Breaking

Kamis, Juli 06, 2023

SEJARAH, FILOSOFI, DAN WATAK TEMBANG MACAPAT


Tembang Macapat merupakan sebuah tembang, nyanyian atau puisi tradisional budaya Jawa yang mana disetiap baitnya memiliki baris kalimat disebut dengan gatra. Setiap gatra memiliki sejumlah suku kata tertentu yang disebut guru wilangan dengan akhiran pada bunyi sajak yang disebut guru lagu.

Sebenarnya tidak hanya kebudayaan Jawa saja yang memiliki tembang macapat, namun di daerah lain juga terdapat tembang macapat seperti Bali, Sasak Lombok, Madura, dan Sunda. Bahkan tembang macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.

Secara umum tembang macapat diartikan dalam bahasa Jawa yakni dengan cara membagi menjadi dua suku kata yaitu “maca papat-papat”. Jika diartikan dalam bahasa indoesia ialah “membaca empat-empat”.

Maksud dari arti tersebut adalah cara membaca tembang macapat terjalin tiap empat suku kata. Namun ini hanya satu dari banyaknya arti, masih terdapat banyak arti dan penafsiran lain.

Karya kesustraan klasik Jawa dari jaman Mataram Baru umunya ditulis menggunakan metrum macapat yang mana merupakan sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran.

Karya-karya tersebut sebenarnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya seperti daftar isi saja.

Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat ialah Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.

Tembang macapat atau puisi tradisional jawa terdapat tiga bagian kategori:

ü  Tembang Cilik

ü  Tembangan Tengahan

ü  Tembang Gedhe

Tembang macapat dikategorikan sebagai tembang cilik dan tembang tengahan, namun untuk tembang gede adalah untuk kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno.

Jaman Mataram Baru penggunaannya tidak diterapkan perbedaan antara suku kata baik panjang atau pendek.

Di sisi lain tembang tengahan juga dapat merujuk pada kategori kidung yang merupakan puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Jika tembang macapat dibandingkan dengan kakawin terdapat perbedaan pada aturan-aturannya. Tembang macapat jauh lebih mudah digunakan dalam bahasa Jawa karena tembang kakawin yang didasari menggunakan bahasa Sansakerta.

Kakawin benar-benar sangat memperhatikan panjang pendek setiap suku kata, berbeda dengan tembang macapat yang mengabaikan panjang pendek suku katanya.

Kapan munculnya pertama kali macapat, sampai saat ini belum ada penemuan yang meyakinkan. Ada yang menyampaikan bahwa Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.


 

FILOSOFI TEMBANG MACAPAT

Tembang macapat tersebut bila dirangkum secara keseluruhan sebenarnya bercerita tentang perjalanan hidup manusia. Filosofi ini menggambarkan bagaimana seorang manusia hidup sejak lahir, mulai belajar di masa kanak-kanak, dewasa dan pada akhirnya meninggal.

 WATAK TEMBANG MACAPAT

Tembang macapat masing-masing arti dari tembang tersebut melambangkan watak atau karakter tersendiri. Mulai dari watak sedih atau duka, nasehat, percintaan, kasih sayang hingga kebahagiaan.

Watak dari tembang macapat pada umumnya digunakan sebagai acuan untuk pembuatan lirik lagu karena tembang macapat digunakan sebagai sebuah tembang yang berisi sebuah nasehat tentang kehidupan.

 

ASAL-USUL TERBENTUKNYA TEMBANG MACAPAT

 

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada umumnya tembang macapat dapat diartikan dengan bahasa Jawa “maca papat-papat” diartikan dalam bahasa indonesia “membaca empat-empat”.

Namun hal tersebut merupakan satu-satu arti yang dimiliki oleh tembang macapat, diluar sana masih banyak sekali penafsiran-penafsiran lain yang menjelaskan dengan penafsiran yang berbeda.

Salah seorang pakar Sastra Jawa Prof. Dr. Bernard (Ben) Arps atau lebih dikenal Bernard Arps yang mana seorang pakar Budaya, Bahasa dan Sastra Jawa yang lahir di Leiden Belanda ini menjelaskan dalam bukunya Tembang in Two Traditions.

Selain penjelasan diatas arti lain dari tembang macapat adalah bahwa kata “pat” tersebut merujuk pada jumlah tanda diaktritis atau sandangan dalam aksara Jawa yang sangat relevansi sekali dalam penembangan macapat.

Menurut  penafsiran Ranggawarsita yang dijelaskan dalam Serat Mardawalagu, macapat adalah sebuah singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang memiliki arti “melagukan nada keempat”. Karena selain maca-pat-lagu terdapat juga maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan yang terakhir maca-tri-lagu.

ü  MACA-SA

Menurut sejarahnya maca-sa merupakan kategori tembang tertua yang diciptaka oleh para Dewa yang diturunkan langsung kepada Pandita Walmiki lalu diperbanyak oleh Sang Pujangga istana berasal dari kediri ialah bernama Yogiswara. Maca-sa dikategorikan di era sekarang ini sebagai sebutan dengan nama tembang gedhe.

ü  MACA-RO

Maca-ro juga termasuk dalam kategori tembang gedhe dimana jumlah tiap bait per pupuh dapat berkurang dari empat empat namun jumlah suku kata disetiap baitnya tidak harus sama. Maca-ro juga diciptakan oleh seorang pujangga istana yang memperbanyak maca-sa ialah Yogiswara.

ü  MACA-TRI

Maca-tri merupakan tembang kategori ketiga adalah tembang tengahan yang katanya diciptakan oleh Resi Wiratmaka seorang Pandita Istana janggala dan lalu disempurkan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan salah seorang saudaranya.

Maca-tri yang telah disempurnakan tersebut nantinya merupakan cikal bakal dari macapat dan tembang cilik yang diciptakan oleh Sunan Bonang kemudian diturunkan kepada semua wali.

Sejarah Tembang Macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.

Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.

Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali. Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda.

Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

 

Penciptaan Macapat

Macapat sebagai sebutan metrum puisi Jawa Pertengahan dan Jawa Baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat, ternyata sulit dilacak sejarah penciptaanya. Purbatjaraka menyatakan bahwa macapat lahir bersamaan dengan syair berbahasa Jawa Tengahan; bilamana macapat mulai dikenal, belum diketahui secara pasti. Pigeud berpendapat bahwa tembang macapat digunakan pada awal periode Islam. Pernyataan Pigeud yang bersifat informasi perkiraan itu masih perlu diupayakan kecocokan tahunnya yang pasti.

Karseno Saputra memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa pendapat beberapa pendapat dan pernyataan. Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir di kalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada Kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma yang bertahun 1643 Jawa atau 1541 Masehi.

Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada Kidung Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa Jawa Kuno, Tawa Tengahan, dan Jawa Baru, yaitu kekawin, kidung, dan macapat. Tahun perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder bahwa lebih kurang pada abad XVI di Jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru.

Dalam Mbombong Manah (Tejdohadisumarto, 1958: 5 ) disebutkan bahwa tembang macapat (yang mencakup 11 metrum ) diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh pada tahun 1191 Jawa (1279 Masehi). Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan (Laginem, 1996: 27).

Para pencipta itu adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra, dan Adipati Nata Praja.

Namun berdasarkan kajian ilmiah, ada dua pendapat yang memiliki sedikit perbedaan tentang timbulnya macapat. Pendapat pertama bertumpu bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa.

ü  Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede

Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua daripada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring. Tembang macapat timbul pada zaman Majapahit akhir, ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai surut (Danusuprapto, 1981: 153-154). Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada (Poerbatjaraka, 1952: 72).

ü  Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede

Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan dengan kidung, muncullah tembang gede berbahasa Jawa Pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa Baru.

Pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa Jawa Baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa Jawa Pertengahan yang biasa disebut dengan kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa Jawa Baru berupa kitab suluk dan kitab niti. Kitab suluk dan niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.

ü  Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa

Dalam hipotesis Zoetmulder (1983: 35) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa Jawa Pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa Jawa Baru, melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa Jawa Kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit.

Sejak datang pengaruh Islam, bahasa Jawa Kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan yang menimbulkan bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Baru. Kemudian, bahasa Jawa Pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa Jawa Baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra Jawa Kuno dan Pertengahan masih ada di Bali.

 

Struktur Aturan Tembang Macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya terbagi menjadi beberapa pupuh, namun disetiap pupuhnya terbagi lagi menjadi beberapa bagian dan pada bagian tersebut ada setiap pupuh yang menggunakan metrum sama. Metrum tersebut biasanya tergantung pada watak isi teks yang diceritakan.

Jumlah pada per pupuh memiliki perbedaan tergantung jumlah teks yang digunakan. Setiap teks dibagi lagi menjadi larik atau gatra.

Setiap larik atau gatra tersebut dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Maka, disetiap gatra mempunyai jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama juga.

Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata tersebut diberi nama dengan sebutan guru wilangan. Namun aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

 

Jenis Metrum Macapat

Jumlah metrum baku macapat terdapat 15 buah, kemudian metrum-metrum tersebut dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan, dan tembang gedhe.

Tembang cilik terdapat sembilan metrum, tembang tengahan terdapat enam metrum, sedangkan tembang gede hanya mempunyai satu metrum.

Terdapat beberapa jenis tembang macapat. Masing jenis tembang mempunyai aturan berupa guru lagu dan guru wilangan yang masing-masing mempunya aturan berbeda-beda.

Agar mempermudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan dan guru lagu dari tembang-tembang macapat. Oleh karena itu disetiap metrum ditata dalam sebuah tabel, berikut dibawah ini penjelasan tentang struktrur pengertian Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru Wilangan.

 

Perwatakan Tembang Macapat

Dalam tembang macapat terdapat watak yang erat kaitannya dengan isi metrum dan lagu. Dalam teks yang bermetrum Asmarandana, misalnya, watak yang dimiliki adalah rasa sedih, rindu, dan mesra sehingga isinya terkandung di dalamnya melukiskan rasa sedih, rindu, dan mesra pula.

Apabila teks itu didendangkan, lagunya harus sesuai dengan suasana yang terdapat dalam isinya. Dengan demikian, penggunaan suatu metrum harus sesuai dengan wataknya karena watak turut menentukan nilai keindahan tembang.

Setiap tembang memunyai watak yang berbeda dari jenis tembang yang lain. Watak tembang telah dirumuskan dalam beberapa aturan baku kesusasteraan Jawa.

Di bawah ini perwatakan tembang macat

  1. Asmaradana; berwatak:  sedih, rindu, mesra; kegunaan: menyatakan rasa sedih, rindu, mesra.
  2. Balabak; berwatak: santai, seenaknya; kegunaan: menggambarkan suasana santai, kurang sungguh-sungguh.
  3. Durma; berwatak: bersemangat, keras, galak; kegunaan: mengungkapkan kemarahan, kejengkelan, peperangan.
  4. Dandanggula; berwatak:  manis, luwes, memukau; Kegunaan: menggambarkan berbagai hal dan suasana.
  5.  Gambuh; berwatak: wajar, jelas, tanpa ragu-ragu; Kegunaan: mengungkapkan hal-hal bersifat kekeluargaan, nasihat, dan kesungguhan hati.
  6.  Girisa; berwatak: hati-hati, sungguh-sungguh; kegunaan: melukiskan hal-hal yang mengandung kewibawaan, pendidikan, pengajaran.
  7.  Jurudemung; berwatak: senang, gembira, menggoda; kegunaan:  melukiskan hal-hal yang mengandung banyak tingkah, memancing asmara.
  8.    Kinanti; berwatak: terpadu, gembira, mesra; kegunaan: memberi nasihat, mengungkapkan kasih sayang.
  9. Maskumambang; berwatak: susah, sedih,terharu, merana, penuh derita; kegunaan: melukiskan suasana sedih, pilu, penuh derita.
  10. Megatruh; berwatak: susah, sedih, penuh derita, kecewa, menerawang; kegunaan: melukiskan suasana sedih pilu, penuh derita, menerawang.
  11.  Mijil; berwatak: terharu, terpesona; kegunaan: menyatakan suasana haru, terpesona dalam hubungannya dengan kasih sayang, nasihat.
  12.  Pangkur; berwatak: gagah, perwira, bergairah, bersemangat; kegunaan: memberikan nasihat yang bersemangat, melukiskan cinta yang berapi-api, suasana yang bernada keras
  13. Pucung; berwatak: santai, seenaknya; kegunaan: menggambarkan suasana santai, kurang bersungguh-sungguh.
  14.  Sinom; berwatak: senang, gembira, memikat; Kegunaan:  menggambarkan suasana, gerak yang lincah.
  15.  Wirangrong: berwatak: berwibawa; Kegunaan:  mengungkapkan suasana yang mengandung keagungan,   keindahan alam, pendidikan 

Tabel Tembang Macapat


 

Jadi, ringkasnya:
• Guru Gatra merupakan banyaknya jumlah larik (baris) dalam satu bait.
• Guru Lagu merupakan persamaan bunyi sajak di akhir kata dalam setiap larik (baris).
• Guru Wilangan merupakan banyaknya jumlah wanda (suku kata) dalam setiap larik (baris).

Terdapat 11 macam tembang macapat. Beberapa “tutur" dari orang tua menjelaskan bahwa, kesebelas tembang macapat tersebut sebenarnya menggambarkan tahap-tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai dengan meninggalnya.

 

Istilah-istilah dalam tembang macapat

  1.          1.         Ada-ada   adalah vokal yang dilakukan oleh dalang untuk membuat suasana sereng (marah) dalam pewayangan.
  2.          2.         Andhegan  adalah tempat pemberhentian nafas ketika melagukan tembang. Perbedaannya dengan pedhotan adalah andhegan lebih lama tempo perhentiannya secara fakultatif.

Contoh adalah

Bapak pocung, dudu watu dudu gunung (A)

Dawa, kaya ula,

Pencokanmu, wesi miring (A)

Yen lumaku, si pocung ngumbar suwara. (A)

       3.    Bawa adalah adalah tembang yang digunakan untuk membuka gendhing dalam sajian karawitan. Biasanya yang digunakan adalah tembang gedhe dan tembang tengahan.

Contoh            :  bawa Dhandhang gula padasih

 “sekar tengahan Kusworogo

“ sekar ageng Minta jiwo

       4.           Cakepan adalah rangkaian  kata  atau  kalimat yang digunakan dalam tembang. Dalam bahasa Indonesia sama dengan syair.

       5.           Cengkok    adalah gaya lagu tiap orang dengan orang lain atau gaya daerah satu dengan yang lain mungkin ada perbedaan. Adanya perbedaan ini adalah perbedaan gaya lagu atau cengkok. Meskipun nama lagunya sama

Contohnya   :  Lagu Sinom daerah Semarang berbeda dengan lagu Sinom di Surakarta, dan sebagainya

       6.           Gatra adalah merupakan banyaknya jumlah larik (baris) dalam satu bait.

       7.           Gending / Lagu  adalah  suara yang indah dari gamelan.

       8.           Gerong  adalah tembang yang dilagukan oleh beberapa orang pria (wiraswara) untuk mengisi bagian tertentu dari gendhing.

                 Contoh            :  Gerong Ladrang Pangkur

“  Ladrang Sri Kuncoro

                        “ Ketawang Puspowarno, dan lain sebagainya

       9.           Gregel adalah permainan suara dari seorang vokalis untuk memperindah lagu. Permainan suara ini tiap-tiap vokalis tidak sama. Jadi menurut cengkok dan gregelnya sendiri.

     10.         Jineman adalah bagian tembang yang dilagukan oleh beberapa orang. Bagian tembang yang dilagukan ini adalah bagian tembang yang  digunakan untuk bawa. Jineman bentuk ini harap dibedakan  dengan jineman sebagai bentuk gendhing.

     11.         Laras    adalah urutan nada-nada yang rendah ke nada yang tinggi atau sebaliknya. Laras yang dimaksud yaitularas Slendro dan laras Pelog.

     12.         Laya / Tempo   adalah Cepat lambatnya suara dalam membawakan tembang.

     13.         Luk adalah perpanjangan lagu yang diolah rasa keindahannya.

     14.         Pada  adalah satuan tembang yang dalam bahasa Indonesia sama dengan  bait.

     15.         Panembrama adalah Kata Panembrama dari asal kata sambrama yang artinya membuat acara dengan hormat.Jadi Panembrama artinya Lagu-laguan / Lelagon /  tetembangan yang dipakai untuk acara memberi penghormatan kepada para tamu. Biasanya diawali dengan Bawa dan dilanjutkan dengan gerong / menyanyi bersama. /koor.

     16.         Pathet    adalah  susunan nada di dalam suatu laras, yang dapat menimbulkan suatu suasana.

     17.         Pupuh adalah Kumpulan tembang sewarna yang terdiri dari beberapa “Pada” /bait dan isinya antara bait satu dengan satunya berkaitan..

     18.          Pedhotan adalahtempat   pemutusan  pernafasan  ketika orang melagukan tembang.  Pedhotan ini ada dua macam yaitu pedhotan kenceng dan pedhotan kendho.

     19.         Pedhotan kenceng adalah pemutusan kata pada susunan melodi yang membutuhkan perhentian.  Anoman ma lumpat sampun.

     20.         Pedhotan kendho adalah pemutusan kata yang bertepatan dengan perhentian   melodis. Bapak Pocung / dudu watu dudu gunug.

     21.         Sindhenan     adalah adalah tembang yang dilakukan oleh seorang wanita yang disebut swarawati atau pesindhen atau waranggana untuk mengisi gendhing, jadi bersama-sama dengan instrumen gamelan.

     22.         Sendhon     adalah vokal yang dilakukan oleh dalang untuk membuat suasana sedih dalam pewayangan.

     23.         Sekar / Tembang / Vokal   adalah lagu yang berasal dari manusia.

     24.         Suluk  adalah adalah suatu tembang yang dilagukan oleh dalang dengan maksud menciptakan suasana tertentu pada adegan wayang kulit. Ada tiga macam sulukan, yaitu (a) pathetan, berfungsi menciptakan suasana merdeka; (b) sendhon, berfungsi menciptakan suasana sedih; dan (c) ada-ada, berfungsi menciptakan suasana  marah atau tegang.

     25.         Swarantara, Sruti, Interval adalah jarak antara nada yang satu dengan nada berikutnya.

     26.         Titilaras (Noot)     adalah Alat untuk mencatat. suatu seni suara. Yang biasa kita kenal adalah “titilaras Kepatihan”, karena titilaras Kepatihan dipergunakan dalam mencatat tembang, gendhing, gerong dan lain-lain. Disebut Titilaras Kepatihan sebab titi laras ini diciptakan oleh Patih Wreksodiningrat I di Kepatihan Surakarta pada tahun 1910

       27.       Uran – uran  adalah lagu vokal yang tanpa patokan. Jadi lagu maupun cakepannya tidak tertentu, menurut selera bagi yang melagukan.

Contoh : - Uran-uran yang akan menidurkan puteranya.

   -Uran-uran orang yang membajak/bekerja di sawah.

Wanda adalah   Suku kata

Tidak ada komentar: