KAJIAN BENTUK TEMBANG
MACAPAT BANYUAMSAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Nembang
merupakan kata bentukan dari kata dasar tembang. Nembang adalah kata kerja
sedangkan tembang adalah kata benda.
Secara harafiyah nembang dapat diartikan sebagai melakukan atau
melagukan tembang. Adapun tembang merupakan istilah konseptual yang secara
khusus akan dijabarkan sebagai berikut.
Ditengah-tengah
kehidupan masyarakat luas dijawa tengah sering digunakan sebuah kata dalam
bahasa Indonesia yang dianggap mempunyai kemiripan makna dengan kata nembang.
Kata tersebut adalah nyanyi (bernyanyi, menyanyi). Masyarakat awam pada umumnya
tidak membedakan antara makna kata nembang dan nyanyi. Orang menyanyikan
lagu-lagu popular diatrolik tempo dulu disebut juga tembang kenangan. Lantunan
suara pada pesindhen, dalam wayang kulit, penari jawa, pemain kethoprak, dan
pemain seni tradisi jawa lain dalam suatu pementasan seni tradisi jawa juga
sering disebut nyanyi. Kata nembang dan nyanyi dalam penggunaaan ditenagh
masyarakat luas sering kali terjadi slaing tuka, dianggap memiliki kesamaan
makna. Pada kalangan masyarakat luas nembang diartikan sebagai melagukan atau
melanturkan teks,syair, atau cakepan suatu lagu jenis apapun dengan melodia atau lagu tertentu.
Padmasoekotja
(1960:25) mengatakan bahwa tembang adalah reriptan utawi dhapukaning basa mawa
paugeran tartamtu kang pamacane kudu
dilagokake kanggo kagunan swara. Artinya: karangan atau rangkain bahasa
menggunakn pathokan tertentu yang cara membacanya harus dilakukan dengan seni swara.
Unsur-unsur yang dimaksud adalah:1)karangan menggunakan pathokan, dan 2).
Pembacaan karangan dengan seni suwara.
Lahirnya
macapat berurutan dengan kidung muncullah tembang gede berbahasa jawa
pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa jawa baru. Dan pada zaman
Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa
baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula
dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan
kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa
kitab-kitab suluk. Kitab suluk ini memberikan sumbangan yang besar terhadap
perkembangan macapat.
Memang
belum ada kepastian kapan macapat itu lahir. Namun demikian beberapa
sumber mengatakan bahwa macapat telah
ada pada awal tumbuhnya kerajaan islam
Demak dipulau Jawa dan menjelang keruntuhan keruntuhna
majapahit. Pada saat itu perngaruh hindu perlahan-lahan menyusut sementara
pengaruh islam yang semula berkembang di pesisir kian meluas. Disamping itu
timbul kesadaran ke-jawa-an disegala lapisan masyarakat, tidak terkecuali
dikalangan pujangga. Karya sastra tidak lagi
serat dan ajaran-ajaran hindu. Sulitnya memahami persajakan dan lagi metrum kakawin, tidak dipakainya
lagi bahasa jawa kuna sebagai alat komunikasi dikalngan masyarakat umum, dan
adanya nilai-nilai baru yang dibawa oleh agama Islam menuntut ebntuk ungkap baru dlam dunia
sastra. Bentuk ungkap baru itu berupa sekra tengahan dan sekar macapat.
Berdasarkan kenyataan bahwa agama Islam telah berkembang pada abad XVI dan
kerajaan majapahit runtuh pada tahun
1478 maka dapatlah diajukan suatu dugaan bahwa macapat lahir pada pertengahan
abad ke XV (saputra dalam widodo).
Lain
halnya dengan macapat banyumasan, dimana tembang-tembang macapat yang ada
didalam macapat banyumasan menggunakan logat banyumasan, padahal Logat
Banyumasan ditengarai sebagai logat bahasa jawa yang tertua. Hal ini
ditandai dengan beberapa kata dalam Bahasa kawi/sanksekerta yang merupakan
nenek moyang dari bahasa jawa yang masih dipakai dalam logat Banyumasan seperti
kata rika (jw = kowé, ind = kamu), juga kata inyong
yang berasal dari ingong serta pengucapan vokal a
yang utuh tidak seperti å (baca a tipis / miring) yang menjadi
pengucapan dialek Banyumasan yang masih berbau sanksekerta. Memang tidak ada
sumber yang pasti yang menyebutkan bahwa bahasa jawa kuna lebih duluan dari
pada bahasa sansekerta atau sebaliknya
akan tetapi bahasa kawi atau sansekerta, lebih tua dari pada jawa tengahan,
padahal bahasa-bahasa yang dipakai dalam tembang-tembang macapat yang ada disolo atau jogja yang jelas menggunakan jawa
modern. Bukankah itu sebuah keistimewaan dimana tembang yang terlahair pada
zaman jawa baru akan tetapi macapat banyumas masih menggunakan jawa kawi atau
sansekerta.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang menjadi ciri khas tembang macapat banyumasan?
2.
Bagaimana bentuk tembang dalam tembang macapat
banyumasan?
3.
Mengapa bahasa, sastra dan teks menjadi spsifikasinya?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
cirri dan perbedaan anatara tembang macapat banyumasan dengan tembang macapat
pada umumnya.
2. Melihat
hal-hal yang membedakan antara tembang macapat Banymasan dengan tembang-tembang
macapat kebanyakan, seperti tembang macapat Surakartanan atau Jogjakartanan.
3. Melihat
seberapa dekat macapat banyumasan dengan bahasa atau karya sastra-karya sastra
yang ada dibanyumas pada khususnya.
1.4 Manfaat
Manfaaat penelitain ini ada 2 yaitu
manfaat secara teoritis dan secara praktis.
1)
Manfaat secara teoritis
Secara
teoritis kajian ini member sumbangan kepada ilmu pengetahuan terutama dalam
bagian bentuk-bentuk yang ada dalam macapat banyuamasan, dimana bisa menjadi
sebauah pembanding antara tembang macapat Banyumasan dengan tembang macapat
lainnya, yang tentunya berbeda dengan macapat banyumasan.
2)
Manfaat secara praktis
Member
sumbangan kepada pengguna (guru-guru, siswa ),
dimana pembaca menjadi tahu,
bagaimana bentuk-bentuk macapat banyuamsan.