Breaking

Senin, Mei 21, 2012

KAJIAN TEMBANG MACAPAT


 KAJIAN BENTUK TEMBANG MACAPAT BANYUAMSAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Nembang merupakan kata bentukan dari kata dasar tembang. Nembang adalah kata kerja sedangkan tembang adalah kata benda.  Secara harafiyah nembang dapat diartikan sebagai melakukan atau melagukan tembang. Adapun tembang merupakan istilah konseptual yang secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut.
Ditengah-tengah kehidupan masyarakat luas dijawa tengah sering digunakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang dianggap mempunyai kemiripan makna dengan kata nembang. Kata tersebut adalah nyanyi (bernyanyi, menyanyi). Masyarakat awam pada umumnya tidak membedakan antara makna kata nembang dan nyanyi. Orang menyanyikan lagu-lagu popular diatrolik tempo dulu disebut juga tembang kenangan. Lantunan suara pada pesindhen, dalam wayang kulit, penari jawa, pemain kethoprak, dan pemain seni tradisi jawa lain dalam suatu pementasan seni tradisi jawa juga sering disebut nyanyi. Kata nembang dan nyanyi dalam penggunaaan ditenagh masyarakat luas sering kali terjadi slaing tuka, dianggap memiliki kesamaan makna. Pada kalangan masyarakat luas nembang diartikan sebagai melagukan atau melanturkan teks,syair, atau cakepan suatu lagu jenis apapun  dengan melodia atau lagu tertentu.
Padmasoekotja (1960:25) mengatakan bahwa tembang adalah reriptan utawi dhapukaning basa mawa paugeran  tartamtu kang pamacane kudu dilagokake kanggo kagunan swara. Artinya: karangan atau rangkain bahasa menggunakn pathokan tertentu yang cara membacanya harus dilakukan dengan seni swara. Unsur-unsur yang dimaksud adalah:1)karangan menggunakan pathokan, dan 2). Pembacaan karangan dengan seni suwara.
Lahirnya macapat berurutan dengan kidung muncullah tembang gede berbahasa jawa pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa jawa baru. Dan pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa kitab-kitab suluk. Kitab suluk ini memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.
Memang belum ada kepastian kapan macapat itu lahir. Namun demikian beberapa sumber  mengatakan bahwa macapat telah ada pada awal tumbuhnya  kerajaan islam Demak  dipulau Jawa  dan menjelang keruntuhan keruntuhna majapahit. Pada saat itu perngaruh hindu perlahan-lahan menyusut sementara pengaruh islam yang semula berkembang di pesisir kian meluas. Disamping itu timbul kesadaran ke-jawa-an disegala lapisan masyarakat, tidak terkecuali dikalangan pujangga. Karya sastra tidak lagi  serat dan ajaran-ajaran hindu. Sulitnya memahami persajakan  dan lagi metrum kakawin, tidak dipakainya lagi bahasa jawa kuna sebagai alat komunikasi dikalngan masyarakat umum, dan adanya nilai-nilai baru yang dibawa oleh agama Islam  menuntut ebntuk ungkap baru dlam dunia sastra. Bentuk ungkap baru itu berupa sekra tengahan dan sekar macapat. Berdasarkan kenyataan bahwa agama Islam telah berkembang pada abad XVI dan kerajaan majapahit runtuh  pada tahun 1478 maka dapatlah diajukan suatu dugaan bahwa macapat lahir pada pertengahan abad ke XV (saputra dalam widodo).
Lain halnya dengan macapat banyumasan, dimana tembang-tembang macapat yang ada didalam macapat banyumasan menggunakan logat banyumasan, padahal Logat Banyumasan ditengarai sebagai logat bahasa jawa yang tertua. Hal ini ditandai dengan beberapa kata dalam Bahasa kawi/sanksekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa jawa yang masih dipakai dalam logat Banyumasan seperti kata rika (jw = kowé, ind = kamu), juga kata inyong yang berasal dari ingong serta pengucapan vokal a yang utuh tidak seperti Ã¥ (baca a tipis / miring) yang menjadi pengucapan dialek Banyumasan yang masih berbau sanksekerta. Memang tidak ada sumber yang pasti yang menyebutkan bahwa bahasa jawa kuna lebih duluan dari pada  bahasa sansekerta atau sebaliknya akan tetapi bahasa kawi atau sansekerta, lebih tua dari pada jawa tengahan, padahal bahasa-bahasa yang dipakai dalam tembang-tembang macapat yang ada  disolo atau jogja yang jelas menggunakan jawa modern. Bukankah itu sebuah keistimewaan dimana tembang yang terlahair pada zaman jawa baru akan tetapi macapat banyumas masih menggunakan jawa kawi atau sansekerta.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi ciri khas tembang macapat banyumasan?
2.      Bagaimana bentuk tembang dalam tembang macapat banyumasan?
3.      Mengapa bahasa, sastra dan teks menjadi spsifikasinya?
1.3 Tujuan
1.      Mengetahui cirri dan perbedaan anatara tembang macapat banyumasan dengan tembang macapat pada umumnya.
2.      Melihat hal-hal yang membedakan antara tembang macapat Banymasan dengan tembang-tembang macapat kebanyakan, seperti tembang macapat Surakartanan atau Jogjakartanan.
3.      Melihat seberapa dekat macapat banyumasan dengan bahasa atau karya sastra-karya sastra yang ada dibanyumas pada khususnya.
1.4 Manfaat
Manfaaat penelitain ini ada 2 yaitu manfaat secara teoritis dan secara praktis.
1)                           Manfaat secara teoritis
Secara teoritis kajian ini member sumbangan kepada ilmu pengetahuan terutama dalam bagian bentuk-bentuk yang ada dalam macapat banyuamasan, dimana bisa menjadi sebauah pembanding antara tembang macapat Banyumasan dengan tembang macapat lainnya, yang tentunya berbeda dengan macapat banyumasan.
2)                           Manfaat secara praktis
Member sumbangan kepada pengguna (guru-guru, siswa ),  dimana pembaca  menjadi tahu, bagaimana bentuk-bentuk macapat banyuamsan.