Kerja Bakti RT/RW02/05
Dusun Banaran Gunung Pati
Desa
Sekaran yang dulunya adalah kawasan pegunungan dengan topografi hutan serta sumber air yang melimpah. Kini berubah
menjadi kawasan komplek Perguruan Tinggi yang di kanan kirinya diramaikan oleh
kehadiran sarana pendukungnya, perumahan warga kini sudah berubah menjadi
kawasan pemukiman bagi mahasiswa. Rupanya keberadaan Unnes sebagai salah satu
Instansi Perguruan Tinggi Negeri Semarang, ikut menyumbang permasalahan
lingkungan yang kian mengendap dan bila tak segera di atasi masalah tersebut
akan semakin parah. Betapa tidak, kawasan yang dulunya berbasis ekonomi agraris
kini sontak berubah ke seputar jasa dan perdagangan.
Deretan
rumah warga yang dulunya cukup jarang dan sederhana kini, menjadi deretan
pertokoan, perumahan padat huni yang merupakan akibat dari pembangunan yang
dilakukan penduduk pribumi dan pendatang yang berlomba-lomba membangun tanpa
memperhitungkan daya dukung lingkungan. Hal yang di timbulkan dari peristiwa
ini adalah berkurangnya daya resap tanah, serta berkurangnya jumlah pepohonan
yang menyebabkan daerah tersebut lebih panas jika di bandingkan dengan daerah pegunungan
yang bertipikal sama.
Meskipun
tipikal perekonomian masyarakat Sekaran, khususnya di wilayah Banaran telah
berubah dari daerah yang dulunya menganut sistem perekonomian agraris menjadi
sistem perekonomian yang berbasis perdagangan dan jasa. Akan tetapi tetap saja
ciri masyarakat jawa yang mempunyai dua prinsip kehidupan yakni rukun dan
hormat ( F. Magnis Suseno ) masih dapat terlihat dalam bentuk kegotong royongan
antar warga masyarakat. yang biasanya terbungkus dalam kegiatan kerja bakti
membersihkan lingkungan. Meskipun sebenarnya bisa di lihat dalam wujud kegotong-royongan
yang lainnya.
Pelaksanaan
bentuk kerjasama antar warga asli dan warga pendatang di Banaran umumnya
menganut cara substitusi yang di maksudkan adalah warga pendatang kebanyakan
tidak ikut terjun langsung dalam proses kerja bakti membersihkan desa, akan
tetapi mereka membayar sejumlah uang yang sebagai ganti tenaga mereka. Jumlah
uang yang mereka bayarkan sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan dengan pihak
berwenang setempat. “Yo ngaten mas nek sing gadhah kos-kosan saking njawi
ngriki biasane nek mboten ndherek kerja bakti nggih nyumbang sakkiate”, “saking
RT mriki nggih mboten meksa, wong biasane nggih sing sok ndherek kerja bakti
nggih sing griyane caket margi”. Begitu ungkap ketua Rt Zainal Abidin, yang
sedang memimpin jalannya kerja bakti waktu itu.
Perihal keadaan tersebut sesuai
dengan teori pranata kebudayaan yang telah kami peroleh. Perubahan pola hidup
masyarakat banaran yang semula dari nasyarakat agraris kemudian berganti dengan
pola hidup pelayanan dan jasa tidak merubah ciri dan pola hidup masyarakat jawa
yang berlandaskan pada sikap rukun dan hormat.
Menurut Franz Magnis Suseno “kekuatan tradisi
tidak dapat dikesampingkan, karena melaksanakan modernisasi sambil meremehkan
tradisi sesungguhnya merupakan sikap anasir keterbelakangan budaya. Sungguh hal
yang sangat bodoh apabila akibat kemunculan pengaruh asing dalam suatu pola
kehidupan bermasyarakat turut serta pola mengubah landasan hidup yang telah
lama dianut.
Sebagai
contoh konkrit kita dapat mengamati pulau Bali. Pulau yang mayoritas memiliki
populasi masyarakat Hindu terbesar di Indonesia tidak lantas merubah sikap
hidup yang telah diwarisi masyarakat dari nenek moyang terdahulu. Akan tetatpi
mereka secara kreatif mengembangkan potensi budaya yang dimiliki sesuai dengan
kemajuan jaman tanpa menghilangkan keaslian corak budaya terdahulu.
Y.B.
Mangunwijaya mengatakan Teknologi bukan lagi semata-mata penerusan lebih
lanjut dari peralatan yang terdapat dalam seluruh taraf kebudayaan melainkan
telah bergerak meloncat ke tangga yang cukup tinggi dalam kapasitas implikatif berupa
kecenderungan untuk mendisposisi tata berpikir, tata kelakuan dan sikap mental
hidup kemasyarakatan. Hubungan timbal balik antara teknologi di satu pihak
dengan kebudayann di lain pihak bergeser kearah kondisi Bargaining Position di
pihak kebudayaan yang makin merosot.
Kegiatan
kerja bakti yang berlangsung di Rt/Rw02/05 Dusun Banaran Gunung Pati menunjukan
bahwa walaupun tidak semua elemen masyarakat terlibat dalam kegiatan tersebut,
akan tetapi mereka menyumbang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Masyarakat Banaran cukup bijaksana menyikapi sikap sebagian warganya yang tidak
ikut bekerja bakti bersama-sama. Dalam hal ini Franz Magnis Suseno mengatakan
Masyarakat Jawa menempatakan individu sebagai sekunder saja, sedangkan
masyarakat sebagai kedudukan primer, sehingga aksi-aksi individu yang dianggap
dapat mengganggu keselarasan umum akan dipandang tidak seharusnya dilakukan.
Selain
itu J.W.M Bakker dan Soerjanto Puspowardojo berkata Kedudukan manusia
dalam pranata sosial kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang,
tetapi sebagai makhluk pribadi, Sementara pernyataan manusia adalah sebagai
makhluk pranata budaya mengandung pengertian bahwa pranata kebudayaan merupakan
dimensi dalam hidup dan tingkah laku manusia.
Mungkin
kini pola kehidupan dan keseharian masyarakat berubah drastis seiring dengan
makin berkembang dan besarnya Universitas Negeri Semarang di Banaran dan
sekitarnya. Prospek ekonomi menguntungkan dari sektor jasa dan pelayanan yang
dibutuhkan oleh kaum intelek dan mahasiswa sebagai pendatang baru dan bermukim
disana mengakibatkan masyarakat enggan kembali menekuni profesi sebagai kaum
agraris yang dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk saat ini. tapi
seiring dengan berbagai hal positif yang ditawarkan, dampak negatif yang
dihasilkanpun tidak kurang banyaknya dari profit yang ada. Banyak bukti nyata
dimana akibat penagruh asing yang muncul dalam masyarakat mengakibatkan
berubahnya tatanan hidup bermasyarakat didalamnya. Sesuai teori yang
dikemukakan oleh Y.B. Mangunwijaya Hubungan timbal balik antara
teknologi di satu pihak dengan pranata kebudayaan di lain pihak bergeser kearah
kondisi Bargaining Position di pihak kebudayaan yang makin merosot
dimana pranata (filsafat) kebudayaan tampaknya kurang berperan dan berwenang
membimbing perkembangan teknologi sejalan dengan merosotnya otoritas otentik
(filsafat) pranata budaya itu sendiri.
Seperti
dikatakan oleh Toynbee yang berasumsi bahwa “Sangatlah besar kerusakan
yang dapat ditimbulkan oleh suatu gagasan, tatanan atau susunan suatu tekhnik
jika itu dilepaskan dari lingkungan asalnya dan memancar keluar dalam
lingkungan masyarakat yang kemudian bentrok dengan pola kehidupan historis
masyarakat setempat dimana setiap pola budaya (teknologi inklusif didalamnya)
merupakan kesatuan organis dengan bagian-baguannya yang saling bergantung satu
sama lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar