Nembang merupakan kata bentukan dari kata
dasar tembang. Nembang adalah kata kerja sedangkan tembang adalah kata
benda. Secara harafiyah nembang dapat
diartikan sebagai melakukan atau melagukan tembang. Adapun tembang merupakan
istilah konseptual yang secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut.
Ditengah-tengah kehidupan masyarakat luas
dijawa tengah sering digunakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang dianggap
mempunyai kemiripan makna dengan kata nembang. Kata tersebut adalah nyanyi
(bernyanyi, menyanyi). Masyarakat awam pada umumnya tidak membedakan antara
makna kata nembang dan nyanyi. Orang menyanyikan lagu-lagu popular diatrolik tempo
dulu disebut juga tembang kenangan. Lantunan suara pada pesindhen, dalam wayang
kulit, penari jawa, pemain kethoprak, dan pemain seni tradisi jawa lain dalam
suatu pementasan seni tradisi jawa juga sering disebut nyanyi. Kata nembang dan
nyanyi dalam penggunaaan ditenagh masyarakat luas sering kali terjadi slaing
tuka, dianggap memiliki kesamaan makna. Pada kalangan masyarakat luas nembang
diartikan sebagai melagukan atau melanturkan teks,syair, atau cakepan suatu
lagu jenis apapun dengan melodia atau
lagu tertentu.
Pada kalangan masyarakat karawitan jawa,
maka kata nembang dan nyanyi dibedakan. Nembang dipahami sebagai melagukan
jenis tembang dengan lagu yang umumnya menggunakan laras atau nuansa
slendro-pelog. Kata tembang dalam bahasa jawa tingkatanya halus disebut sekar.
Selain sebagai kata halus untuk kata tembang, sekar juga sebgai bahasa halus
kata kembang(bunga). Selain memiliki suku kata ahir sama yakni bang, kedua juga
memiliki kemiripan sifat indah mempesona demikian pula tembang. Bentuk, warna
dan bau kembang secara alami sungguh indah, segar mempesona. Karna itulah maka
kata tembang dan kembang memiliki dasanama yang sama , yaitu sekar.
Dalam kehidupan keseharian masyarakat jawa
tengah kata tembangs erring muncul. Tembang dolanan, tembang kenangan, tembang
gedhe, tembang tengahan, tembang macapat dan tembang cilikdan lain-lain sering
diucapkan dalam pembicaraan keseharian. sedangkan kata nembang sebagi kata
kerja tembang tidak kalah seringnya terucap dalam sebgai pembicaraan. Kata ajar
nembang, seneng menunjukan bahwa kata isi masih eksis digunakan oleh masyarakat luas dijawa tengah.
Beberapa sumber lian menyebutkan tembang
sebgai tembang sing dilagokake, kata yang dilagukan. Penjelasan ini tampak
singkat tapi tenuh arti. Tembang dalam bahasa Indonesia artinya kata, sedangkan
dilagokke berasal dari kata lagu, dilagokke berarti dilagukan. Tembang sing
dilagokake didalamnya terdiri dari dua
unsur yakni pertama tembang kedua lagu. Definisi singkat ini mengandung arti bahwa
pembacaan kita dilakukan dengan menggunakan lagu. Kata tidak sadar diucapkan
secara verbal sebagaimana orang membaca
teks berita melainkan disampaikan secara berlagu and bernada-nada
tertentu.
Bila tembang diartikan sebgai tembang sing
dilagokake maka nembang merupakan tindakan sebagai tindakan pelagaun tembung-tembang
yang tersusun didalam teks tembang. Teks dalam suatu lagu umumnya terdiri atas
susunan kata membentuk prase atau kalimat. Amat jarang teks lagu terdiri atas
satu kata berdiri sendiri tanpa kata lainya. Teks lagu dalm dua music
internasional juga disebut lirik atu syair. Dlam duania tembang dan karawitan
jawa tekas lagu disebut cakepan. Walaupun muncul dari sumber lisan ternyata keterangan
tentang tembang sebgai tembang sing dilagokake masuk akal dan bermanfaat.
Selain melalui sumber lisan, keterangan
tentang tembang juga dapat dijumpai
dalam berbagai tulisan. Dari beberapa sumber lisan dari berbagai pelaku
dan pemikir dalm bidang seni ini ditemukan batasan kata tembang. Dilihat secara
sekilas batasan yang telah terbuat
tampak beragam . namun secara substansial batasn-batasan tembang mempunyai
batasan makna.
Padmasoekotja (1960:25) mengatakan bahwa
tembang adalah reriptan utawi dhapukaning basa mawa paugeran tartamtu kang pamacane kudu dilagokake kanggo
kagunan swara. Artinya: karangan atau rangkain bahasa menggunakn pathokan
tertentu yang cara membacanya harus dilakukan dengan seni swara. Unsure-unsur
yang dimaksud adalah:1)karangan menggunakan pathokan, dan 2). Pembacaan
karangan dengan seni suwara.
Maryadi dalam macapat teori dan praktek
tembang mengatakan bahwa sekar utawi
tembnag inggih punika mengaku suraos reroncening swanten ing manwai titalatas
serta kinanthenan rumpakaning basa sumawana sastra ing ghumatok. Sekar tau
tembang mengandung arti penataan suara yang menggunakan titi nada dan disertai
susunan bahasa serta sastra tertentu.
Padmasoekotja dalam batasannya menempatkan
aspek sastra sebagai aspek pertama dan aspek suara atau lagu sebgai unsure
kedua. Sedangkan mawardi sebaliknya aspek lagu yang disebutnya sebgai penataan
suara yang menggunkan titilaras yang ditempatkan sebgai unsure pertama,
sedangkan aspek sastra sebagai unsur kedua. Dalam hal ini depinisi tembnag yang
dibuat oleh mawardi tampak lebih member
penekanan dalam aspek lagu yang dikatakan menggunakan titi laras.
Beberapa definisi tembang yang ditentukan
ditengah amsyarakat, baik diperoleh secara lisan maupun tulisan mempunyai unsure sama yakni:
1). Sastra, juga disebut cakepan, teks; dan 2). Suara dalm arti lagu. Pendapt
kedua pada pakar tembang sebagi dikutip menunjukan bahwa baik pada aspek sastra maupun lagu mempunyai
aturan atu ketentuan. Setelah diamati secara saksama secara berkaitan dengan
berbagi teks bentuk tembang yang ada memang ada bahwa kedua unsure tembang
tersebut kawengku ing paugeran (terbingkai oleh peraturan).
Telah disinggung sebelumnya bahwa dalm
teks tembang pada kususnya macapat terdapat aturan normative guru gatra, guru
lagu, dan guru wilangan. Guru lagu, guru lagu dan guru wilangan merupakan
ketentuan mengikat pada setiap jenis karya sastra yang berbentuk macapat.
Setiap teks berbentuk macapat karya siapapun, dimna pun dan kapanpun tunduk
pada kaidah normative yang oleh darsono dalam widodo. Disebut sebgai aturan
structural. Bila suatu jenis teks dinamakan tembang macapat maka dapat
dipastikan bahwa bahasa yang tersusun terikat oleh ketentuan structural tembang
macapat. Apabila ditemukan kekeliruan
atau ketidak tepatan terhadap ketentuan structural guru gatra, guru wilangan dan guru lagu maka
orang akan dengan mudah mengatakan bahwa tekas macapat terdapt salah atau ada
bagian yang tidak benar. Letak kesalahan dapat saja terjadi pada guru garta,
guru lagu dan guru wilangan.
Pada kalangan masyarakat seni karawitan,
enmabang yang merupakan bentukan dari kata tembang, secara spesifik diartikan
sebgai seseorang dan atau kelompok orang yang melakukan teks tertentu atau berlaras atau bernuansa slendro
pelok.
Istilah macapat dilingkungan masyarakat
jawa tengah dimaknai secara beragam . dikalangan masyrakat awam macapat sering diartikan sebagai maca papat-papat.
Maksudnya adalah membaca teks sastra bentuk macapt dengan lagu pada setiap
mendapatkan empat suku kat dilakukan pemberhentian sejenak untuk mengambil
nafas, setelah dilanjutkan lagi. Pengertian macapt yang seperti ini tersebar
dikalangan masyarakat luas dijawa tengah.
Ki Nartosabto dalam macapat teori dan
praktek nembang mengatakan bahwa beberapa lakon pakeliran purwa rkaman pita kaset audio pada adegan limbukan dan gara-gara sering menupas tentang makna
macapat. Setelah dilakukan batah antar tokoh dalm wayang kulit perihal makna
macapt pada ahirnya menyetujui bahwa
macapat merupakan akronim dari maca
parepat artinya membaca pada acara rapat atau pertemuan. Pembacaan teks
macapt dengan lagu tertentu secara bergiliran yang sering disebut sebgai
macapatn sering dilakukan hingga pada
ahir era Kinartosabta, sikatar tahun 1980.
Arti macapat sebagimana yang beredar
sebagi maca papat-papat didalam masyarakat luas dijawa tengah oleh para pelaku
karawitan dan sastra jawa disebut salah kaprah. Waluapun pengertian demikian
juga memiliki dasar argumentasi., ialah bahwa dalam melagukan tembang macapat sering kali setiap empat suku kata berarti
berhenti sejenak untuk sekedar menambil nafas. Dalam pembacaan teks macapat
semacam ini terkesan lagu lebih dipentingkan dari pada teks. Karena dalam
pembacaan teks macapt terutama gaya Surakarta sebagi waosan memiliki
konvensi normative lagu winengku sastra
nyang mengisatkan bahwa dalam pembacaan
teks macapat kejelasan cakepan lebih ditentukan, maka oleh para ahli pemkanaan
dinggap demikian kurang benar.
Selain maca papat-papat dan maca parepat,
masih ditemukan beberapa arti macapt lainnya yang didasarkan pada pengertian
secara mirip jawa dhosok. Beberapa pengertian secara mirip tersebut antara
lain: macapat, maca cepet, macakep, maca mat, dan lain-lain.
Suharjendro dalam macapat teori dan
praktik nembang memberikan alasan mengapa suatau karya disebut macapat.
Terdapat tujuh kemungkinan alasan tembang disebut macapat:
1.
maca papat-papat membaca teks dengan memenggalkan empat
suku kata,misalnya: ngelmu iku (4 wanda)kalakone (4 wanda) kanthi laku (4
wanda) setya budya (4wanda) pangekese (4wanda) durangkara (4 wanda).
2.
Manca-pat ,isi teks tembang menceritakan kejadian
dipusat bumi daru empat penjuru angin (keblat papat lima pancer)
3.
Manca-pat dari panca-arpat (lima sandangan atau guru
lagu, yaitu a (legenda), i(wulu), é (taling tarung),- e (pepet), pantangan
dipakai diahir gatra.
4.
Manca-pat:
membaca cepat (dengan tempo cepat), tidak banyak luk, wilet dan
bunga-bunga musical tertentu, yang lebih dipentingkan teks dapat terdengar
jelas.
5.
Macakep dari maca cakepan, yaitu membaca syair tembang
atau cakepan temabang.
6.
Maca mat :( maca
kanthi dimatake: membaca dengan perhatian penuh dinikmati), atau maca maat
(membaca dengan irama dan lagu)
7.
Maca-pat yakni membaca (temabng) yang keempat, yaitu:
Maca sa-lagu atau digolongkan dengan
tembang atau sekar sepisan.
Maca
ro-lagu atau digolongkan dalam sekar ageng kepindho.
Maca
Tri-lagu atau digolongkan dalam sekar tengahan.
Maca
pat-lagu atau digongkan dalam tembang atau sekar alit.
Dalam sumberlain menyebutkan bahwa macapat atau
tembang cilik( sekar alit) lebih terkenal dengan nama tembang macapat. Sedangkan
macapat itu sendiri adalah karya sastra berwujud puisi yang menggunakan bahasa
Jawa baru dan terikat dengan aturan-aturan: 1) guru gatra, yaitu jumlah baris
tiap satu bait, 2) guru lagu, yaitu jatuhnya huruf vokal di akhir baris, dan 3)
guru wilangan, yaitu jumlah suku kata tiap baris. Jadi yang dimaksud dengan
tembang macapat yaitu bentuk karya sastra puisi yang terikat aturan-aturan
diantaranya guru gatra,guru lagu dan guru wilangan, dibacanya menggunakan laras
slendro-pelok.
Sejarah
singkat macapat bermula dari Basa Jawa kuno yang merupakan bahasa umum selama
periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh
Islam, bahasa jawa kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan yang
menimbulkan bahasa jawa pertengahan dan bahasa jawa baru. Kemudian, bahasa jawa
pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa jawa baru dengan
macapatnya berkembang di Jawa.
Lahirnya
macapat berurutan dengan kidung muncullah tembang gede berbahasa jawa
pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa jawa baru. Dan pada zaman
Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa
baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula
dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan
kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa
kitab-kitab suluk. Kitab suluk ini memberikan sumbangan yang besar terhadap
perkembangan macapat.
Memang
belum ada kepastian kapan macapat itu lahir. Namun demikian beberapa
sumber mengatakan bahwa macapat telah
ada pada awal tumbuhnya kerajaan islam
Demak dipulau Jawa dan menjelang keruntuhan keruntuhna
majapahit. Pada saat itu perngaruh hindu perlahan-lahan menyusut sementara
pengaruh islam yang semula berkembang di pesisir kian meluas. Disamping itu
timbul kesadaran ke-jawa-an disegala lapisan masyarakat, tidak terkecuali
dikalangan pujangga. Karya sastra tidak lagi
serat dan ajaran-ajaran hindu. Sulitnya memahami persajakan dan lagi metrum kakawin, tidak dipakainya
lagi bahasa jawa kuna sebagai alat komunikasi dikalngan masyarakat umum, dan adanya
nilai-nilai baru yang dibawa oleh agama Islam
menuntut ebntuk ungkap baru dlam dunia sastra. Bentuk ungkap baru itu
berupa sekra tengahan dan sekar macapat. Berdasarkan kenyataan bahwa agama
Islam telah berkembang pada abad XVI dan kerajaan majapahit runtuh pada tahun 1478 maka dapatlah diajukan suatu
dugaan bahwa macapat lahir pada pertengahan abad ke XV (saputra dalam widodo).
Sumber
lain menyebutka bahwa tembang macapat merupakan puisi yang tumbuh pada
jaman jawa baru. Puisi tersebut secara
structural berbeda dengan karaya puisi
yang telah muncul pada jamna sebelumnya , yaitu pada jaman jawa kuna. Pada
jaman jawa kuna telah muncul sastra puisi yang disebut kakawin. Bahasa jawa
baru mulai dipakai pada ahir keruntuhan kerajaan majapahit dan munculnya
kerajaan islam demak. Dimungkinkan sekar macapat telah ada pada abad XV.
Waluyo
dalam macapat teori dan praktek tembang menyebutkan bahwa tembang amcapat
diciptakan oleh Giri kedhaton (sunan giri). Sunan giri menularkan tembang macapat kepada sunan
bonang yang kemudian disebar luaskan
kepad para wali lainnya. Tembang macapt diciptakna oleh sunan giri adalah hal
yang baru. Ia mnengambil metrum macapat yang telah ada sebgai awrisan budaya generasi sebelumnya.
Ada pula yang emnyebutkan bahwa jika dilihat dari sudut persajakan sekar macapt
sam dengan sekra tengahan, dan bahwa sekar macapat tumbuh bersama-sama dengan
puisi jawa tengahan benar, maka dapt diapstikan bahwa sekar macapat
setidak-tidaknya telah aada pada tahun 2541 mashei. Angka tahun itu dipastikan
daris engkalan teks kidung subrata dalam widodo yang berbunyi
tiga-rasa-dadi-jalma (1463 caka, atau tahun 1541 mashei).
Lain halnya dengan macapat banyumasan,
dimana tembang-tembang macapat yang ada didalam macapat banyumasan menggunakan
logat banyumasan, padahal Logat Banyumasan ditengarai sebagai
logat bahasa jawa yang tertua. Hal ini ditandai dengan beberapa kata dalam
Bahasa kawi/sanksekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa jawa yang masih
dipakai dalam logat Banyumasan seperti kata rika (jw = kowé,
ind = kamu), juga kata inyong yang berasal dari ingong
serta pengucapan vokal a yang utuh tidak seperti å
(baca a tipis / miring) yang menjadi pengucapan dialek Banyumasan yang masih
berbau sanksekerta. Memang tidak ada sumber yang pasti yang menyebutkan bahwa
bahasa jawa kuna lebih duluan dari pada
bahasa sansekerta atau sebaliknya akan tetapi bahasa kawi atau
sansekerta, lebih tua dari pada jawa tengahan, padahal bahasa-bahasa yang
dipakai dalam tembang-tembang macapat yang ada disolo atau jogja yang jelas menggunakan jawa modern.
Bukankah itu sebuah keistimewaan dimana tembang yang terlahair pada zaman jawa
baru akan tetapi macapat banyumas masih menggunakan jawa kawi atau sansekerta.
Seperti halnya contoh tembang asmarandana logat banyumasan yang ada dibawah
ini:
Gemiyen
inyong
tekan cilik
Ditresnani
biyung rama
Dipun
gendhong kewar-kewer
Ngger
nangis dikundang-kundang
Dililing
lan disawang
Inyong
nangis
tulung-tulung
Itu
adalah sebuah bentuk nyata yang ada pada tembang macapat banyumasan. Bahwa
ejaan-ejaan yang dipakai dalam sansekerta atau kawi masih dipakai dalam
tembang-tembang banyumasan. Seperti kata inyong yang tertulis dalam baris pertama
dan ke enam diatas, itu adalah bukti
kata-kata yang dipakai dalam macapat banyumasan masih banyak kata-kata yang
mengadopsi dari jawa kuna.
Kedua dalam bentuk pelafalan, sebagai
contoh kata rama kalimat pada baris kedua tembang diatas yang berbunyi ditersnani biyung rama, dalam
tembang banyuman kata itu masih terbaca jelas vokal A-nya, akan tetapi bila
ditembangkan dalam logat solo atau jogjakartaan tentunya akan terbaca jelas O. itu
cukup beralasan mengapa tembang banyumasan itu masih dekat dengan bahasa
sansekerta atau kawi. Semua yang tertulis diatas merupakan isi, alasan dan
keistimewaan dari macapat banyumasan.
Memang hal itu tidak begitu pasti apakah
benar adanya bahwa, bahasa yang dipakai didaerah banyumas itu benar-benar
karena terpengaruh oleh ejaan-ejaan sansekerta atau jawa kuna. Hal itu
dikarenakan daerah banyumas atau eks karsidenan banyumas berdekatan dengan
Bahasa Sunda, dimana bahasa sunda juga sama halnya dengan bahasa banyumasan
dimana dalam pelafalanya A-nya itu
jelas-jelas terucap. Berbeda dengan bahasa-bahasa orang-orang jawa yang lainya seperti
jogja, semarang, solo dan lain, yang kesemuanya itu hampir semua pelapalan
A-nya itu tidak terlihat. penapsiran-penapsiran itu terbukti bahwa
daerah-daerah yang dekat dengan wilayah bahasa sunda makin jelas kekhasan
banyumasnya, akan tetapi kalau kita lihat semakin ketimur, kekhasan bnayumasan
itu hilang. Sebagai contoh kebumen bagian timur, disitu sudah mulai tidak
terlihat jelas pelafalan –pelafalan seperti orang banyumas pada umumnya. Itu
memang bisa dijadikan suatau alasan dimana, bahasa sunda juga bisa dijadikan
suatu alasan mengapa bahasa banyumas itu begitu jelas kengapakannya.
Akan tetapi kita tidak bisa melihat dari
satu sudut saja, apakah kita pernah
terpikir bahwa, apakah masyarakat banyumas yang terpengaruh atau bahasa sunda
yang terpengaruh. Hal itu dapat terlihat dari bentuk bahasa yang digunakan oleh
orang sunda didaerah perbatasan dengan jawa tengah.sebahai contoh wilayah
cilacap seperti kecamatan karangpucung, cimanggu, majenang, dan wanareja. Semua
kecamatan itu terdapat bahasa sundanya akan tetapi itu berurutan kadarnya.
Dimana kecamatan karangpucung yang dilihat paling timur menggunakan bahasa
sundanya, akan tetapi kadar bahasa sundanya itu sedikit, hanya daerah-daerah
tertentu yang pada umumnya daerah pegunungan. Semakin kebarat semakin meluas
hingga sampai perbatasan yaitu kecamatan Wanareja itu hampir sebagian besar itu
mengguankan bahasa Sunda. Daerah banjarpatoman
yang wilayahnya masuk jawa barat itu juga masih banyak masyarakat yang
menggunakan bahasa jawa. Apakah itu tidak membuktikan bahwa bahasa sunda justru
yang terpengaruh oleh bahasa jawa, dan bahasa jawa daerah banyumas itu
terpengaruh oleh bahasa Jawa kuna. Memang hal itu baru kemungkina saja, tidak
ada kepastian yang mendukung didalanya. Bila kita melihat keterpenagruhannya
bahasa, itu kan tidak jelas siapa yang terpengaruh dan siapa yang mempengaruhi
bisa juga keduanya saling mendukung.
Bila tembang macapat ini dikaitkan dengan
IPTEK tentunya banyak sekali keterkaitakan.prof. Teguh menjelaskan bahwa sastra
tidak terbatas pada sejarah atau baudaya saja akan tetapi juga terkait pada
masalah sosial, hukum, antropogi begitu juga kedokteran banyak lagi yang
lainnya . Seperti hal nya jamu gendong, jamu beras kencur dan lain sebaginya ,
bukankah itu racikan orang jawa yang tertulis dalam sebuah tembang-tembang macapat
jaman dulu itu adalah resep obat yang masih digunakan sampai sekarang ini. Itu
adalah bukti bahwa sastra sangat luas hubunganya teknologi kedokteran.
Primbon,
hitungan-hitungan jawa semua itu tertulis dalam sebuah karya sastra. Serat
centhini yang menceritakan bagaimana cara orang bersenggama dan lain sebagainya
yang tertulis dalam bentuk tembang macapat. Itulah bukti bahwa sebuah
pengetahuan yang tentunya mengandung unsur-unsur teknologi.
Dari semua yang tertulis diatas tentunya
banyak kegunaan-keguanan, diantaranya disamping kita belajar bentuk karya
sastra kita juga belajar segala bentuk karya sastra secara modern dimana, bila
dihubungkan dengan IPTEK, seperti halnya yang tertulis diatas, itu yang
pertama. Kedua membuka kenyataan, seperti halnya yang kita ketahui bahwa
tembang macapat yang hidup dalam jawa baru akan tetapi kalu kita lihat dari
tembang macapat banyumasan dapat terlihat bahwa macapat sudah hidup sebelum
jawa pertengahan. Seperti bahasa-bahasa yang digunakan dalam tembang macapat
banyumasan itu. Disamping itu kita juga belajar linguistik dan filologi dimana
kata-kata yang ada dalam logat banyumas banyak yang menyerap dari bahasa-bahasa
sansekerta atupun kawi. Sebagai contoh kata ingong
yang diserap menjadi inyong,itu
adalah sebuah kajian lingustik yaitu kata ingong yang diambil dari bahasa
sansekerta kemudian diambil menjadi inyong dalam bahasa banyumasan. Memang bila
kita bandingkan dengan bahasa jawa pada umumnya semua keterkaitan itu ada,
seperti kata ingsun yang berasal dari bahasa jawa kuna yaitu ingwang yang
berarti saya.
Setelah tulisan ini terselesaikan maka
diharapkan bisa menjadi pembuktian, bahwasanya macapat yang selama ini
dikatakan lahir pada jawa baru ada juga yang lahir sebelum itu, seperti halnya
macapat banyumasan yang banyak menggunakan bahasa-bahasa jawa kawi atau
sansekerta. Hal itu memeng memerlukan
banyak sekal pembuktian, dimana letak banyumas yang juga berbatasan dengan
wilayah sunda, hal itu bisa dijadikan sebuah pertanyaan, oleh siapa, karena apa
bahasa banyumasan itu terpengruh.