Pada umumnya seorang beranggapan dia berwatak buruk perusak perdamaian dan
tukang fitnah, tetapi dia seorang resi bergelar Danghyang Dwija Wirpa. Artinya
saking lihung derajatnya hampir setingkat dewa. Sikapnya bijaksana, cerdas
tetapi rendah diri walau berilmu tinggi. Ia puns eorang sarjana ilmu perang
memiliki Sir Weda Danur Weda, yakni kitab ilmu bercinta dan ilmu menggunakan
senjata dan strategi perang.
Tubuhnya yang cacat berawal ketika mengunjungi bekas sahabat karibnya
Sucitra yang ketika itu telah menjadi raja negara Pancala bernama Drupada.
Dahulu ketika keduanya masih menjadi siswa Resi Baratwadya mereka sangat
bersahabat, berperibahasa makan sepiring bersama minum semangkuk bersama.
Bahkan ketika
Sucitra kempali ke negeranya berjanji akan memberikan sebagian tanah negara
kepada Dorna. Karena itu harapannya bila nanti bertemu dengan Sucitra, ia pasti
akan disambut dengan penuh keramah tamahan sehingga akan merupakan pertemuan
nostalgia yang sangat indah mengenang masa lalu.
Tetapi apa yang terjadi, lain harapan yang diangankan lain pula yang
dialami. Begitu ia masuk keraton menyapa sahabatnya dengan kata-kata penuh
kerinduan, lain pula budi perangai Drupada yang diperlihatkan dingin, muram dan
berucap ketus: “Hei, siapa engkau … beraninya mengaku kau sahabat karibku.
Sejak kapan aku bersahabat dengan kau. Tidak mungkin seorang raja agung seperti
aku bersahabat dengan seorang pengemis seperti engkau. Cisss, dasar gelandangan
tak tahu diri,” ujarnya sambil memblengoskan muka.
Dorna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata
yang menyakitkan. Tapi ia masih mencoba mengingatkan, hanya kata-katanya
berbeda dengan yang tadi: “Oh, maaf beribu maaf tuan. Hamba memang orang dari
dusun tak tahu sopan santun. Sikap hamba tadi karena hamba mengira tuan masih
seperti tuan yang dahulu ketika kita sama-sama menuntut ilmu dan, …” “Cukup,”
bentak Drupada memutus pembicaraan Dorna. “Itu pengakuan yang tidak akan pernah
terjadi dan hanya dibuat-buat agar aku mau mengakui bahwa kaubenar sahabatku.
Aku memang pernah berguru ilmu, tetapi tidak pernah seperguruan dengan orang
serendahmu,” kilahnya.
Seterusnya Drupada menuduh Dorna sengaja hendak mempermalukan dirinya di
hadapan para mantri Bopati yang hadir saat itu. Sementara patih Gandamanah,
body guard sang raja yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Dorna, telah
melanggar kesopanan menjadi naik pitam. Tak ayal lagi diseretnya pendeta muda
itu keluar Keraton dan dihajar habis-habisan hingga tak sadarkan diri, lalu
dibuang ke tengah hutan belantara.
Akibat penganiayaan berat tubuhnya menjadi cacat, hidungnya benkung, mata
picak sebelah, tangan sengkong bekas diplintir hingga patah tulangnya. Dalam keadaan
tubuh rusak ia memaksakan diri berjalan sambil merasakan sakitnya lahir dan
batin.
Akhirnya tibalah ia di sebuah negara yang tidak lain adalah negara
Astinapura. Nasib baik telah menanti berkat ilmunya tinggi. Ia diangkat oleh
Arya Bisma menjadi guru besar jurusan ilmu perang menggunakan senjata dan
strategi perang. Sedang mahasiswanya terdiri dari keluarga kerajaan yaitu
Kurawa dan Pandawa.
Bertahun-tahun sudah dia membina kedua golongan keturunan Barata dan
melahirkan manusia-manusia berjiwa ksatria. Sekalipun demikian luka hatinya
oleh Drupada menjadi obsesi yang tak terlupakan. Peribahasa luka di badan masih
dapat disembuhkan, luka di hati sulit dihilangkan. Ia ingin membalas tetapi
tanpa harus melukai fisik orang itu. Ia hanya ingin mempermalukan sahabatnya
itu, seperti pernah ia ipermalukan di hadapan para Mentri Bopati Pancala.
Karena itu ia ingin menangkap Drupada tapi tidak oleh tangannya sendiri,
melainkan oleh murid-muridnya. Untuk itu ia harus meningkatkan ilmu perang
murid-muridnya untuk menghadapi balatentara Pancala.
Demikianlah suatu hari ia memanggil murid-muridnya untuk dicoba
keterampilan menggunakan senjata panah. Sasarannya seekor burung yang hinggap
di dahan pohon. Caranya iatur secara adil dimulai dari Yudhistira. Sebelum
diperkenankan melepas senjata sang guru bertanya dahulu: “Kau harus awas
terhadap burung itu, coba lihat, selain burung apa kau lihat menurut
ciptaanmu?” Yudhistira: “Selain burung saya lihat batang pohon, wujud bapak
guru dan keempat saudara saya.” Sang resi mengulangi pertanyaan yang sama dan
dijawab dengan jawaban yang sama pula. Resi jengkel mendengar jawaban yang
itu-itu juga, lalu katanya: “Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena,
ayo minggir.” tukasnya ketus. Giliran Duryudana, sang guru bertanya dengan
pertanyaan yang sama yang dijawa oleh Duryudana: “Selain burung saya lihat daun
bergumpluk banyak sekali, kemudian dahan dan ranting, kemudian euu, kemudiannn
euuu…..” “Sudah, sudah, sama bodohnya, ayo minggir.” katanya jengkel. Demikian
para Kurawa dan Pandawa telah mendapat giliran, tetapi semua jawaban tidak satu
pun yang memuaskan sang guru.
Terakhir giliran Arjuna lalu ditanya: “Apa yang kau lihat disana” “Burung,”
jawab Arjuna. “Selain burung apalagi yang kau lihat?” “Saya tidak melihat
apa-apa selain badan burung,” jawabnya. Mendadak wajah sang resi berseri, tapi
ia bertanya lagi: “Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu
warnanya.” Tetapi Arjuna hanya menjawab: “Yang kelihatan hanya kepalanya.”
Seketika sang guru memerintahkan: “Lepaskan anak panah itu.” Dan melesatlah
anak panah suaranya bersuling tepat mengenai sasarannya hingga burung itu jatuh
ke bumi, disambut tampik sorak para siswa tanda gembira atas keberhasilan
Arjuna.
Demikianlah di hadapan murid-muridnya ia mengharap rasa solider mau
menangkap Drupada tanpa dilukai. Duryudana ketua kelompok Kurawa unjuk muda
ingin mendapat nama sebagai murid yang paling menyayangi guru lalu berkata:
“Bapak guru, luka hatimu adalah luka hati di hatiku. Karena itu akulah yang
akan menyeret si Drupada ******* itu ke hadapanmu,” katanya pongah. Maka tanpa
minta restu dahulu, berangkatlah ia dengan kelompokKurawa menuju negara
Pancala. Tetapi apa hasilnya, mereka hanya pulang dengan tangan hampa bahkan
babak belur dihajar tentara Pancala dan langsung pulang keasramanya karena malu
unjuk muka. Giliran Pandawa mohon restu menangkap Drupada. Dorna berpesan:
“Anakku Pandawa, meski hatiku sakit tangkaplah ia tanpa kau lukai. Balaslah
kejahatan dengan keadilan dan balaslah kebaikan dengan kebajikan, camkan itu.”
pesannya.
Berangkatlah para Pandawa menuju Pancala. Selang berapa lama Arjuna
berhasil menangkap Drupada dalam keadaan utuh dan membawanya ke hadapan Dorna.
Drupada duduk termenung menanggung malu tak berani bertatap mata dengan Dorna.
Ia telah merasa sakit sebelum dianiaya. Terbayang kembali dalam ingatannya
ketika Dorna datang menemui tapi tak diakui, bahkan dihina dan ia menjadi
tawanan untuk menerima peembalasan bahkan mungkin nyawa melayang. Ia terkejut
Dorna menyapa: “Selamat datang paduka raja agung negara Pancala. Hamba mohon
maaf belum bisa menerima paduka dengan selayaknya. Maklumlah hamba hanya
seorang pengemis hina tak berharga.” ujarnya menirukan kata-kata penghinaan
Drupada kepadanya dulu. “Oh, kakang Dorna, aku terima salah telah membuat
kakang sakit lahir dan batin. Tetapi juga waktu itu kakang tidak menghargai aku
sebagai raja. kakang masih menyamakan aku sebagai orang biasa berteriak-teriak
memanggil namaku dibawah sorotan puluhan mata para sentana praja dan mentri
bopati, sehingga aku merasa dipermalukan,”
Drupada coba memberi alasan. Dorna tertunduk mendengar alasan yang benar
dan tak menyalahi. Tapi kemudian ia menjawab: “Hamba merasa bersalah tak tahu
sopan santun sehingga mempermalukan paduka di hadapan para mentri bopati walau
di saat itu juga hamba sudah memohon maaf itu tidak berarti sedikit pun bagi
paduka. Malah lebih dari itu paduka tega membiarkan hamba diseret dan dianiaya
oleh pengawal paduka. Padahal kita pernah bersahabat bagai kakak adik,” ujarnya
dengan nada sendu. “Yah, aku memang bersalah, kini terserah mati hidupku ada
ditangan kakang,” katanya pasrah. “Jangan samakan diri paduka dengan hamba.
Mana mungkin orang kecil seperti hamba berani berbuat keji, walaupun paduka
telah mengiris-iris hati hamba dengan pisau kebencian hingga terasa pedih tak
terperikan, tetapi rasa kemanusian hamba tak mengizinkan membalas dengan cara
seperti pernah paduka laukan terhadap diri hamba.
Sebab bagaimanapun paduka adalah bekas sahabat karib hamba ketika sama-sama
menjadi siswa resi Baratwaja. itu pun kalau paduka masih mengakui kita bekas
teman akrab,” ujarnya. “Lalu apa maksud kakang sekarang aku telah menjadi
tawananmu,” tanyanya. “Hamba akan menagih janji yang pernah paduka ikrarkan
ketika di perguruan, bahwa paduka akan menganugerahkan separuh tanah dari kerajaan
Pancalareja kepada hamba. Itulah yang harus paduka tetapi sekarang juga,”
tukasnya dengan nada serius. Seketika terdengar suara orang banyak mengatakan
rasa puas dengan keputusan Dorna. Sementara lainnya mengatakan, bahwa Drupada
beruntung tidak dianiaya seperti dahuli dialami Dorna.
Mendengar umpatan itu Drupada yang rasa ke-aku-akuannya sangat tinggi
merasa sangat malu. Dalam hatinya ia berkata, ternyata Dorna lebih kejam dari
dugaan semula. Biar tak disakiti tapi dipermalukan di hadapan orang banyak
hancurlah keagungannya. Belum lagi ia harus menyerahkan sebagian tanah kerajaan
yang kesemuanya tak dapat dinilai dengan harta benda. Dalam hatinya ia berjanji
akan membalas sakit hatinya kepada Dorna. Begitulah nafsu itu bagaikan hawa
tiada tepinya, maka saling mendendam pun tiada habisnya.*
Ebet Kadarusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar