Akibat-Akibat Penyimpangan dari
Syari`at Islam
Pada pembahasan kedua dari bab ini
telah kami isyaratkan bahwa barangsiapa
yang membuat undang-undang atau aturan-aturan yang tidak bersandar kepada
prinsip hakimiyah itu milik Allah `Azza
Wa Jalla, dia telah menjadikan dirinya
sebagai rabb, wal ‘iyadzu billah. Hal ini mengandung suatu bentuk kemusyrikan terhadap Allah
Tabaraka Wa Ta`ala. Kemusyrikan itu
tidak menuntut seseorang untuk menyatakan kemusyrikannya terhadap Allah, tetapi sudah cukup dengan tindak tanduknya,
baik dalam urusan ini, maupun dalam urusan-urusan lain yang mengandung hakimiyah Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Dalam
hal ini, Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam berkata:
“Syirik itu, pada kalian,
lebih halus daripada jalannya
semut.” (Sayyid Quthb, 1406 H. / 1986 M., jilid IV, halaman 2032).
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dan Thabarani dengan lafazh:
“Wahai manusia, waspadalah terhadap syirik ini, karena sesungguhnya dia itu lebih halus daripada jalannya semut.” (Zakiyyuddin Abdul `Azhim bin Abdul Qowi Al Mundziri, 1406 H. /1986 M., jilid I, halaman 76)
“Wahai manusia, waspadalah terhadap syirik ini, karena sesungguhnya dia itu lebih halus daripada jalannya semut.” (Zakiyyuddin Abdul `Azhim bin Abdul Qowi Al Mundziri, 1406 H. /1986 M., jilid I, halaman 76)
Sesungguhnya aqidah Islam itu
merupakan fondasi bagi setiap kegiatan manusia, dan juga bagi setiap
hubungan-hubungan kemanusiaan. Aqidah Islam tidak saja terbatas untuk kalangan
kaum muslimin, tetapi juga harus
disampaikan kepada seluruh manusia, dan mereka
harus tunduk kepadanya. Aqidah Islam juga merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan atau membatasi
hubungan-hubungan dan ikatan-ikatan kemanusiaan. Sesungguhnya penolakan
terhadap syari`at Islam dalam bentuk apa pun merupakan cerminan dari penolakan terhadap uluhiyah (ketuhanan)
dan hakimiyah Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Tatkala uluhiyah dan hakimiyah Allah tersebut ditolak, itu
merupakan awal dari jalan kemungkaran, yang darinya akan mengalirlah
kemungkaran-kemunkaran yang lainnya. Pada hakikatnya, ada atau tidak adanya komitmen terhadap syari`at Allah Subhanahu Wa Ta`ala, dan penolakan terhadap uluhiyah-Nya, semuanya
itu tidaklah menambah atau mengurangi
uluhiyah, hakimiyah, dan kukuasaan Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Akan
tetapi, komitmen terhadap syari`at Allah
dan pengakuan akan uluhiyah-Nya serta penerapannya dalam kehidupan
merupakan suatu kenikmatan yang Allah berikan
kepada orang-orang yang komitmen terhadapnya. Hal itu sebagaimana firman-Nya di
dalam Al Qur’an:
“Tidaklah patut bagi kami (para
nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Yang demikian itu adalah
dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur (kepada-Nya).” (Yusuf:38)
Sesungguhnya akibat akhir penyimpangan dari syari’at Islam,
melalui kemusyrikan manusia dengan Allah di dalam pembuatan
undang-undang yang diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia, adalah kekufuran, wal ‘iyadzu billa. Manusia itu bisa keluar dari fitrahnya, apakah
pada saat kelahirannya, ataukah pada masa yang berikutnya. Keluarnya manusia
dari fitrah pada saat kelahirannya adalah dengan menganut agama selain Islam, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam:
“Setiap (bayi) yang dilahirkan itu
terlahir dalam keadaan suci. Kedua orang tuanya yang menjadikan apakah dia itu
Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang ternak itu melahirkan
anak binatang yang serupa, yang tidak ada perbedaaan sedikit pun dengan
induknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim (Ahmad bin
Taimiyyah, 1401H. / 1981 M., jilid XV,
halaman 146)
Sedangkan
keluarnya manusia dari fitrahnya pada masa yang akan datang adalah dengan
tetapnya seseorang itu dalam keadaan Islam sejak masa kelahirannya, tetapi tindak tanduknya bertentangan dengan
fitrahnya. Ini adalah suatu bentuk
kekufuran yang sama dengan kekufuran
sebelumnya. Walaupun belum dinyatakan dengan lidahnya, tindak tanduknya telah menunjukkan akan hal
itu. Kekufuran ini berjenjang, sesuai dengan tahapan-tahapan yang disiapkan dan
dirancang oleh musuh-musuh Allah
Subhanahu Wa Ta`ala. Biasanya,
kekufuran
ini bermula dari pengeluaran manusia
secara bertahap dari fitrahnya. Yakni,
manusia itu secara fitrah diciptakan dalam keadaan muslim, jujur,
ikhlas, mempunyai rasa kasih sayang, serta mencintai dirinya, keluarganya, masyarakatnya dan
kemanusiaan secara keseluruhannya. Akan tetapi, gelombang badai kemanusiaan mulai mendorong
manusia tersebut agar keluar dari fitrahnya. Yaitu, dengan mengambil jalan lain yang tidak
diridlai oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala bagi manusia. Gelombang badai
kemanusiaan tersebut, mulai mendorong
manusia itu ke arah jalan yang menyimpang, melalui faktor-faktor yang telah
dicanangkan secara akurat, untuk mewujudkan hasil-hasil yang berlawanan dengan apa yang diinginkan
oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala bagi
manusia.
Perjalanan yang berlawanan ini, memulai
penyimpangannya pada persoalan-persoalan yang tampaknya ringan dan sederhana,
tatkala dilihat secara individu dan
terpisah dari seluruh penyebab dan
pengaruhnya, sehingga memungkinkan untuk menutup mata darinya. Akan
tetapi, penyelewengan ini kemudian mulai berkepanjangan dan meyesatkan, karena adanya dua faktor utama, yaitu: Pertama, berdiam diri dari
penyimpangan tersebut, walaupun orang yang menyimpang tersebut tidak menyadari
bahwa hal itu adalah suatu penyimpangan. Kedua,
adanya perasaan sementara akan kemenangan atas fitrah, dengan cara melakukan penyimpangan
darinya dan merealisasikan apa-apa yang tidak mungkin direalisasikan.
Ungkapan yang lebih jelas adalah
merealisasikan apa-apa yang tidak mungkin dijalani dan
direalisasikan oleh fitrah yang
lurus. Di sini, mulailah terjadi
adaptasi penyimpangan pribadi dengan realita
yang ada di masyarakat, melalui sejumlah kesamaan dalam penyimpangan,
dan sesuai dengan apa yang telah digariskan untuknya. Sebagai contoh adalah
seseorang mulai mempopulerkan paham kebangsaan (nasionalisme),
melalui pembangkitan fanatisme
golongan secara negatip, dengan
menggunakan beberapa hal yang positif, misalnya dengan mengatakan bahwa
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam adalah orang Arab, atau bahasa
Arab itu adalah bahasa Al Qur’an. Setelah
penyimpangan asasi yang direncanakan, dan dibangun di atas dasar yang
benar tetapi dipergunakan secara tidak
benar itu berhasil, dimulailah kegiatan
penyusunan hasil-hasil penyimpangan tersebut dalam bentuk lain yang telah
dipersiapkan, selama hal itu tidak menjadi bahan pertanyaan, atau
tidak dipandang aneh, atau tidak diingkari. Sebagai contoh adalah
ucapan berikut: Kita adalah bangsa Arab; di antara kita ada yang muslim
dan ada yang non muslim. Oleh karena
itu, kita harus bersatu atas dasar
(kebangsaan) tersebut.
Adaptasi terhadap penyimpangan yang
asasi ini merupakan awal dari
berakhirnya (fitrah), karena sudut-sudut penyimpangan semakin meluas, dan
jurang pun semakin melebar dan dalam
antara titik permulaan dan titik yang telah dicapai oleh sudut penyimpangan. Di sini tampaklah bahwa periode
untuk sampai kepada titik akhir tersebut lebih dekat dan lebih mudah daripada
kembali kepada titik awal. Bahkan, titik awal tersebut tidak lagi terlihat, karena
telah tertutup; tidak saja tertutupi
oleh pemikiran-pemikiran yang
menyimpang tersebut, tetapi juga oleh adaptasi terhadap hasil-hasil penyimpangan. Maka pada saat itu,
fitrah yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta`ala bagi manusia telah menjadi redup
dari pemikiran orang-orang yang menyimpang itu, dan perilaku-perilaku pun
berubah, sehingga neraka jahannam pun siap melahap. Pada saat itu, sungguh
sulit --kalau tidak dikatakan mustahil-- akan adanya pahala, kecuali dengan
rahmat Allah Subhanahu Wa Ta`ala.
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta`ala
telah memperingatkan kepada manusia secara keseluruhan, dan kepada kaum
muslimin secara khusus, dari menyalahi
manhaj-Nya, dengan melakukan
penyimpangan secara bertahap menuju kepada kesyirikan terhadap-Nya,
wal `iyadzu billah, yaitu dengan
mengikuti orang-orang kafir yang selalu berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menghilangkan manhaj Allah Subhanahu Wa Ta`ala dari muka bumi ini,
padahal mereka tidak akan berhasil. Di
antara bentuk-bentuk peringatan tersebut adalah seperti firman Allah `Azza Wa
Jalla:
“Janganlah
orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu).“ (Ali Imran:28)
Dari
ayat yang mulia ini, kita bisa merasakan betapa
jauhnya seorang muslim dari Allah Subhanahu Wa Ta`ala, tatkala dia
menjadikan orang-orang kafir sebagai idola dan panutan bagi dirinya. Pada saat
itu, terputuslah hubungan antara seorang
manusia muslim dan Rabbnya, antara
Khaliq (Pencipta) dan makhluk-Nya, antara seorang hamba dan Dzat yang
paling berhak untuk diibadahi. Di saat berakhirnya hubungan itu, berakhir pulalah dari sisi pribadi tersebut,
ikatan hakimiyah dan ubudiyah kepada Allah,
untuk memasuki ubudiyah kepada
individu, dan di bawah kekuasaan serta pengaturannya. Di sini,
berbolak-baliklah selera tuhan yang berbentuk manusia itu, yang selalu berusaha untuk melanggengkan
rantai kekuasaan dan kepemimpinannya
terhadap leher orang-orang yang digiring
untuk menghambakan diri kepadanya, dan mengakui akan hakimiyahnya. Maka,
orang-orang yang meninggalkan hakimiyah
dan ubudiyah kepada Allah, menuju
ubudiyah kepada makhluk-makhluk yang
seperti mereka itu, tidak mampu
memenuhi keinginan-keinginan pihak yang menjadikan mereka itu sebagai
ilah-ilah selain Allah. Dengan keadaan ini,
pribadi tersebut --dari sisi dirinya saja-- benar-benar telah terputus
hubungannya dengan Khaliq (Pencipta)nya.
Sesungguhnya terputusnya hubungan
tersebut antara seorang hamba dan Penciptanya, yang dilakukannya secara sadar,
hanyalah merupakan suatu akibat dari kesyirikan seorang hamba tersebut
terhadap Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Dalam kaitan ini, kita melihat akibat yang wajar itu, yang telah diketahui
oleh hamba tersebut sebelum dia
melakukan syirik terhadap-Nya, namun
pura-pura tidak mengetahuinya,
suatu akibat yang terambil dari firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia
mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah , maka sesungguhnya ia
telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’:116)
Syirik
ini adalah akibat dari menjadikan manusia sebagai Ilah selain Allah, yang disembah melalui apa-apa
yang disandarkan kepadanya berupa
undang-undang dan ajaran-ajaran yang menyalahi syari’at Pencipta mereka, yaitu
Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Mereka yang
menyandarkan diri kepada Islam namun mengikutsertakan manusia seperti mereka
dalam syari`at Allah, terkena apa-apa
yang telah Allah kenakan tehadap
orang-orang sebelum mereka dari ummat
Yahudi dan Nasrani, seperti yang difirmankan Allah:
“Mereka
menjasikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain
Allah.” (A-Taubah:31)
Hal
itu karena orang-orang Yahudi dan Nasrani
tersebut menyembah pendeta-pendeta dan
rahib-rahib mereka dengan cara meninggalkan Kitab-Kitab yang diturunkan oleh
Allah kepada mereka, lalu menerima apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan bagi
mereka oleh pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Sesungguhnya penghalalan
dan pengharaman itu merupakan hak
prerogatif Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Oleh karena itu, di saat seorang manusia
berfikir untuk melakukan perbuatan ini, apalagi sampai dia benar-benar melakukannya,
maka dia telah menjadikan suatu sifat
ketuhanan bagi dirinya dan orang-orang yang mengikutinya. Syirik ini tidak akan
diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala
, walaupun Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya kewajiban bagi yang
menyatakan dirinyanya sebagai manusia muslim adalah merenungi dan
mengamalkan firman Allah Subhanahu Wa
Ta`ala:
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain
Allah.’ Katakanlah, ‘ Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah
aku jika berbuat demikian dan tidaklah
(pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An`am: 56)
Sesungguhnya syirik terhadap Allah
--walaupun telah memasukkan pelakunya ke dalam kekafiran yang tidak akan
diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala--tidak
berhenti pada pribadi yang
mengaku memiliki karakteristik ketuhanan
yang paling nyata dan menjadikan
dirinya sebagai Ilah selain Allah bagi manusia. Hal ini akan meluas, meliputi seluruh
masyarakat yang menerima secara sadar
undang-undang manusia dalam urusan kehidupan mereka, seraya
mengenyampingkan undang-undang Allah
Subhanahu Wa Ta`ala. Kerusakan yang terjadi, pada masa kita sekarang ini, merupakan
cerminan dari keadaan yang kami sebutkan di atas. Itu semua tidak lain
adalah akibat dari banyaknya orang yang
menjadikan dirinya sebagai Ilah.
Apabila kekufuran dan kesyirikan tersebut,
baik yang jelas dan terang maupun yang
samar dan tersembunyi, telah menyelusup kedalam tubuh ummat Islam, kita semua wajib mempertanyakan, siapakah
yang telah berperan dalam penanaman kesyirikan tersebut, dan yang telah
menjauhkan ummat Islam ini dari jalan yang telah dipilihkan oleh Allah
untuknya?. Sesungguhnya tanggung jawab dalam persoalan ini, pada hakikatnya
dipikul oleh seluruh kaum muslimin yang
telah membaca Kitabullah dan mengetahui akan isi kandungannya. Tanggung jawab
tersebut dimulai dari kalangan ulama` dan guru-guru kita yang berdiam diri dari kemunkaran tersebut dan
bahkan menyokongnya, sampai kepada setiap individu yang membela dan
mempertahankan undang-undang buatan
manusia, dan pemahaman-pemahaman impor yang bertentangan dengan syari`at Allah,
kemudian menerapkannya dalam kehidupan mereka. Di antara mereka terdapat
guru-guru di sekolah-sekolah dan dosen-dosen di universitas-universitas. Sebab,
dengan perbuatannya tersebut, mereka telah ikut berperan dalam menghancurkan
hukum Allah Subhanahu Wa Ta`ala, yang tercermin dalam syari`at Islam, dan
juga mereka tidak berupaya untuk
menjaganya, sebagaimana mereka menjaga hara-harta milik mereka sendiri, yang
itu semua sebenarnya juga merupakan bagian dari karunia Allah Subhanahu Wa Ta`ala terhadap mereka.
Sesungguhnya syari`at Islam ini akan
tetap tegak, walaupun musuh-musuh Allah Subhanahu Wa Ta`ala dan antek-anteknya
selalu berupaya menghancurkannya.
Sementara waktu, mungkin saja dia hilang, tetapi suatu ketika dia pasti akan kembali lagi.
Sebab, ajaran-ajaran yang mereka anut yang bukan berasal dari perintah Allah
itu, niscaya akan hilang. Faktor
penyebab hilangnya pegangan
mereka tersebut adalah ketidakkokohan fondasinya. Yang akan tetap kokoh berdiri
sampai hari kiamat hanyalah yang kokoh
fondasinya. Itu berarti tidak akan ada yang berkondisi seperti itu kecuali syari`at Islam. Dalam
kaitan ini, Imam Al Ghazali rahimahulah pernah berkata:
“Ketahuilah, syari’at Islam itu
adalah fondasi, dan raja atau penguasa
itu adalah penjaga. Setiap yang tidak ada
fondasinya pasti runtuh, dan
setiap yang tidak ada penjaganya pasti
hilang.” (Hasan Al Banna, 1410 H. / 1989 M., halaman 233)
Ketidakpedulian kita semua, apakah
dari kalangan ulama` ataukah dari para pemikir ummat ini, telah mencapai
puncaknya. Hal itu tampak dari sikap
kita yang meninggalkan kajian terhadap
Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu `alaihi wasallam, tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
seluruh aspek pengetahuan dan keilmuan, yang mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang muslim. Di sini, kami mengingatkan diri kami dan
saudara-saudara kami di jalan Allah bahwa pembahasan atau kajian
terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wasallam merupakan
salah satu bentuk i ibadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta`ala. Sebab,
“bertafakkur atau merenungi
ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta`ala,
memikirkan tentang alam raya yang
terbentang luas ini, dan menyelidiki
hasil-hasil kreasi-Nya --saat mengerakkan alam raya ini-- adalah ibadah,
bahkan termasuk dari inti ibadah, juga
suatu bentuk dzikir terhadap Allah Subhanahu Wa Ta`ala, bahkan inti dari dzikir terhadap Nya.
Kalaulah ilmu alam atau pengetahuan ini --yang memang
mengkaji atau menyelidiki tentang
penciptaan alam ini, hukum-hukum dan peraturan-peraturannya,
kekuatan-kekuatan dan kandungan-kandungannya, rahasia-rahasia dan
kemampuan-kemampuannya-- terkait dengan dzikir terhadap pencipta alam raya
ini, dan perasaan akan keagungan dan karunia-Nya, niscaya akan berubah secara
otomatis menjadi suatu bentuk ibadah terhadap pencipta alam raya ini, dan akan
tegaklah kehidupan dengan bantuan ilmu-ilmu tersebut, serta menuju kepada Allah
Subhanahu Wa Ta`ala. Namun, kecenderungan materi yang kufur memutuskan
ikatan antara alam raya ini dan
penciptanya, antara ilmu-ilmu alam ini
dan hakikat yang kekal lagi abadi. Maka, berubahlah ilmu tersebut --pemberian
Allah yang paling indah kepada manusia--
menjadi suatu laknat atau adzab yang akan mendepak manusia dan mengantarkan kehidupannya ke
neraka yang pedih, kehidupan yang mencekam dan menakutkan, dan menuju
kekosongan ruhani yang akan mengeluarkan
dan mengusir manusia itu sendiri sebagaimana terusirnya Iblis yang sombong
(dari surga).” (Sayyid Quthb, 1406 H. / 1986 M., jilid I, halaman 539)
Pada
hakikatnya, hal ini berlaku untuk
seluruh cabang ilmu pengetahuan tanpa kecuali.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
tidak adanya negara Islam pada saat ini tidak berarti kaum muslimin dimaafkan untuk tidak
menerapkan syari`at Islam ini. Apabila para ulama` tidak mampu menerapkan syari`at Islam ini, minimal, mereka harus menjelaskan hubungan
syari`at Islam ini dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang mereka
geluti. Dengan penjelasan-penjelasan
tersebut, mereka telah meletakkan batu
pertama dalam mengarahkan saudara-saudara mereka kaum muslimin, untuk membuang
kesyirikan, dan mengakui uluhiyah Allah
Yang Maha Esa, dan selanjutnya menerima
kepempinan-Nya.
Agar
insan muslim dijauhkan dari siksa yang abadi baik di dunia maupun di
akhirat, sebagai akibat dari kesyirikannya terhadap Allah Subhanahu Wa Ta`ala,
karena mereka membangun prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan standar-standar
akuntansi yang menyalahi syari’at Islam,
mereka harus kembali kepada
Kitabullah dan Sunnah Nabi, Muhammad
shallallahu `alaihi wasallam dalam pengambilan kesimpulan hukum bagi
prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan standar-standar akuntansi. Kemudian,
kesimpulan hukum ini harus merupakan suatu terjemahan rinci dan aplikatif bagi
kebutuhan ummat sehari-hari, dan mampu menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan
yang terjadi, dan permasalahan-permasalahannya yang berkembang, sebagaimana
yang telah digariskan atau digambarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala di dalam
Al Qur’an dan di dalam Sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, dan
berikutnya dengan Ijma` para ulama` yang berjalan di atas petunjuk Allah dan
Rasul-Nya tersebut. Dengan itu semua,
kita telah menjauhkan diri dari berhukum kepada “thagut-thagut”
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan
mengkari thaghut itu. Dan syaithan
bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya.” (An
Nisa’:60)
Individu-individu itu sendirilah
yang menjadikan diri-diri mereka sebagai Ilah
yang membuat undang-undang yang menyalahi apa yang diinginkan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta`ala bagi manusia. Maka, di saat ummat terpuruk dalam peribadan
kepada manusia, mereka sesungguhnya
menantang Allah Subhanahu Wa Ta`ala
untuk menurunkan kemurkaan-Nya, dan
supaya diitimpakan kepada mereka seperti yang telah ditimpakan kepada
ummat-ummat yang sebelum mereka. Allah pun lalu mengirimkan laknat-laknat-Nya kepada
mereka, sebagaimana yang telah Dia timpakan
kepada kaum Nabi Nuh, seperti
dalam firman Nya:
“Maka
Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah . Dan
Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu
untuk satu urusan yang telah ditetapkan.” (Al Qamar:11--12)
Juga
sebagaimana yang telah Dia timpakan terhadap kaum Nabi Hud, seperti dalam
firman-Nya:
“Dan
itulah (kisah) kaum `Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Rabb mereka, dan
mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang
(kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah,
sesungguhnya kaum `Ad itu kafir kepada Rabb mereka . Ingatlah, kebinasaanlah
bagi kaum `Ad (yaitu) kaum Hud itu.” (Hud:59--60)
Kesimpulannya adalah, penyimpangan
terhadap syari`at Allah Subhanahu Wa Ta`ala bisa mengeluarkan manusia dari
sebagai seorang hamba Allah, menjadi hamba atau budak manusia. Ini adalah suatu kekafiran yang berhak untuk mendapatkan
laknat dan murka Allah Subhanahu Wa Ta`ala, dan dikeluarkan dari rahmat-Nya. Di
atas itu semua, ada satu hal yang patut untuk kita renungi, yaitu manusia ini sebenarnya
dapat menyenangkan atau membuat Allah
Subhanahu Wa Ta`ala ridla, yakni dengan
tetap berjalan di atas pedoman-Nya. Akan tetapi, mari kita renungkan,
apakah manusia dapat menyenangkan atau menjadikan ridla manusia semisalnya, pemilik sistem-sistem dan selera-selera yang berubah-rubah? Tentu saja tidak. Hal itu karena barangsiapa yang tidak mengetahui batasan-batasan Allah Subhanahu Wa
Ta`ala, sesungguhnya dia sudah pasti
tidak akan mengetahui batasan-batasan
keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungannya, selanjutnya dia tidak
akan mengetahui batasan-batasan ketaatan manusia kepadanya, yang telah
menjadikannya sebagai rabb dan hakim selain Allah Subhanahu Wa Ta`ala, wal `iyadzu billah.
Soal-Soal Ulangan
Bab V:
1. Terangkanlah apa yang dimaksud dengan syari`at
Islam, dan apa tujuannya secara umum?
2. Terangkanlah tentang hak pembuatan
undang-undang, disertai dalil-dalil yang
memperkuatnya dari Al-Qur’an, kemudian jelaskanlah pandanganmu mengenai apa
yang diistilahkan dengan “At Tasyri`atul
Wadl`iyyah” (hukum-hukum positip).
3. Bagaimana pandangan Anda tentang konsep ubudiyah, dilihat dari sisi
praktek nyata, dan apakah asas bagi
pelaksanaan konsep ini?
4. Terangkanlah tentang Al Qur’an dalam
kapasitasnya sebagai sumber yang pertama
dan utama dari syari`at Islam, dilengkapi dengan dalil-dalil dari ayat-ayat Al
Qur’an itu sendiri, yang anda pandang tepat, dan juga penjelasan-penjelasan
dari para ulama` kaum muslimin.
5. Terangkanlah tentang As Sunnah Nabawiyyah dalam kapasitasnya sebagai sumber
yang kedua dari syari`at Islam, diperkuat dengan dalil-dalil dari AlQur’an,
hadits-hadits Nabi, dan ijtihad-ijtihad
para ulama` yang Anda pandang tepat.
6. Definisikan, kemudian terangkanlah apa yang
dimaksud dengan Ijma`, dalam kapasitasnya sebagai salah satu sumber dari
sumber-sumber syari`at Islam, disertai penjelasan mengenai tingkat
penggunaannya dalam pengambilan hukum syar`i, diperkuat dengan dalil-dalil dari
Al Qur’an, As Sunnah, dan ijtihad para
ulama` yang Anda pandang tepat, yang ada hubungannya dengan persoalan Ijma`
ini.
7. Definisikan kemudian terangkanlah apa yang
dimaksud dengan Qiyas dalam kapasitasnya
sebagai salah satu sumber
syari`at Islam, disertai penjelasan
mengenai tingkat penggunaannya dalam pengambilan hukum syar’i, diperkuat dengan
dalil-dalil dari Al-Qur’an, As Sunnah, dan ijtihad serta penjelasan-penjelasan
dari para ulama`, juga disertai beberapa
contoh yang Anda pandang sesuai dengan permasalahan ini.
8. Definisikan tentang hakimiyah dan ubudiyah
melalui penjelasan mengenai isi kandungan syahadatain dan konsekuensi
penerapannya, diperkuat dengan dalil-dalil yang Anda ketahui dari ayat-ayat
AlQur’an.
9. Terangkanlah secara terperinci disertai
contoh-contohnya yang memadai, mengenai akibat-akibat penyimpangan dari syari`at Islam.
10. Jelaskanlah mengenai pentingnya syari`at
Islam sebagai suatu pedoman bagi kegiatan akuntansi, diperkuat dengan
dalil-dalil yang terdapat di dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan ijtihad atau
penjelasan-penjelasan para ulama`, disertai
contoh-contoh praktis keterkaitan antara akuntansi dan syari`at Islam.
11. Terangkanlah
bahwa manusia itu diciptakan di atas fitrahnya, dan terangkan
bentuk-bentuk penyimpangan manusia dari fitrahnya, serta pengaruh hal itu
terhadap akuntasi di masyarakat Islam. Topanglah penjelasan Anda tersebut
dengan dalil-dalil yang Anda pandang sesuai, dari Al Qur’an, As Sunnah, dan contoh-contoh praktisnya.
PASAL VI
PENTINGNYA PEMBATASAN
DAN PENGGUNAAN ISTILAH-ISTILAH
Tujuan-tujuan
pembelajaran :
1. Memahami apa yang dimaksud dengan isltilah ashl dan asas
yang dijadikan sandaran untuk memahaminya.
2. Mengetahui
asas-asas yang wajib dijadikan sandaran
dalam penentuan pokok-pokok akuntansi.
3. Memahami apa yang dimaksud dengan istilah mabadi’, kemudian mengetahui asas-asas yang harus dijadikan sandaran dalam
penentuan prinsip-prinsip akuntansi
dalam masyarakat Islam.
4. Memahami apa
yang dimaksud dengan istilah qa`idah , dan asas yang
dijadikan sandaran dalam
memahaminya dan dalil yang memperkuat
akan hal itu.
5. Menguasai kaitan atau hubungan antara ushul,
mabadi’, dan qa`idah, dan mengetahui
segi-segi keterkaitan antara
ketiganya.
6. Mengetahui
pandangan ulama` Islam tentang akuntansi dan karakternya.
7. Memahami
pengertian ilmu yang bermanfaat dan sumbernya, sebagai suatu asas bagi
pengembangan sains.
Pendahuluan
Sering terlontar dari mulut orang
banyak, dan kita pun sering membaca tentang sejumlah istilah-istilah, tanpa
kita mengerti dan memahami apa maksud
dari itu semua. Padahal, sesungguhnya penggunaan suatu istilah dalam suatu
bidang tertentu harus mencerminkan
hakikat persoalan yang terkait
dengannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jika kita tinggalkan persoalan-persoalan
yang lain, lalu kita batasi kajian kita pada persoalan akuntansi, atau kegiatan
akuntansi, niscaya akan kita dapatkan bahwa banyak kalangan penulis, profesional,
dosen-dosen, serta mahasiswa dan
pelajar yang mempergunakan kata-kata berikut ini, yang seakan-akan sinonim.
Kata-kata itu adalah ushul, mabadi’, dan qowa`id. Penggunaan
kata-kata ini berlaku bagi orang-orang yang berbicara dengan bahasa arab, tetapi permasalahannya tidaklah berbeda
dengan orang-orang yang berbicara dengan bahasa Inggris (atau bahasa yang
lain), yakni mereka mempergunakan kata-kata foundation, principle, dan rule
untuk suatu makna yang sama. Tampak oleh kami, dan ini sangat disayangkan, bahwa penggunaan penulis-penulis Arab
terhadap istilah-istilah tersebut bisa jadi
sebagai akibat dari terjemahan mereka
dari istilah-istilah yang terdapat di dalam buku-buku yang berbahasa
Inggris.
Pada pembahasan pertama dalam bab
ini, kami akan berupaya --dengan seizin Allah-- untuk menjelaskan asas-asas
penentuan istilah-istilah tersebut. Sebab, persoalan ini akan memberikan
pengaruh terhadap pemahaman kita mengenai persoalan yang ada, dan dasar
permasalahannya. Kemudian pada pembahasan yang kedua, kami akan menerangkan
tentang sikap para pendahulu kita,
salafus shalih radliyallahu `anhum dari segi
ketelitian ungkapan dan pendefinisian terhadap prinsisp-prinsip
akuntansi. Berdasarkan pembahasan pertama dan kedua, kita akan beralih ke bab VII, untuk membicarakan tentang
prinsip-prinsip akuntansi sebagaimana yang kami pahami, bukan sebagaimana yang
ada sekarang , yang bercampur baur
antara ushul, mabadi’, dan qawa’id.
Bab VI ini merupakan pengantar untuk pelajaran pada bab VII, namun bab ini dan bab V merupakan asas dalam mengambil kesimpulan hukum dan memahami mabadi’ dan qawa`id akuntansi, sebagaimana
yang harus kita pahami menurut pandangan
Islam, melalui sistem Islam yang tercermin dalam syari`at Islam beserta
sumber-sumber pengambilan hukumnya yang empat, yaitu Al Qur’an, As Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Pemahaman ini tentu saja
berbeda dengan pemahaman yang diinginkan oleh sistem-sistem non-Islami.
Kami memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta`ala pertolongan dan petunjuk
atas ijtihad kami ini.
Pembahasan
Pertama
Asas-Asas
Penentuan Istilah
Telah kami sebutkan pada pendahuluan
bab ini bahwa banyak dari kalangan
penulis yang mempergunakan istilah mabadi’, ushul, dan qawa`id
untuk makna yang sama. Sesungguhnya studi apa pun terhadap beberapa buku yang
khusus tentang akuntasi dan audit akan menjelaskan permasalahan ini. Sesungguhnya permasalahan
yang harus diketahui oleh para pembaca adalah istilah-istilah ini sebenarnya mempunyai
pengertian yang berbeda-beda. Demikian pula
pengaruh-pengaruhnya juga berbeda-beda. Pengertian-pengertian dan
pengaruh-pengaruh ini, tidak syak lagi tentu akan mempengaruhi pemahaman yang akan diambil oleh para pembaca,
di saat penggunaan istilah-istilah tersebut. Pengaruh ini, sesuai dengan
perannya, tentu akan tercermin dalam penerapan apa-apa yang ada di balik
istilah-istilah tersebut. Yaitu, dari segi ketidakjelasan mengenai mana yang
bersifat primer, dan mana yang bersifat
sekunder. Atau dengan pengertian yang
lain, mana yang pengikut dan mana yang diikuti. Sebagaimana yang telah kami sebutkan, sesungguhnya hal ini
tidaklah terbatas hanya pada pemakai
bahasa Arab, tetapi juga mencakup
pemakai bahasa Inggris. Dan kami, walaupun
memfokuskan pada penggunaan dan selalu menasihatkan penggunaan
istilah-istilah berbahasa Arab, ,juga
mengisyaratkan penggunaan istilah-istilah yang serupa dalam bahasa
Inggris, dengan tujuan memudahkan perbandingan dan agar dapat merujuk kepada referensi-referensi
aising tersebut bagi siapa yang menghendakinya. Kami pun memohon kepada Allah
Subhanahu Wa Ta`ala petunjuk dalam menjelaskan permasalahan ini, yang
menurut pandangan kami sangat signifikan.
Buku-buku
akuntasi dan buku-buku audit sering sekali mengungkapkan kepada kita, kata-kata
al ushulul muhasabiyyah (pokok-pokok
akuntansi), al mabadi’ul muhasabiyyah (prinsip-prinsip akuntansi), dan al
qawa`idul muhasabiyyah (kaidah-kaidah akuntansi). Pada hakikatnya
ungkapan-ungkapan ini, walaupun dipergunakan untuk menunjukkan persoalan
tertentu, bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan persoalan itu sendiri. Ada
sejumlah perbedaaan mendasar pada maksud
hakiki setiap ungkapan tersebut, atau pada setiap istilah itu.
Al
Ashl
Kita mulai pembicaraan kita pada kata atau
istilah ashl yang bentuk jamaknya adalah ushul. Kata ini oleh para penulis Arab dan yang
lainnya dipergunakan dalam kapasitasnya sebagai sinonim dari kata mabda’
dan qa’idah. Sebagaimana juga
salah satu kamus Arab-Inggris
yang ada menjelaskannya sebagai berikut : “ushul: mabadi’, qawa`id, rules,
principles, rudiments, essentials, basics, elements, fundamentals.” (Ruhi
Al-Ba`labaki, 1992, halaman 118). Sesungguhnya bahaya dari kesalahan penggunaan
istilah-istilah tersebut tercermin pada pemahaman maksud dari permasalahan tempat dipergunakannya istilah
tersebut. Tatkala pengertiannya hilang atau
tersamarkan, hal itu bisa mengakibatkan kemungkinan tidak benarnya
penerapan, selanjutnya
mengakibatkan tidak berfaidahnya
apa-apa yang telah diterapkan. Hal itu adalah sebagai akibat dari
ketidakpahamannya akan yang semestinya, dari satu sisi, dan dari sisi yang
lain karena tidak berhasil keluar dengan
hasil yang telah diperkirakan sebelumnya. Sebagai contoh, di sini akan kami kemukakan sebagian
dari apa yang terdapat pada
referensi-referensi akuntasi dalam bahasa Inggris, yang mengetengahkan
istilah-istilah ushul, mabadi’, dan qawa`id dalam sifatnya sebagai suatu
sinonim, yaitu:
Generally Accepted Accounting Principles
GAAP “may be defined as the rules and
practices necessary at a particular time that represent accepted accounting
principles and practices. Accounting principles encompass unwritten rules and
written rules. The written rules are commenly referred to as a promulgated
GAAP.” (Bailey, 1994, P3.03)
Definisi
yang lain mengatakan:
“According to the accounting terminology,
bulletin no 1 of the AICPA, principle is defined as “A general law or rule
adopted or professed as a guide to action, a settled ground or basic of conduct
or practise”, (Walk et al, 1989, P 118).
Kerancuan di antara istilah-istilah ini diungkapkan
oleh salah seorang penulis Barat sendiri, dia berkata:
“There is apparently much confusion about the
sources of generally accepted accounting principles. Althought it would be
convenient to have a single authoritative source at GAAP, it now exists in a
wide variety of publications in the form of standards, conventions,
assumptions, principles, rules and so forth, all of which are referred to as generally
accepted accounting principles”, (Bailey, 1994, P3.03).
Sesungguhnya istilah atau kata ashl maknanya adalah asfalusy syai’ (sesuatu yang paling
bawah), dan bentuk jamaknya adalah ushul. Sedangkan ashula seperti karuma, yang maksudnya adalah shara
dza ashl (menjadi mempunyai dasar),
atau tsabata wa rasukha ashluhu (menjadi kuat dan kokoh dasarnya). (Al
Fairuz Abadi, 1407 H. / 1987 M., halaman 1242)
Dari sini dapatlah kita lihat bahwa ashl
adalah asas yang tidak lagi bersandar kepada suatu apa pun
dalam asas keberadaannya, bahkan dia adalah asas bagi apa-apa yang ada
sesudahnya. Dalam gambaran yang lebih terperinci, maka ushul adalah
bentuk jamak dari ashl, yang maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang
dibutuhkan dan dia sendiri tidak membutuhkan yang lain. Sedangkan secara syar’i
atau menurut istilah agama, ashl adalah
apa-apa yang di atasnya dibangun sesuatu selainnya, dan dia tidak
dibangun di atas yang lainnya. Ashl
adalah sesuatu yang telah tetap hukumnya dengan sendirinya, dan di atasnya dibangun selainnya. (Ali bin Muhammad Al Jurjani, 1408
H. / 1988 M., halaman 28)
Berdasarkan penjelasan
tersebut, kita dapat merasakan
bahwa penggunaan ungkapan al ushulul
muhasabiyyah (pokok-pokok akuntansi) tidak boleh digunakan untuk pengertian
yang digunakan sebagai sinonim dari mabadi’
dan qawa`id. Sebab, kata mabadi’ dan qawa`id tersebut
benar-benar berbeda dengan kata ushul, bahkan kata mabadi’ itu
sendiri pada dasarnya harus bersandar kepada ushul. Mabadi’
tersebut pada dasarnya bukanlah ushul, akan tetapi dia tumbuh dari ushul,
atau bersandar dan bertopang kepada ushul. Dan ushul yang harus dijadikan sandaran oleh mabadi’
muhasabiyyah (prinsip-prinsip
akuntansi tersebut adalah syari`at Islam. Maka, tempat berpijak yang
utama, dan sumber pensyari`atan (hukum) bagi mabadi’ tersebut adalah syari`at Islam, dalam kaitannya dengan
masyarakat Islam. Sebagai contoh, apabila kita memperhatikan Al Qur’an, As
Sunnah dan bahasa Arab, maka niscaya akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an itu
adalah ahsl dalam hukum Islam, dan
kaidah dalam pengambilan suatu kesimpulan darinya adalah dengan
penggunaan ilmu riwayat yaitu As Sunnah, dan ilmu dirayah yaitu bahasa.
Akuntansi
dipergunakan untuk membantu
terwujudnya tujuan utama yang sudah jelas dan pasti, yaitu tugas
kekhalifahan, maka bantuan akuntansi bagi terwujudnya tujuan tersebut haruslah
bersandar kepada prinsip-prinsip tertentu, yang pada akhirnya dapat menolong manusia untuk mengetahui hasil-hasil kekhalifahannya di muka bumi ini,
dan untuk menggunakannya sesuai dengan tugas kekhalifahannya itu. Apabila
akuntansi itu memang dapat membantu
manusia untuk mengetahui hasil-hasil kekhalifahannya, akuntansi harus bertitik tolak dari sumber syarat-syarat kekhalifahan itu sendiri dan mengikutinya. Maksudnya adalah kekhalifahan
dan akuntansi tersebut haruslah mengikuti syari`at Islam. Apabila manusia,
dalam rangka mewujudkan tugas
kekhalifahannya, bersandar kepada kebenaran ini dan kewajiban-kewajiban dari
syari`at Islam yang mengiringinya, maka lebih utama lagi dalam penggunaan
akuntansi tersebut, haruslah
bersandar kepada syari`at Islam,
karena akuntansi keuangan mengikuti fungsi
kekhalifahan. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan oleh Imam Al Ghazali rahimahullah, beliau berkata: “Ketahuilah bahwa
syari`at itu adalah ashl (asas) , sedangkan raja atau penguasa adalah
penjaga. Setiap yang tidak ada asasnya niscaya runtuh, dan setiap yang tidak
ada penjaganya niscaya hilang.” (Hasan
Al Banna, 1410 H. / 1989 M., halaman 233)
Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa
asas akuntansi keuangan tersebut
syari`at Islam, dan inti serta tempat berpijaknya terkandung di dalam tugas kekhalifahannya.
Karena, Allah-lah yang telah menjadikan manusia itu sebagai
khalifahnya pada kerajaan (alam dunia) ini yang telah Dia mudahkan untuk
melayani manusia tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ushul
(asas-asas) yang menentukan dan mengarahkan penggunaan akuntansi ini senantiasa
menjadi efektif selama berlangsungnya tugas kekhalifahan tersebut,
dan akan
berakhir pada saat berakhirnya tugas kekhalifahan yang dititipkan
kepadanya saat Allah mewariskan dunia
ini dan seluruh yang ada di atasnya.
Maksudnya adalah ushul (asas-asas) akuntansi itu haruslah bersandar
kepada syari`at Islam secara terus
menerus dan sistematis. Atau dengan kata lain bahwa syari`at Islam adalah tempat
berpijak kegiatan akuntansi, dan
merupakan asasnya. Asas-asas akuntansi tersebut bukanlah sistem akuntansi itu
sendiri, akan tetapi merupakan asas yang
menentukan dan mengarahkan sistem
akuntansi tersebut. Ini berarti bahwa sebenarnya tidak ada asas akuntansi itu,
akan tetapi yang ada adalah asas yang menentukan dan mengarahkan kegiatan akuntansi, yaitu asas-asas yang
menjelaskan tentang sistem atau ruang lingkup yang wajib dilalui oleh kegiatan akuntansi.
Problem penggunaan istilah-istilah
tersebut sesungguhnya tidak hanya tersebar luas di kalangan penulis-penulis
yang berbahasa Inggris, tetapi juga
terjadi di kalangan para pengguna bahasa Arab. Hal itu barangkali berpulang
kepada persoalan terjemahan dari buku-buku dari bahasa Inggris ke bahasa Arab.
Sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, sebagian dari penulis yang
berbahasa Inggris menggunakan sejumlah istilah
yang mereka artikan dengan satu
maksud. Padahal pada hakikatnya, istilah-istilah tersebut mempunyai
pengertian-pengertian yang berbeda-beda, dan bukanlah seluruhnya sama. Apabila
kita ambil kata “ashl” misalnya,
kita dapatilah sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya (Ruhi A-Ba’labakki,
1992, halaman 118), bahwa kata ini mempunyai
tujuh makna, atau keseluruhannya merupakan sinonim sebagaimana yang tampak dari susunan
kalimatnya. Apabila kita analisa sebagian dari nama-nama tersebut, maka kita tidak menjumpai bahwa kesemuanya itu
menunjukkan akan suatu zat itu sendiri. Berkaitan dengan kata ashl
tersebut, maka istilah-istilah atau kata : “origin, foundation, dan
fundamental” juga dikategorikan dalam
nama-nama yang semakna dengannya, dan
dipergunakan pula oleh para penulis yang berbahasa Inggris.
Padahal referensi-referensi
kebahasaan menunjukkan makna-makna umum
dan penerapan khusus yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kata yang
dipergunakan. Sebagai contoh adalah kata “origin”, yang dimaksud dengannya adalah : “beginning,
source, the act or fact of arising from something…” [Little et al, 1955,
halaman 1385, kolom 3]. Jadi terjemahan yang dimaksudkan dari istilah “origin”
tersebut adalah : “al bidayah” (awal atau permulaan), “mashdar” (sumber),
tindak tanduk atau hakikat yang tampak atau muncul dari sesuatu”.
Adapun kata atau istilah “foundation”,
maka yang dimaksud dengannya adalah: “The action of founding or building upon a
firm structure; the ground, basis or state
or fact being founded … The solid principle, on which anything (material
or immaterial) is founded” [Ibid, halaman 743, kolom 1]. Di sini kita melihat
bahwa “foundation” itu tidaklah sama dengan “origin” sebagaimana yang
dipergunakan oleh sebagian penulis, atau sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ruhi
Al Ba’labakki’ dalam terjemahannya terhadap kata atau istilah “ashl”. Hal itu
karena kata atau istilah ‘foundation’ tersebut, sebagaimana tersebut diatas,
setelah diterjemahkan bermakna sebagai
berikut:
“Tindakan
yang didirikan atau dibangun di atas asas
yang kokoh; keadaan atau hakikat yang telah selesai pendirian atau
pembangunannya; tanah yang keras dan kuat; asas
yang dengan keberadaannya selesailah pendirian atau pembangunan segala
sesuatu, baik materi maupun bukan
materi.”
Adapun kata atau istilah ‘fundamental’,
yang dimaksud dengannya adalah: “Primary, or original; from which others are
derived. A leading or primary principle, rule, law, or article, which serves as
the ground work of a system ….” [Ibid, halaman 762--763, kolom 3]. Dari definisi
atau penjelasan ini, sekali lagi kita melihat beberapa perbedaan dari yang
sebelumnya. Definisi atau penjelasan yang terakhir ini dimungkinkan
terjemahannya sebagai berikut:
“Asas atau dasar yang dari padanya dibentuk atau didirikan sesuatu yang lain;
prinsip, atau kaidah, atau undang-undang, atau hukum, atau materi pokok atau
dasar yang melayani, sebagai asas kerja
bagi suatu sistem ….”
Apabila kita perhatikan
definisi-definisi dan terjemahan
tersebut, kita dapati bahwa kesemuanya itu tidaklah sesuai dengan definisi kata atau istilah “ashl” yang telah
kita ambil pengertiannya dari buku “At-Ta’rifaat” yang telah kami
isyaratkan sebelumnya. Demikian pula, definisi-definisi yang berbahasa Inggris ini tampak saling
tumpah tindih. Sebab, definisi-definisi
bagi kata-kata atau istilah-istilah Inggris tersebut tidak terperinci
secara detail, dan hanya bersifat umum.
Bahkan, sering kali saling bercampur baur antara satu dan lainnya, sehingga
kadang-kadang tampak seolah-olah kesemuanya itu adalah satu makna, dan pada
waktu yang lain tampak seakan-akan berbeda-beda. Hal ini mungkin bisa diterima
dalam bahasa Inggris, tetapi tidak dapat diterima didalam bahasa Arab.
Kesimpulannya adalah kata ashl yang
bentuk jamaknya ushuul tidak dapat dipergunakan sebagaimana yang telah
terjadi, karena “ashlusy syai’
(asal atau asas sesuatu) adalah ma tafarra`a `anhu (apa-apa yang
menimbulkan cabang darinya)” [Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar
Razi, 1412 H. / 1992 M., juz V, halaman 16]. Makna ini terambil dan merujuk
kepada apa yang terdapat di dalam Al Qur’an, yaitu dari firman Allah Subhanahu
Wa Ta`ala:
“... seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim:24)
Penafsiran
ayat tersebut adalah “asasnya kokoh di
dalam bumi” (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1402 H. /1981 M., jilid II, halaman 96).
Sebagaimana dikatakan pula tafsir kalimat “ashluha tsabit” tersebut
adalah “…kokoh, tinggi dan berbuah,…kokoh tidak tergoyahkan oleh badai apa pun….” (Sayyid Quthb, jilid IV,
1406 H./ 1986 M., halaman 2098).
Penggunaan kata ashl didalam
Al Qur’an berikut tafsirnya, menjelaskan
tentang karakter dari yang dimaksudkan
dengannya, yang tidak sesuai dengan apa
yang telah dipergunakan pada bidang akuntansi dan audit, baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa
Inggris. Makna kata ashl ini telah diperkuat lagi pada beberapa ayat
yang lain di dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah:
“Sesungguhnya
dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka yang menyala.”
(Ash Shaffat:64)
Pengetiannya
adalah “yang tumbuh dari dasar (neraka) Jahannam”. (Muhammad Ali Ash-Shabuni,
1402 H. / 1981 M., jilid III, halaman
36). Diperkuat pula oleh ayat lain:
“Apa
saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya....” (Al Hasyr:5)
Itu
semua menunjukkan bahwa makna ashl tersebut adalah “apa-apa yang di atasnya berdiri sesuatu; sesuatu itu akan ada dengan adanya ashl, dan akan hilang
dan dengan sirnanya ashl”. Pengertian-pengertian ini, seluruhnya berbeda dengan
apa yang dipergunakan oleh sebagian kalangan penulis. Makna ini sendiri,
sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya disini, diperkuat lagi dengan
suatu pernyataan bahwa “sesungguhnya imamah (kepemimpinan) itu adalah ashl (asas)
yang di atasnya tegaklah
kaidah-kaidah agama”, (Al-Mawardi, 450 H., halaman 3). Dari yang telah
disebutkan sebelumnya, kita bisa merasakan bahwa hal ini tidaklah sesuai dengan
apa yang telah biasa dipergunakan oleh sebagian para penulis mengenai makna
kata ashl dalam ungkapan mereka “ushulul muhasabah” atau
“al-ushulul `ilmiyyah lil-muhasabah”.
Menurut kami, hal ini sudah cukup untuk menjelaskan tidak bolehnya penggunaan kata “ashl”,
dan berikutnya kata “al ushulul muhasabiyyah”,
bahkan kami memandang bahwa yang semestinya adalah penggunaan kata mabadi’,
sehingga menjadi “al mabadi’ul muhasabiyyah”. Berdasarkan gambaran yang
telah lalu itu, maka “al ushulul muhasabiyyah” tersebut haruslah
diartikan bahwa sumber rujukan bagi
kegiatan akuntansi itu adalah syari`at Islam.
Pandangan
kami ini juga sesuai dengan apa yang terdapat pada tafsiran mengenai karakter
sistem Islam, yakni “sesungguhnya sistem Islam itu sempurna dan
integral. Maka, hikmah dari bagian-bagian hukum syari`at tersebut tidak akan
dapat dipahami secara benar, kecuali jika dipandang dari karakter sistem itu sendiri, serta
dasar-dasar dan prinsip-prinsipnya.”
(Sayyid Quthb, 1406 H. / 1986 M., jilid II, halaman 882). Hal ini sekali lagi
memperkuat akan pentingnya pembedaan antara ushul dan mabadi’.
Sebab, ushul tersebut hanyalah disandarkan kepada sistem, dan sistem di sini adalah sistem
Islam, karena merupakan suatu
sistem yang berdiri sendiri dan berbeda dengan sistem-sistem yang lainnya.
Sedangkan mabadi’ tersebut, hukum-hukumnya diambil dari ushul, yaitu ushul nizham
(dasar-dasar sistem). Oleh karena itu, dasar-dasar kegiatan akuntansi dalam sistem Islam, yakni
dasar-dasar penyusunan sistem akuntansi
adalah syari`at Islam, dan bahwa mabadi’ muhasabiyyah (prinsip-prinsip
akuntansi) adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diambil dari syari`at Islam. Sebab, “haruslah
diyakini bahwa syari`at Islam itu adalah ashl (dasar).” (Qudamah
bin Ja`far, 1981, halaman 202), sehingga syari`at Islam merupakan sumber utama
dan sumber tetap, dan dari sumber inilah sistem dan ruang lingkup akuntansi
dirancang.
Mabda’
Adapun kata atau istilah mabda’
yang bentuk jamaknya adalah mabadi’
telah dipergunakan oleh banyak kalangan untuk menunjukkan makna ushul. Telah kami jelaskan pada bagian
sebelumnya tentang tidak bolehnya
penggunaan tersebut. Istilah ini juga dipergunakan untuk
menunjukkan makna qawa`id
(kaidah-kaidah) sebagaimana yang telah kami jelaskan pada bagian yang kami sadur dari beberapa referensi
akuntansi yang berbahasa Inggris. Sebagaimana yang akan kami jelaskan kemudian,
kami memandang tidak bolehnya hal tersebut, sebagaimana
halnya bagi istilah ushul. Di antara definisi yang terdapat di sekitar kata mabadi’,
mabadi’ “adalah tempat bergantungnya permasalahan-permasalahan keilmuan, seperti
hasil-hasil penelitian dan ketetapan-ketetapan
mazhab-mazhab. Suatu penelitian
itu memiliki tiga tahapan, yaitu mabadi’,
awasith, dan maqathi`, yang kesemuanya itu adalah premis-premis yang
menjadi tujuan bagi dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi, yang berupa ‘dloruuraat dan musallamaat’,
seperti perputaran dan rangkaian”, (Ali bin Muhammad Al-Jurjaaniy, 1408H –
1988M, halaman 197). ???????
Berdasarkan penjelasan ini,
kita dapat mengambil suatu kesimpulan
bahwa mabda’ tersebut adalah ghayah (tujuan akhir). Hadaf (sasaran)nya adalah mewujudkan suatu hasil. Dengan
demikian, akuntansi bukanlah hadaf (sasaran) atau ghayah
(tujuan akhir) itu sendiri, namun
hanyalah suatu wasilah (sarana ) untuk mewujudkan hadaf. Sasaran
penggunaan akuntansi itu adalah pengukuran untuk mengetahui hasil-hasil
tugas kekhalifahan, yang selanjutnya untuk menentukan zakat, maka mabadi’ itu adalah ghayat (tujuan-tujuan akhir)
yang dijadikan sandaran dalam mewujudkan sasaran, dengan mempergunakan
akuntansi sebagai sarananya.
Apabila kita perhatikan bahasa Inggris,
maka akan kita dapatkan bahwa kata
yang dipakai untuk istilah mabda’ adalah kata principle.
Banyak kalangan yang menggunakan kata principle ini sebagai persamaan
bagi kata-kata yang lain sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya,
namun definisi dan penjelasannya tidak menunjukkan akan hal tersebut. Di antara
definisi dan penjelasan yang ada tentang istilah principle terdapat sebagai
berikut:
“First in rank or importance; 2. Less
definitely : Belonging to the first of highest group in rank or
importance…special eminent.” (Little at al, 1995, halaman 1584, kolom 3).
Terjemahan
dari definisi dan penjelasan-penjelasan tersebut adalah “yang pertama dalam hal
kedudukan dan signifikansi. Dalam
gambaran yang lebih spesifik
lagi, yaitu kelompok yang pertama atau yang paling tinggi kedudukan dan
signifikansinya”. Walaupun definisi dalam bahasa Inggris tersebut tidak jelas, sebagai akibat dari tidak ada
perinciannya, dapatlah dikatakan bahwa
pengertiannya mendekati batasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu mabadi’
adalah: “tempat bergantungnya permasalahan-permasalahan keilmuan…” (Ali bin
Muhammad Al-Jurjani, 1408 H. / 1988 M., halaman 197). Hal itu karena adanya
pernyataan bahwa dia adalah “Belonging to the first or highest group in rank of
importance.” yang maknanya “bahwasanya
dia kembali kepada kelompok pertama atau
yang paling tinggi kedudukan atau signifikansinya.” Menurut perhitungan dan
pemahaman kami, yang dimaksud dengan kelompok tersebut adalah
permasalahan-permasalahan keilmuan yang terkait dengan mabadi’ tersebut.
Kalaulah kami pergunakan kata “ilmu” --sebagai kiasan, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Al Jurjani-- untuk mengungkapkan tentang akuntansi, maka dapatlah dikatakan bahwa akuntansi itu adalah
sesuatu permasalahan yang bersandar kepada mabadi’ tersebut, untuk mewujudkan
tugasnya dalam melayani tugas
kekhalifahan manusia di atas bumi ini.
Mabadi’ ini bukanlah sasaran atau tujuan itu sendiri, akan tetapi
merupakan pemberi petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum, yang sesuai
dengan karakter waktu dan tempat, guna mengarahkan dan
menuntun sarana --yaitu akuntansi-- untuk menunaikan apa yang dinantikan
darinya dalam mewujudkan tugasnya dalam
melayani manusia untuk tugas kekhalifahannya di muka bumi ini. Penyebab keadaannya sebagai pemberi petunjuk yang
bersifat umum adalah pengarahan dan tuntunannya terhadap sarana, guna
mewujudkan pelaksanaan
kebutuhan-kebutuhan ashl, yang karenanya
lahirlah sasaran yang dilayani
oleh akuntansi. Dan ashl ini tercermin
dalam syari`at Islam dan tuntutan-tuntutannya. Dari sini, sekali lagi dapatlah kita melihat
bahwa syari`at Islam itu adalah ashl. Sebagai contoh, ashl ini menuntut
zakat. Pada contoh kita ini,
zakat jadilah sebagai hadaf (sasaran)
yang harus dicapai dan direalisasikan. Sarana untuk mencapai ketentuan besarnya
jumlah zakat ini, dan yang selanjutnya penunaian dan realisasinya, adalah akuntansi, yaitu melalui pengukuran hasil-hasil tugas kekhalifahan.
Sesungguhnya akuntansi itu sendiri
memerlukan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum, agar dapat melakukan
kewajibannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan darinya dan
tercermin dalam penentuan hasil-hasil
penggunaan harta yang diserahkan atau dititipkan kepadanya. Hasil-hasil
ini memungkinkan para penggunanya untuk mengetahui pertumbuhan
yang ada, dan selanjutnya penentuan
besarnya jumlah zakat yang harus ditunaikannya sebagaimana yang dituntut
oleh syari`at Islam, yang merupakan ashl
(dasar) dalam mewajibkan zakat tersebut. Dari gambaran tersebut, maka kita dapat
mendefinisikan makna mabadi untuk
tujuan akuntansi, yaitu sekumpulan petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum,
yang wajib diambil dan dipergunakan untuk mengetahui dasar-dasar umum sistem
akuntansi.
Qa`idah
Adapun istilah qa`idah yang
bentuk jamaknya adalah qawa`id,
sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya, juga merupakan istilah
atau kata lain yang telah dipergunakan untuk menunjukkan makna mabadi’, sebagaimana juga untuk
menunjukkan makna kata ushul. Kami memandang bahwa kata atau istilah qa`idah
ini bukanlah sinonim kata atau istilah mabadi’ maupun ushul,
walaupun kami memandang bahwa di antara
ketiga macam istilah ini terdapat hubungan.
Sebagian kalangan mendefinisikan
istilah qa`idah ini, yaitu: “permasalahan-permasalahan yang bersifat umum, yang dapat diterapkan
pada seluruh bagian-bagiannya.” (Ali bin Muhammad Al-Jurjani, 1408 H. / 1988
M., halaman 171). Penjelasan atau definisi ini datang dengan begitu pasti,
yakni tidak meninggalkan kemungkinan-kemungkinan adanya penafsiran yang
beraneka ragam. Dari penjelasan ini, tampak bahwa qawa`id itu adalah
sekumpulan hukum pelaksanaan yang saling kait mengkait dan terperinci, yang
berkaitan dengan cara penerapan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat
umum, yaitu mabadi’. Penafsiran kami
terhadap definisi qawa`id atau qa`idah, terambil dari penganalogian terhadap pengertian qawa`id dan buhuts
(penelitian) yang wajib diketahui untuk sampai kepada hukum-hukum syar`i. Hal
itu karena ilmu ushul fiqh menurut
istilah syar`i adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan penelitian-penelitian yang
mengantarkan kepada pemanfaatan
hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah melalui dalil-dalilnya yang
terperinci. Atau dalam ungkapan yang lain,
sejumlah kaidah-kaidah atau penelitian-penelitian yang mengantarkan
kepada pemanfaatan i hukum-hukum syar`i yang bersifat amaliyyah melalui
dalil-dalilnya yang terperinci. (Abdul Wahhab Khallaf, 1992 M., halaman 12)
Dari penjelasan atau definisi
ini, kita dapatkan bahwa di sana ada
yang dinamakan dengan ushul, yaitu ushul fiqh. Ushul ini bertujuan mengetahui
hukum-hukum. Hukum-hukum ini dapat dicapai dengan mengetahui kaidah-kaidah yang
menghantarkan kepada hukum-hukum itu. Apabila hal ini kita terapkan dalam akuntansi, niscaya akan kita dapatkan
bahwa ushul (dasar-dasar) akuntansi itu terkandung dalam syari`at Islam. Dan
ushul inilah yang menetapkan atau
menentukan mabadi’ (prinsip-prinsip) akuntansi
yang akan memutuskan pelaksanaan akuntansi dalam tugasnya. Maksudnya
adalah mabadi’ itu adalah hukum-hukum
amaliyah yang wajib diikuti dalam
pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya. Dalam perealisasiannya, mabadi’ ini bersandar
kepada kaidah-kaidah yang terperinci, sehingga dapat diketahui kejelasan hukum-hukum tersebut, yakni mabadi’
yang berupaya untuk menjelaskan sistem yang wajib dilalui oleh akuntansi
guna melayani tugas kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Demikian juga bahwa tugas kekhalifahan ini dan apa-apa
yang mengiringinya, berupa penggunaan
akuntansi untuk membantu terwujudnya tugas kekhalifahan tersebut, keduanya
kembali kepada satu ashl, yaitu
tuntutan-tuntutan syari`at Islam.
Adapun definisi qa`idah dalam bahasa
Inggris, yang dikenal dengan istilah
“rule”, terdapat keterangan sebagai berikut:
“A
principle, regulation, or maxim governing individual conduct. Applied to a
person or thing. The code of discipline or body of regulations observed by a
religious order or congregation. A
principle regulating practice or procedure; a fixed and dominating custom or
habit. … A regulation framed or adopted by a corporate body, public or private,
for governing its conduct and that of its members.” (Little et al, 1955, halaman 1766, kolom 2)
Makna-makna
dan keterangan-keterangan ini dapat diterjemahkan sebagai berikut: “mabda’,
nizham, atau hikmah yang akan menentukan tindak-tanduk individu; dapat diterapkan pada manusia atau benda. Sekumpulan data
peraturan atau kerangka peraturan yang wajib diperhatikan, sesuai dengan ajaran-ajaran agama atau para pemuka agama. Mabda’ (prinsip) yang
mengatur pelaksanaan atau prosuder. Kebiasaaan atau tabiat yang tetap dan mendominasi. Peraturan yang
disusun atau dibangun oleh suatu lembaga, baik yang umum maupun yang khusus,
untuk memudahkan kegiatan-kegiatan dan tindakan para anggotanya.” Di samping
makna-makna dan keterangan-keterangan tersebut, ada juga penjelasan yang lain,
yaitu:
“A principle regulating the procedure of
method necessary to be observed in the persuit
or study of some art or science.” (ibid, halaman 1766, kolom 1)
Keterangan
yang terakhir ini menjelaskan tentang qa`idah tersebut, yakni: “Prinsip yang mengatur prosedur atau cara yang wajib
untuk diikuti dalam pengkajian suatu seni atau ilmu.”
Berdasarkan makna-makna dan
keterangan-keterangan yang berbahasa Inggris tersebut, kita dapat memperhatikan
adanya pengulangan kata mabda’ (principle). Yakni, kata qa`idah itu sering
dipergunakan sebagai sinonim dari kata mabda. Hal ini kami nilai tidak benar.
Maka, sekali lagi kami menegaskan apa yang telah kami simpulkan
sebelumnya, yaitu apa-apa yang terdapat
di dalam buku-buku yang berbahasa Arab, semuanya itu tidak lebih dari sekadar
terjemahan secara harfiyah saja, tanpa memperhatikan akan karakter dan inti dari setiap kata, dari satu sisi, dan dari sisi yang lain tanpa
memperhatikan hubungan dan keterikatannya.
Berdasarkan gambaran tersebut, dan
kaitannya dengan kegiatan akuntansi, kami dapat
mendefinisikan qa`idah tersebut, yaitu:
“sejumlah hukum pelaksanaan yang bersifat rinci dan saling terkait,
berkaitan dengan cara penerapan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat
umum, yaitu mabadi’.” Akhirnya kami
simpulkan pembahasan kami ini dengan suatu pernyataan bahwa akuntansi keuangan
itu mempunyai mabadi’ (prinsip-prinsip), dan mabadi’ ini bersifat umum dan terdiri dari petunjuk-petunjuk pelaksanaan
yang bersifat umum. Melalui petunjuk-petunjuk
pelaksanaan yang bersifat umum itu, dapatlah diketahui asas-asas umum bagi sistem akuntansi. Sistem ini bersifat konstan dari satu sisi, dan sempurna dari sisi yang
lain. Hal ini berarti bahwa mabda’
tersebut bersifat konstan, tidak
tunduk terhadap perubahan-perubahan tempat dan waktu. Hal ini juga bermakna bahwa mabda’ ini bersifat sempurna. Sebagai akibat dari
kekonstanan dan kesempurnaan mabda’, maka
dia terbatas dalam kapasitasnya
sebagai petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum. Mabadi’
(prinsip-prinsip) ini --yang merupakan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang
bersifaat umum-- asas-asasnya
bersandar kepada syari`at Islam. Dengan
demikian, akuntasi ini dapat memberikan kontribusinya melalui
komitmennya terhadap mabadi’ tersebut, dan penyandarannya kepada syari`at Islam
dalam mempermudah perwujudan
tuntutan-tuntutan syari`at Islam dalam tugas kekhalifahan.
Berdasarkan gambaran tersebut, kejelasan, pemahaman, dan pelaksanaan dari
mabadi’ ini --yang bersifat konstan dan
menyeluruh-- kesemuanya itu hanya akan
tercapai melalui kaidah-kaidah yang tercermin dalam sejumlah hukum-hukum pelaksanaan yang
bersifat rinci dan saling terkait,
berhubungan dengan cara penerapan
petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum tersebut (yaitu mabadi’)
secara terpisah bagi tiap-tiap mabda’ (prinsip), dan secara bersama-sama
(simultan) untuk seluruh mabda’ tersebut pada akhir pelaksanaannya. Yaitu,
dengan memperhatikan keadaan-keadaan
khusus dan kondisi-kondisi riil yang terkait dengan hubungan transaksi keuangan
dengan kegiatan akuntansi.
Pembahasan
Kedua
Ketelitian
Salaf dalam Ungkapan
Sungguh sangat memalukan jika kaum muslimin
mengambil pengetahuan-pengetahuan mereka dari sumber-sumber non Islam,
seraya meninggalkan bangunan indah nan menjulang yang ditinggalkan oleh para
pembesar-pembesar ulama’ mereka dalam
berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini tentu saja tidaklah berarti bahwa kaum muslimin tidak boleh meneliti dan mempelajari apa-apa yang telah
ditulis dan dihasilkan oleh kalangan non muslim dalam berbagai disiplin ilmu
dan seni. Bahkan sebaliknya, seorang
muslim wajib mempunyai pengetahuan yang luas, dan meneliti serta mempelajari ilmu-ilmu dan
karya-karya yang dihasilkan oleh kalangan non muslim tersebut. Bahkan,
penelitian dan pengkajian itu --pada hal-hal yang tidak menyentuh aqidah Islam
dan tidak bertentangan dengannya-- wajib untuk diambil manfaatnya, sepanjang hal itu akan membantu pengembalian
kebangkitan dan kemajuan ummat serta memudahkannya dalam merealisasikan tugas
manusia sebagai khalifah Allah Subhanahu Wa Ta`ala di muka bumi ini. Hal itu
karena kesemuanya ini disyari’atkan kepada kita. “Sesungguhnya penyebutan hal-hal yang tidak
berkaitan dengan agama seperti permasalahan-permasalahan “kedokteran”, “aritmetika”
murni, yang mereka sebutkan padanya kesemuanya itu dan tulisan-tulisan
orang-orang yang mengambil dari mereka seperti ‘Muhammad bin Zakariyya Ar Razi
dan Ibnu Sina dan dokter-dokter zindiq yang lain --yang tujuan akhir dari
kesemuanya itu adalah mengambil manfaat dari peninggalan-peninggalan orang-orang
kafir dan munafiq di dalam urusan-urusan dunia-- itu
diperkenankan. Demikian pula
diperbolehkan tinggal di negeri-negeri mereka, serta menggunakan
pakaian-pakaian dan senjata-senjata mereka. Juga diperbolehkan bermu’amalah dengan mereka di muka bumi ini, sebagaimana
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam pernah bermuamalah dengan Yahudi
Khaibar, juga sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan Abu Bakr
Ash-Shiddiq radliyallahu `anhu pernah menyewa Ibnu Uraiqith seorang laki-laki
dari Bani Ad-Diil sewaktu mereka berdua hijrah dari Mekkah menuju Madinah….”
(Ahmad bin Taimiyyah, 1401 H. /1981 M., jilid IV, halaman 114).
Pemanfaatan ini diperkenankan dengan
syarat: Pertama, tidak adanya
contoh pada praktek-praktek penerapan
syari`at Islam dan tuntutan-tuntutannya. Kedua, tidak bertentangan dengan inti
dan bentuk ketentuan-ketentuan syari`at Islam. Hubungan seperti ini, tidaklah
termasuk dalam masalah al wala’
(loyalitas), akan tetapi termasuk
dalam masalah al ijarah (sewa menyewa) sebagaimana judul yang tulis oleh
Imam Bukhari sendiri pada saat menyebutkan hadits tentang Ibnu Uraiqith tersebut.
Sesungguhnya, telah banyak
ulama’-ulama’ kaum muslimin yang tampil
untuk meletakkan dasar-dasar pertama dan utama pada berbagai macam disiplin
ilmu dan seni, di antaranya adalah
akuntansi keuangan. Di antara mereka
adalah adalah Imam Al Qadli Abul
Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al Qurthubi, yang
terkenal dengan julukan Ibnu Rusyd Al Hafid dan meninggal pada tahun 595 H. Demikian pula
Imam Al Hujjah Abu ‘Ubaid Al Qasim bin Salam, yang terkenal dengan julukan Abu
‘Ubaid dan meninggal pada tahun 224 H.
Demikian pula `Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, yang terkenal
dengan julukan Ibnu Khaldun dan telah menulis bukunya pada tahun 797 H.
Sesungguhnya memperhatikan buku-buku
karya para ulama’ kita tersebut dapat
memberikan kekayaan pikiran yang sangat besar bagi setiap penuntut ilmu, khususnya yang
berkaitan dengan materi ilmiyyah dan ketelitian
ungkapan. Akuntansi ini telah berkembang secara nyata di dalam
naungan negara Islam sebagaimana yang
telah kami isyaratkan dalam bab I buku
ini, maka pandangan sekilas tehadap buku Muqaddimah karya
Ibnu Khaldun telah dapat menerangi jalan bagi setiap orang yang perlu
mengetahui jalan dalam memahami ilmu-ilmu pada umumnya, dan akuntansi
pada khususnya yang merupakan topik kajian kita pada buku ini.
Ibnu Khaldun berkata:
“…. Asal pengambilan kata atau istilah diwan adalah untuk
kalangan juru tulis, lalu dikaitkan dengannya kalangan hussab (ahli
hitung menghitung), karena pada hasil
karya para ahli hitung menghitung itu ada suatu bentuk perlakuan terhadap
angka-angka dengan cara penjumlahan dan pembagian, yang hal itu memerlukan
dalil-dalil atau argumentasi-argumentasi yang banyak. Sehingga, menjadi terbiasalah untuk beragumentasi dan melakukan
penelitian. Inilah makna atau pengertian dari akal, wallahu a`lam.” (797 H., halaman 475)
Paragraf yang ringkas ini, yang
dikutip dari Muqaddimah Ibnu Khaldun, memberikan manfaat yang sangat
banyak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan akuntansi. Pertama, dia telah
menggunakan kata hussab. Husaab adalah orang-orang yang bekerja di
bidang hisab sebagaimana
istilah pada masa itu, yang pada saat sekarang
ini dikenal dengan istilah muhasabah (akuntansi), sedangkan orang-orang
yang bekerja dalam bidang muhasabah pada masa sekarang ini disebut dengan muhasibin (para akunting).
Penggunaan lafazh atau kata hussab pada saat itu, merujuk kepada
pembagian ilmu pada masa itu, yang terbagi dalam empat macam, yaitu pertama, `ilmul
mantiq (logika); kedua, `ilmuth thabi`i (ilmu alam); ketiga,
`ilmul Ilahi (ilmu ketuhanan); dan yang keempat, an nazhir fil maqadir
, yang mencakup empat ilmu yang
distilahkan dengan at ta`alim. Ilmu pertama dari at ta`alim
ini adalah `ilmul handasah (teknik); kedua, adalah `ilmul aritmathiqi
(aritmetika); ketiga, `ilmul musiqi (musik); dan yang
keempat adalah `ilmul hai’ah (astronomi). [Ibid, halaman 529)
Lalu, Ibnu Khaldun mengulangi
pembagian ilmu ini seraya berkata, “Ini adalah pokok-pokok ilmu filsafat yang
tujuh macam itu. `Ilmul mantiq merupakan yang terdepan, dan setelah
itu at ta`alim, yang diawali
dengan aritmathiqi (aritmetika), kemudian handasah (teknik),
kemudian hai’ah (astronomi), kemudian musiqi (musik), lalu
thabi`iyat (ilmu alam), setelah itu ilahiyat (ilmu ketuhanan).
Masing-masing dari yang tujuh macam itu ada
cabang-cabangnya. Di antara cabang dari ilmu thabi`iyat (ilmu
alam) adalah ath thib (kedokteran), dan di antara cabang dari `ilmul `adad (angka)
adalah `ilmul hisab…, (dan di antara cabang-cabang ‘ilmu ‘adad’
adalah shina`atul hisab), yakni kegiatan ilmiah dalam penghitungan
angka-angka dengan cara menggabungkan dan memisahkan…. Kegiatan ini adalah sesuatu
yang baru, diperlukan untuk perhitungan
atau kegiatan hitung menghitung dalam muamalat (transaksi bisnis). Orang-orang
telah banyak menulis tentang ilmu ini dan telah menyebarluaskannya ke seluruh
pelosok negeri untuk diajarkan kepada anak-anak. Pendidikan yang terbaik
menurut mereka adalah dimulai dengannya, karena merupakan suatu pengetahuan yang jelas (pasti) dan
bukti-bukti yang tersusun secara teratur dan rapi. Umumnya, ilmu
ini akan menumbuhkan akal yang cemerlang, yang telah terlatih dalam
kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang membiasakan dirinya mempelajari hisab
(ilmu hitung) pada awal pertumbuhannya, maka dia akan terbiasa dengan
kebenaran. Hal itu karena ilmu hisab mengandung shihhatul mabani
(ketepatan rumus-rumus) dan munaqasyatun nafs (argumentasi diri), lalu hal itu akan menjadi akhlaq dan dia akan membiasakan
diri terhadap kebenaran serta komit terhadapnya. (Dan
di antara cabang-cabangnya juga adalah mu’amalat), yakni
menerapkan hitungan-hitungan dalam muamalat yang terjadi diperkotaan dalam perdagangan, untuk menetukan zakat, dan
muamalat-muamalat lain yang memperlihatkan angka.... (Dan di antara cabang-cabangnya juga adalah fara’idl), yakni
suatu kegiatan perhitungan atau hitung menghitung dalam hal meluruskan bagian-bagian
milik orang-orang yang mempunyai hak-hak yang telah tertentu pada harta
warisan, jika jumlah mereka banyak….” (Ibid, halaman 530--536)
Dari nukilan-nukilan yang terdapat di dalam Muqaddimah Ibnu
Khaldun tersebut, dapatlah kami berikan
beberapa catatan, akan tetapi kami hanya
menyebutkan yang penting-pentingnya saja, di antaranya adalah :
1. Ketelitian dalam ungkapan dan definisi.
2. Kata hisab itu dipergunakan untuk
menunjukkan makna atau pengertian yang lebih dari satu. Kata ini juga mencakup
apa yang dicakup oleh muhasabah sebagaimana yang telah kami sebutkan
dalam pembahasan pertama dari bab III.
3. Sesungguhnya hisab itu, dan termasuk
juga di dalamnya muhasabah,
merupakan salah satu disiplin ilmu, menurut pandangan Ibnu Khaldun.
Menurut pandangan kami, sebab dari hal itu adalah kembali kepada hisab itu
sendiri, dan apa-apa yang dikandungnya berupa kaidah-kaidah ilmiah yang
konstan, yang menentukan metode dan
hasil-hasilnya secara tetap dan
tidak mungkin diperselisihkan. Hal ini kebalikan dari muhasabah,
yakni tidak bersifat demikian sebagai suatu asas yang mutlak tanpa
pengecualian.
4. Sesungguhnya muhasabah itu adalah salah satu cabang hisab. Keyakinan seperti
ini masih sangat dominan pada banyak kalangan. Bahkan, pertumbuhan tulisan tentang muhasabah tersebut awalnya terkandung di dalam tulisan tentang hisab, sebagaimana yang terdapat pada buku Pacioli dan yang
selainnya dari kalangan orang-orang yang pernah menulis, baik sebelumnya
ataupun sesudahnya, dari kalangan orang-orang Islam maupun non-Islam. Bahkan, muhasabah
itu dulunya diajarkan pada
kuliah-kuliah yang diajarkan padanya hisab.
5. Sesungguhnya muhasabah (akuntansi) itu
dipergunakan pada muamalat yang terjadi di perkotaan dalam perdagangan, dan untuk
menentukan zakat. Hal ini mengisyaratkan
bahwa penggunaan akuntansi itu telah berkaitan dengan hubungan peradaban,
karena adanya kata-kata (fil mudun) pada hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan perdagangan (al-baya`at), dan untuk menetapkan atau menentukan zakat,
sebagaimana yang telah kami isyaratkan hal ini pada pambahasan kedua dari bab
II.
6. Sesungguhnya akuntansi itu adalah suatu
profesi yang mempunyai karakter khusus, dan membutuhkan latihan. Hal itu
berdasarkan pernyataaan Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa akuntansi itu adalah “shina`ah” (skill), dan
bahwasanya dia adalah “ma`arif mutafattihah” (pengetahuan-pengetahuan
yang terbuka), dan juga perkataaannya “min ahsanit ta`lim `indahum al
ibtida’ biha” (sebaik-baik pengajaran, menurut pandangan mereka, adalah
diawali dengannya).
Berdasarkan catatan-catatan
tersebut, dapatlah kita melihat
pentingnya peran yang telah dimainkan oleh akuntansi itu pada masa
pemerintahan Islam dulu, dan masih
dimainkannya pada masa kita sekarang ini. Sebagaimana kita rasakan pula dari
hal-hal yang terdapat didalam pembahasan
pertama dan kedua dari bab II, tentang perincian-perincian dan hubungan
yang teratur dalam kegiatan kuntansi
tersebut. Semuanya itu diringi dengan ketelitian dalam pemilihan istilah-istilah,
dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dalam pengungkapan tentang akuntansi
dan penggunaannya.
Sesungguhnya permasalahan ini bukanlah
urusan atau perhatian Ibnu Khaldun sendiri, akan tetapi dia juga perhatian seluruh orang-orang sebelumnya, orang-orang yang sezaman
dengannya, dan orang-orang yang
mengikutinya (yang datang sesudahnya). Di sini,
kami sebutkan Ibnu Khaldun
sebagai contoh saja. Sebenarnya
ada lagi beberapa karya tulis yang sudah
mencukupi apa yang kita butuhkan pada masa kita sekarang ini, dari yang telah
dikenal oleh para pendahulu kita. Kita memiliki rujukan dan referensi yang
cukup untuk peletakan dasar-dasar
berbagai macam disiplin ilmu dan seni. Kewajiban kita hanya merujuk kepadanya, dimulai dari Al
Qur’an, lalu menyempurnakannya dengan As Sunnah, kemudian diakhiri dengan melihat kepada karya-karya
yang telah ditulis oleh para pendahulu kita yang mencintai ilmu dan dicintai oleh ilmu karena
keikhlasan mereka terhadapnya. Hal itu karena syari`at Islam itu adalah sumber
dari seluruh ilmu. Jika kaum muslimin
menghasilkan sebagian dari ilmu ilmu tersebut, tidak syak lagi akan kita dapati sumbernya di dalam syari`at Islam, khususnya
di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Hal ini berarti menunjukkan kebenaran ilmu-ilmu tersebut, karena “yang
dikatakan ilmu itu adalah sesuatu yang tegak
di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat
adalah yang datang dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam. Bisa jadi suatu ilmu itu datang dari selain
Rasul, akan tetapi tentu saja pada permasalahan-permasalahan “keduniaan”
seperti kedokteran, berhitung, pertanian
dan perdagangan”. (Ahmad bin Taimiyyah, 1401 H. / 1981 M., jilid XIII, halaman
136). “Sebab, inti kebaikan itu adalah
memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta`ala dalam menuntut ilmu
yang diwariskan oleh Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Itulah yang paling
berhak untuk dinamakan ilmu. Sedangkan yang selainnya, bisa saja dikatakan
sebagai ilmu tetapi tidak bermanfaat,
atau bukanlah suatu ilmu, walaupun dinamakan ilmu. Apabila dikatakan
bermanfaat, maka di dalam
warisan Muhammad shallallahu `alaihi wasallam pasti ada yang
mengantikannya, yang serupa
dengannya dan lebih baik daripadanya.”
(Ahmad bin Taimiyah, 1401 H. / 1981 M., jilid
XV, halaman 664)
Melalui pembahasan ini, kami hanya ingin mengisyaratkan bahwa ulama’-ulama’ kaum
muslimin telah meninggalkan untuk kita warisan keilmuan yang sangat bermanfaat,
dan senantiasa bermanfaat bagi kita untuk pengembangan
ilmu-ilmu, yang sesuai dengan karakter zaman kita sekarang ini dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Demikian juga, merujuk kepada tulisan-tulisan
ulama’-ulama’ kaum muslimin menegaskan bahwa ada banyak
permasalahan-permasalahan yang memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam,
yang tentu saja tidak cukup dibahas
di dalam buku ini. Oleh karena
itu, generasi penerus ummat ini wajib menyelami
perincian point-point penting dan disebutkan secara garis besarnya saja
pada buku ini, sehingga memungkinkan bagi kita untuk melakukan aplikasi dari akuntansi tersebut dalam kerangka teori
yang sempurna dan integral. Sesungguhnya
apa yang kami isyaratkan di sini mengenai Ibnu Khaldun, Abu `ubaid, Ibnu Rusyd
Al Hafid, dan Ibnu Taimiyyah,
hanyalah sekadar contoh yang
terbatas. Setelah itu, tinggallah tulisan-tulisan lain yang khusus tentang akuntansi,
sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al Mazindarani.
Soal-Soal
Ulangan Bab VI
1. Definisikan
kata ashl melalui penjelasan maknanya
secara bahasa.
2. Sebutkanlah kemudian jelaskanlah
asas-asas yang harus dijadikan
sandaran dalam menentukan ushulul
muhasabah (dasar-dasar akuntansi).
3. Terangkanlah maksud dari istilah mabadi’
disertai penjelasan tentang dasar-dasar yang wajib dijadikan sandaran
dalam menentukan mabadi’ muhasabiyyah (prinsip-prinsip akuntansi) di
dalam masyarakat Islam.
4. Terjemahkanlah paragraf berikut ini ke dalam
bahasa Arab, kemudian terangkanlah isi kandungannya sesuai dengan keyakinan
Anda, dengan memberikan sebab-sebab yang dapat menjelaskan atau membenarkan apa
yang Anda nyatakan tersebut:
“Generally accepted accounting
principles may be defined as the rules
and practices necessary at a particular time.”
5. Definisikanlah
kata qa`idah disertai penjelasan mengenai asas yang Anda
jadikan sandaran dalam definisi
tersebut.
6, Terangkanlah secara terperinci mengenai
hubungan antara ushul, mabadi’ dan qawa`id, disertai
penjelasan, apakah kesemuanya itu memang
mempunyai hubungan alamiah yang sama,
ataukah di antara kesemuanya itu ada
hubungan keterkaitan, ataukah kesemuanya
itu saling terpisah antara satu dan yang lainnya dan tidak ada saling
keterikatan sedikit pun juga? Anda harus mengemukakan dalil dan keterangan atas
pandangan-pandangan yang Anda ungkapkan di saat penjelasan.
7. Terangkanlah
tentang kemungkinan bagi kaum muslimin untuk mempergunakan apa-apa yang ditulis oleh kalangan non muslim dalam
bidang-bidang yang bukan bersifat keagamaan, disertai penyebutan dalil dan keterangan yang memadai
atas apa yang Anda ungkapkan.
8. Jelaskanlah
bagaimana dimungkinkan bagi Anda untuk berdalil dengan apa yang ditulis oleh
Ibnu Khadun tentang “hussab”
untuk menerangkan tentang ketelitian
salaf (para pendahulu kita) dalam hal ungkapan.
9. Ibnu Khaldun memandang bahwa akuntansi itu
adalah suatu ilmu, sementara Al
Mazindarani memandang bahwa akuntansi
adalah suatu seni. Apa pandangan Anda terhadap yang mereka katakan? Mana
yang paling tepat menurut Anda? Sebutkan dalil-dalil Anda.
10. Ibnu
Khaldun berkata bahwa akuntansi adalah suatu shan`ah (skill), dan bahwa
mempraktekkannya akan membiasakan manusia untuk berpikir dan bersikap benar.
Terangkanlah pandangan ini, dengan
menjelaskan pandangan Anda terhadap apa
yang dia katakan, disertai dalil-dalil
yang Anda pandang sesuai.
BAB
VII
PRINSIP-PRINSIP
AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Tujuan
Pembelajaran :
1. Memahami
legitimasi muamalat sebagi suatu prinsip
utama yang melandasi seluruh
prinsip-prinsip yang lain, dan seluruh kaidah-kaidah akuntansi.
2. Memahami
isi kandungan yang luas dari
legitimasi muamalat, dan ketidak
terbatasannya hanya pada transaksi bisnis
barang dan jasa, akan tetapi juga mencakup pihak-pihak yang terlibat dalam muamalat,
yaitu para sekutu, atau pemilik, atau para pemegang saham perusahaan, dari satu
sisi, dan orang-orang yang bermuamalat
dengan mereka pada sisi yang lain.
3. Mengetahui
pengertian syakhshiyyah i`tibariyyah (badan hukum) sebagai salah satu
prinsip akuntansi, dan berbagai macam pandangan di seputar perizinan pendirian badan hukum tersebut, dan pemisahannya dari para
penyandang dana.
4. Mengetahui
pengertian istimrariyyah (kontinyuitas) sebagai salah satu prinsip akuntansi, dan memahami pengecualian-pengecualian yang kadang-kadang
menghambat kontinyuitas tersebut.
5. Mengetahui
efek dari prinsip kontinyuitas terhadap
pengukuran hasil-hasil kegiatan, dan standar penentu bagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
6. Mengetahui apa yang diistilahkan dengan muqabalah (matching) sebagai salah satu prinsip
akuntansi, dan memahami keterkaitannya
dengan prinsip-prinsip yang lain.
7. Memahami pengaruh
dari prinsip muqabalah tersebut terhadap kewajiban-kewajiban
perusahaan kepada pihak lain.
Pendahuluan
Pada bab VI yang lalu, kita telah
berbicara mengenai pentingnya penetapan
dan penggunaan istilah-istilah. Kita telah melihat ketidaksesuaian beberapa istilah dengan
tujuan penggunaan istilah tersebut.
Demikian juga, kita telah menjelaskan
makna-makna khusus dari kata-kata atau istilah-istilah ashl, mabda`,
dan qa`idah, berdasarkan apa yang telah
dipergunaan dan kesepakatan para
pendahulu kita yang shalih dari para ulama’ kaum muslimin. Kesimpulan dari bab
VI itu adalah sampainya kita kepada suatu keyakinan bahwa ushulul muhasabah
(dasar-dasar akunatansi) itu adalah manhaj (sistem) yang melaluinya dan
karenanya, dipergunakanlah akuntansi itu. Manhaj tersebut adalah
syari`at Islam. Kita pun telah sampai pada penentuan pengertian al
mabadi’ul muhasabiyyah (prinsip-prinsip akuntansi) yaitu sekumpulan petunjuk-petunjuk pelaksanaan
yang bersifat umum, yang wajib diambil dan dipergunakan sebagai petunjuk
dalam mengetahui dasar-dasar
umum bagi sistem akuntansi. Setelah itu, kita akhiri dengan penjelasan
atau definisi mengenai qa`idah, yaitu sejumlah hukum-hukum pelaksanaan yang bersifat
rinci dan saling terkait, yang berkaitan dengan cara penerapan
petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum, yakni mabadi’.
Berdasarkan gambaran dan penjelasan
di atas, pada bab ini kami akan
melakukan pembatasan dan pengkajian tentang
prinsip-prinsip akuntansi yang akan mencerminkan petunjuk-petunjuk
pelaksanaan yang bersifat umum itu. Sebab, prinsip-prinsip akuntansi ini
merupakan ruang lingkup yang akan
membatasi sistem akuntansi tersebut, dan
juga harus dipergunakan untuk membatasi
kaidah-kaidah akuntansi. Pada bab ini, akan dijelaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Prinsip legitimasi muaamalat.
2.
Prinsip badan hukum.
3.
Prinsip kontinyuitas.
4.
Prinsip muqabalah.
Kami akan menjelaskan mengenai
prinsip-prinsip ini dalam perspektif Islam, yang tentu saja disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan buku ini tanpa perlu
berpanjang lebar dalam hal yang tidak begitu perlu. Kami memohon kepada
Allah Subhanahu Wa Ta`ala taufiq dan petunjuk-Nya.
Pembahasan
Pertama
Prinsip
Pertama
Legitimasi
Muamalat
Sesungguhnya yang dimaksud dengan
legitimasi muamalat adalah sasaran atau sasaran-sasaran aktifitas itu sah menurut syari`at;
transaksi-transaksi, tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang terkait
dengan sasaran kegiatan itu juga sah menurut syari`at; dan sarana yang digunakan untuk menyempurnakan muamalat
itu guna merealisirkan sasaran-sasaran
kegiatan itu juga sah menurut
syari`at.
Sudah merupakan sesuatu yang telah disepakati bersama bahwa
sasaran dari suatu kegiatan itu bermacam-macam dan berbeda-beda, sesuai dengan
perbedaan manhaj (sistem) dan
karakter kegiatan itu sendiri.
Sebab, sistem itulah yang akan menentukan legitimasi sasaran kegiatan itu,
dan berikutnya legitimasi muamalat itu sendiri. Demikian juga, sistem itulah
yang akan menentukan sarana yang harus atau mungkin dipergunakan, atau
kedua-duanya, guna mewujudkan sasaran dan muamalat kegiatan-kegiatan
tersebut. Sistem Islam itu bukanlah sistem buatan manusia, namun merupakan sistem rabbani yang datang dari pencipta manusia, maka tidak
ada perbedaan dalam penentuan dan
pembatasan tentang kegiatan-kegiatan
yang tidak sah menurut syari`at. Penentuan atau pembatasan tentang kegiatan-kegiatan
yang tidak sah menurut syari`at itu
sekaligus membolehkan seluruh
kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak terdapat nash (keterangan) atau
syubhat tentang keharamannya. Sedangkan
pada sistem-sistem buatan manusia, kegiatan-kegiatan yang diperkenankan secara
undang-undang hanya dibatasi oleh karakter
sistem itu sendiri, dan bisa jadi
tidak akan sama walaupun pada sistim-sistim buatan itu sendiri, baik
yang serupa maupun yang hampir serupa. Di samping itu semua, kegiatan-kegiatan
yang diperkenankan secara undang-undang buatan manusia tersebut, bisa jadi
tidak lagi diperkenankan; atau sebaliknya, kegiatan-kegiatan yang tadinya tidak
diperkenankan secara undang-undang bisa saja
menjadi diperbolehkan secara undang-undang, pada masa mendatang, akibat dari perubahan kondisi yang ada, atau
perubahan orang-orangnya.
Sesungguhnya syari`at Allah
Subhanahu Wa Ta`ala itu sangat jelas,
konstan , dan kokoh. Apa yang telah
Allah haramkan, akan tetap haram
sampai hari kiamat; dan apa yang telah Dia halalkan, akan tetap halal sampai hari kiamat.
Hukum-hukum mengenai halal dan haram tersebut bersandarkan kepada syari`at
Islam, baik yang berupa keterangan secara jelas dan tegas di dalam Al
Qur’an dan As Sunah, atau berupa Ijma`
para ulama’ dalam
permasalahan-permasalahan yang baru setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam, atau permasalahan-permasalahan yang mungkin untuk diambil
dalilnya secara qiyas, karena adanya kesamaan penyebabnya, dengan
permasalahan-permasalahan yang telah tetap hukum halal dan haramnya.
Sesungguhnya legitimasi muamalat itu adalah prinsip pokok, yang apabila tidak ada, maka akan batal lah atau tidak
sahlah berpegang dengan seluruh prinsip-prinsip
yang lainnya. Sebab, legitimasi
muamalat itu adalah inti, awal,
dan akhir kegiatan akuntansi. Hal
itu karena legitimasi muamalat
tersebut merupakan bagian dari
permasalahan aqidah Islam, manhaj Islam, sistim hukum dan kehidupan dalam
Islam…. “Dia adalah permasalahan hukum, syari`at (undang-undang) dan kehakiman,
dan dibaliknya terdapat permasalahan
ketuhanan, tauhid dan iman. Inti
permasalahan ini tersimpul pada jawaban kita terhadap pertanyaan ini:
“Apakah hukum, syari`at dan kehakiman itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan
Allah Subhanahu Wa Ta`ala dan undang-undang-Nya, yang telah dipelihara oleh para pengikut agama langit generasi demi
generasi, dan yang telah diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang
mengendalikan pemerintahan sesudah mereka agar berjalan di dalam petunjuk
mereka? Ataukah kesemuanya itu diserahkan kepada hawa nafsu-hawa nafsu yang
selalu berubah-rubah, maslahat-maslahat yang tidak merujuk kepada dasar yang
konstan dari syari`at Allah Subhanahu Wa Ta`ala, dan adat istiadat yang disepakati oleh satu atau
beberapa generasi? Dalam ungkapan yang lain, Apakah uhiyah, rububiyah dan
qawamah itu milik Allah Subhanahu Wa
Ta`ala, di muka bumi ini dan dalam
kehidupan manusia? Ataukah kesemuanya itu atau sebagian dari padanya adalah
milik salah seorang dari makhluk
ciptaaan-Nya, sehingga dia berhak untuk membuat syari`at bagi manusia dalam
hal-hal yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala tidak mengizinkannya? Allah Subhanahu Wa
Ta`ala berfirman bahwa Dia lah Allah
yang tidak ada Ilah kecuali Dia.
Sesungguhnya undang-undang-Nya --yang
telah Dia tetapkan untuk manusia sesuai dengan uhiyah-Nya terhadap mereka dan
kehambaan mereka terhadap-Nya, serta yang telah Dia minta mereka untuk
menyepakatinya dan menjalankannya--
harus menguasai bumi ini, harus dijadikan tempat berhukum oleh manusia, dan harus dijadikan pedoman hukum
oleh seluruh para Nabi dan
penguasa-penguasa yang datang sesudahnya. Allah Subhanahu Wa Ta`ala pun berfirman bahwasanya tidak ada pilih kasih
dalam permasalahan ini dan tidak ada tawar menawar dan pergeseran posisi
sekecil apapun juga. Sesungguhnya tidak
ada harganya, apa-apa yang disepakati
oleh oleh suatu generasi atau suatu
kelompok masyarakat, dari hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah, baik sedikit maupun banyak. Allah Subhanahu Wa Ta`ala juga berfirman
bahwa permasalahan ini, keseluruhannya, adalah permasalahan keimanan atau
kekufuran, atau keislaman dan kejahiliyahan, serta syari`at atau hawa
nafsu. Sesungguhnya tidak ada jalan
tengah dalam permasalahan ini, dan tidak juga perundingan dan perdamaian!
Orang-orang mu’min adalah orang-orang yang berhukum dengan apa-apa yang
diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta`ala,
bukan orang-orang yang merubah-ubahnya walau satu huruf pun atau
mengantinya dengan sesuatu sekecil apa pun. Sedangkan orang-orang kafir dan
orang-orang zhalim adalah orang-orang yang tidak mau berhukum dengan apa-apa
yang telah Allah Subhanahu Wa Ta`ala turunkan. Bahwasanya para hakim atau
penguasa itu bisa tegak di atas
syari’at Allah Subhanahu Wa Ta`ala secara sempurna, sehingga
mereka berada di dalam lingkaran
keimanan; atau bisa tegak di atas syar`at lain yang tidak diizinkan oleh Allah,
sehingga mereka termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang kafir, zhalim dan fasiq.” (Sayyid Quthb, 1406 H. /
1986 M. , jilid II, halaman 888)
Sesungguhnya dasar legitimasi
muamalat itu adalah syari`at Islam, yang sumber pertamanya adalah Al Qur’an.
Dasar legitimasi muamalat ini akan semakin jelas jika kita simak firman Allah
Subhanahu Wa Ta`ala:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang.”(Al Ma’idah:48)
Maksud
dari ayat ini adalah “bagi tiap-tiap ummat itu kami berikan suatu syari`at atau
jalan (pedoman) yang terang dan jelas, yang khusus bagi ummat itu sendiri. Imam
Abu Hayyan berkata, ‘Bagi orang Yahudi ada suatu syari`at dan minhaj, demikian
juga bagi orang-orang Nasrani. Maksudnya
adalah dalam hal peraturan-peraturan atau undang-undang. Adapun dalam
permasalahan-permasalahan aqidah, maka hanya ada satu bagi seluruh manusia,
yaitu tauhid, keimanan kepada para Rasul dan seluruh kitab-kitab, dan hal-hal
yang dikandungnya yang berupa berita tentang adanya tempat kembali dan
pembalasan bagi perbuatan-perbuatan manusia.’” [Muhammad Ali Ash Shabuni, 1402
H. / 1981 M., jilid I:346--347)
Berdasarkan tafsir atau penjelasan ini, kami memandang bahwa bagi kaum muslimin ada
hukum-hukum atau peraturan-peraturan tersendiri dan berbeda dengan
peraturan-peratuan yang khusus untuk para Ahli Kitab tersebut, dan bahwa tidak
diperkenankan bagi kaum muslimin untuk menerapkan hukum-hukum selain dari
hukum-hukum yang datang dari syari`at Islam sebagaimana yang telah Allah
Subhanahu Wa Ta`ala ridlai untuk mereka.
Rahasia dari pentingnya komitmen dengan
syari`at Islam dalam kegiatan akuntansi, di saat menerapkan prinsip-prinsip
akuntansi --yang di antaranya adalah legitimasi
muamalat-- terkandung di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”(Al
Ma’idah:48)
Kebenaran
ini tercermin pada “kedatangannya dari sisi Allah Subhanahu Wa
Ta`ala. Dialah yang memiliki hak
pembuatan dan penurunan syari`at (peraturan-peraturan) dan pewajiban
undang-undang. Kebenaran ini juga tercermin pada isi kandungannya, pada setiap
yang diungkapkannya dan dari permasalahan-permasalahan aqidah dan syari`ah,
pada setiap berita yang dikisahkannya, dan pada setiap tuntunan dan pengarahan
yang dikandungnya…Dia (kitab Al-Qur’an itu) adalah suatu bentuk gambaran yang terakhir
dari agama Allah Subhanahu Wa Ta`ala, dan rujukan yang terakhir di dalam urusan
(agama) ini. Juga merupakan rujukan yang terakhir dalam pedoman hidup, undang-undang manusia, serta sistem kehidupan
mereka, tanpa penyelewengan dan perubahan setelah itu. ” (Sayyid Quthb, 1406 H.
/ 1986 M., jilid II, halaman 902)
Berdasarkan apa yang telah
dikemukakan tersebut, maka orang-orang
yang melakukan kegiatan akuntansi,
dan selain mereka, harus
menolak untuk menjadi pihak
dalam suatu transaksi keuangan apa pun --atau yang bukan transaksi
keuangan namun berimplikasi pada
hasil-hasil keuangan-- yang
mereka pandang menyalahi syari`at Islam,
atau mendatangkan keraguan bagi mereka
karena penyelisihannya terhadap syari`at
Islam. Penolakan ini timbulnya hanyalah
dari asas yang wajib dijadikan rujukan dalam penetapan prinsip-prinsip
akuntansi. Prinsip di sini adalah
legitimasi muamalat itu merupakan asas bagi setiap yang akan datang sesudahnya,
maka hal ini berarti bahwa kita harus mengikuti apa-apa yang telah
disyari`atkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala, berdasarkan firman-Nya:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syari`at (peraturan) dari urusan (agama); maka ikutilah syari`at itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jatsiyah:18)
.Di
sini, kita bisa merasakan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang
akuntan, yaitu keharusan untuk mengikuti dan tidak menyalahi syari`at Allah
Subhanahu Wa Ta`ala. Ayat ini, walaupun ditujukan kepada Nabi Muhamammad shallallahu `alaihi wasallam, dan
memerintahkan beliau agar mengikuti syari’at tersebut karena merupakan jalan
yang terang dan jelas, juga
ditujukan kepada kita, agar kita pun berjalan di atas petunjuknya. Makna
dari ayat ini adalah “kemudian Kami jadikan engkau wahai Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam berada di atas jalan yang jelas dan pedoman yang benar dan
lurus dalam urusan agama. Maka ikutilah apa-apa yang diwahyukan Rabbmu kepadamu
yang berupa agama yang lurus….” (Muhammad Ali Ash Shabuni, 1402 H. / 1981 M.,
halaman 184). Selama tuntunan dan pengarahan ini ditujukan kepada Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam, padahal beliau adalah seseorang yang ma`shum
(terpelihara dari dosa) dan tidak pernah berkata dari hawa nafsunya, maka
alangkah sangat perlunya kita yang sangat banyak salahnya ini untuk meniti
jalan yang jelas dan pedoman yang lurus ini dalam urusan agama.
Sesungguhnya prinsip legitimasi
muamalat itu haruslah tidak dipahami secara sempit, yaitu hanya dari sisi
hubungannya dengan masalah syarat
transaksi keuangan tersebut.
Sesungguhnya penerapan prinsip legitimasi
muamalat itu tidak ada batasnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan akuntansi. Hal itu karena wajib
bagi orang-orang yang melakukan kegiatan akuntansi untuk menolak penyajian
setiap informasi keuangan, apabila diketahui atau timbul keraguan bahwa tujuan dari penggunaannya adalah untuk
penyempurnakan transaksi atau perdagangan yang tidak sah menurut
syari`at. Demikian pula, diwajibkan bagi mereka untuk tidak membenarkan
setiap transaksi keuangan atau tindakan
keuangan atau administrasi, apabila transaksi
atau tindakan tersebut menyalahi
nash-nash (keterangan-keterangan) syari`at, baik secara eksplisit maupun implisit, atau apabila ada keraguan karena transaksi
atau tindakan tersebut mengandung
penyimpangan terhadap tuntutan-tuntutan syari`at Islam. Di samping itu
semua, seluruh kalangan yang berkerja di
bidang akuntansi wajib untuk tidak ikut serta dalam menganalisa atau
menafsirkan atau menyajikan setiap informasi atau data keuangan, apabila
informasi atau data keuangan tersebut
mengandung penyimpangan terhadap tuntutan-tuntutan syar`at Islam.
Apabila orang yang berkerja di bidang
akuntansi itu menjumpai dirinya, karena suatu sebab, harus menyajikan suatu
analisa atau penafsiran atau penyediaan informasi keuangan yang mengandung penyimpangan
dari syari`at Islam, baik secara samar
maupun terang-terangan, bagaimanapun
juga volumenya, maka minimal dia harus
memberikan isyarat atau tanda pada uraian atau tafsirannya terhadap informasi
tersebut. Isyarat tersebut yakni:
1. Hakikat
penyimpangan-penyimpangan itu.
2. Volumenya.
3. pengaruhnya terhadap
informasi itu secara umum.
4. Cara
pencabutan atau penghilangan informasi
yang menyalahi tuntutan-tuntutan
syari`at Islam tersebut.
5 Hasil
terakhir dari informasi yang telah diganti tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar