang yang dilagukan ini adalah bagian tembang yang  digunakan untuk bawa. Jineman bentuk ini harap dibedakan  dengan jineman sebagai bentuk gendhing.

     11.         Laras    adalah urutan nada-nada yang rendah ke nada yang tinggi atau sebaliknya. Laras yang dimaksud yaitularas Slendro dan laras Pelog.

     12.         Laya / Tempo   adalah Cepat lambatnya suara dalam membawakan tembang.

     13.         Luk adalah perpanjangan lagu yang diolah rasa keindahannya.

     14.         Pada  adalah satuan tembang yang dalam bahasa Indonesia sama dengan  bait.

     15.         Panembrama adalah Kata Panembrama dari asal kata sambrama yang artinya membuat acara dengan hormat.Jadi Panembrama artinya Lagu-laguan / Lelagon /  tetembangan yang dipakai untuk acara memberi penghormatan kepada para tamu. Biasanya diawali dengan Bawa dan dilanjutkan dengan gerong / menyanyi bersama. /koor.

     16.         Pathet    adalah  susunan nada di dalam suatu laras, yang dapat menimbulkan suatu suasana.

     17.         Pupuh adalah Kumpulan tembang sewarna yang terdiri dari beberapa “Pada” /bait dan isinya antara bait satu dengan satunya berkaitan..

     18.          Pedhotan adalahtempat   pemutusan  pernafasan  ketika orang melagukan tembang.  Pedhotan ini ada dua macam yaitu pedhotan kenceng dan pedhotan kendho.

     19.         Pedhotan kenceng adalah pemutusan kata pada susunan melodi yang membutuhkan perhentian.  Anoman ma lumpat sampun.

     20.         Pedhotan kendho adalah pemutusan kata yang bertepatan dengan perhentian   melodis. Bapak Pocung / dudu watu dudu gunug.

     21.         Sindhenan     adalah adalah tembang yang dilakukan oleh seorang wanita yang disebut swarawati atau pesindhen atau waranggana untuk mengisi gendhing, jadi bersama-sama dengan instrumen gamelan.

     22.         Sendhon     adalah vokal yang dilakukan oleh dalang untuk membuat suasana sedih dalam pewayangan.

     23.         Sekar / Tembang / Vokal   adalah lagu yang berasal dari manusia.

     24.         Suluk  adalah adalah suatu tembang yang dilagukan oleh dalang dengan maksud menciptakan suasana tertentu pada adegan wayang kulit. Ada tiga macam sulukan, yaitu (a) pathetan, berfungsi menciptakan suasana merdeka; (b) sendhon, berfungsi menciptakan suasana sedih; dan (c) ada-ada, berfungsi menciptakan suasana  marah atau tegang.

     25.         Swarantara, Sruti, Interval adalah jarak antara nada yang satu dengan nada berikutnya.

     26.         Titilaras (Noot)     adalah Alat untuk mencatat. suatu seni suara. Yang biasa kita kenal adalah “titilaras Kepatihan”, karena titilaras Kepatihan dipergunakan dalam mencatat tembang, gendhing, gerong dan lain-lain. Disebut Titilaras Kepatihan sebab titi laras ini diciptakan oleh Patih Wreksodiningrat I di Kepatihan Surakarta pada tahun 1910

       27.       Uran – uran  adalah lagu vokal yang tanpa patokan. Jadi lagu maupun cakepannya tidak tertentu, menurut selera bagi yang melagukan.

Contoh : - Uran-uran yang akan menidurkan puteranya.

   -Uran-uran orang yang membajak/bekerja di sawah.

Wanda adalah   Suku kata