Hanya
terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas.Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan
adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi
dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun
juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara
itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah
pemerintahan Hayam Wuruk.
Setelah masa itu, hal yang
terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Keakuratan
semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal
bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana
seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu,
tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan
bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan
catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan
yang tampak cukup pasti.[5]
Sejarah
Berdirinya Majapahit
Arca
Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar,
kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik
Indonesia.
Sebelum
berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling
kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[10] ke Singhasari yang menuntut upeti.
Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir
menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak
wajahnya dan memotong telinganya.[10][11] Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan
ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika
itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas
saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan
diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha,
yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi
kepada Jayakatwang. [12] Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang
hati.[12] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka
hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang
namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah
tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan
pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil
menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya
sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut
karena mereka berada di negeri asing.[13][14] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka
untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu
enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal
pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215
saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah.
Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.
Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra
Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton.[15] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha
lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja,
agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah
kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan
lalu dihukum mati.[14] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra
dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan
Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone
mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh
tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana
dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi
untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah
Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya
untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai
kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Bidadari
Majapahit
yang anggun, arca cetakan emasapsara
(bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman
kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam
Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350
hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya
dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada
(1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut
Kakawin Nagarakretagama
pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua,
Tumasik ( Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina[16]. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus
puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun
demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan
tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit,
tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa
monopoli oleh raja[17]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya
ke Tiongkok.[17][2]
Selain
melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan
diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik,
Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka),
putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[18] Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai
perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan
pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan
dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa
kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan
Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan
gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya
dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan
secara kejam.[19] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa,
dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[20] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah
Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah
ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak
disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama
yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku.
Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda
mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan
Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam
pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan
Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan
Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.[21]
Pada
tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan
serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun
penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan
kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya
adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan
Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim
dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit
Pasukan
Majapahit
Sesudah
mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki
seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406,
antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya
di seberang.
Pada
kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa
kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho
ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota
pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban,
dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara
Jawa.[22]
Wikramawardhana
memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua
Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447,
Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun
1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan
memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga
tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia
kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468
pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat
dirinya sebagai raja Majapahit.[8].
Ketika
Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai
memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh
Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah
kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam,
yaitu Kesultanan Malaka, mulai
muncul di bagian barat Nusantara[23]. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh
ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai
menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya
ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di
daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
Sebuah
tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Singhawikramawardhana
memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha
(bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus
memerintah disana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan
Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan.
Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar
Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat
konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di
pantai utara Jawa.
Waktu
berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun
1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan
berakhirnya suatu pemerintahan[24]) hingga tahun 1527.
Dalam
tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah
tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka,
atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran
bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut
adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana[25].
Menurut
prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan
Kertabhumi [25] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa
ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan
Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[26] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan
anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari
Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan
jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan
Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit[27]. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi
Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad
Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra
raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan
sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan
kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[25].
Demak
memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam
pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa
kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar
seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali.
Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger,
kawasan Bromo dan Semeru.
Kebudayaan
Gapura Bajang Ratu,
gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit.
Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang
yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi
tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan
dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan
bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga,
menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama
menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan
sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama
dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April)
ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana
untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana
terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya;
wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh
pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di
kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[28]
Ibu
kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal
dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan
raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama
sama sekali tidak menyinggung tentang Islam,
akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim
saat itu.[2]
Walaupun
batu bata telah digunakan dalam candi
pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[29]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara
geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit
yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di
Trowulan, Mojokerto.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh
raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik
kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa
mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis
emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China
beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini
selalu berhasil mengalahkannya."
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi
(Pendeta Odorico da Pordenone).[30]
Catatan
yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit
didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan
dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone".
Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan
misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi
Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan
Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu
mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat
lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di
buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama
tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan.
Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala,
dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat
mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol
beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir
kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang
dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi
Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)
Majapahit
merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[17]. Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai.
Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa
kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan
perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit,
sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti
dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada
November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram
digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa
Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[31] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini
tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga
bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan
kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas
ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat
dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[28]
Beberapa
gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari
berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358
menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di
dalam negeri (mandala Jawa).[28] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai
macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak,
hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara
pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi
populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian
semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut
catatan Wang Ta-Yuan,
pedagang Tiongkok, komoditas ekspor
Jawa pada saat itu ialah lada, garam,
kain,
dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya
adalah mutiara, emas, perak,
sutra, barang keramik,
dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak,
timah putih, timah hitam, dan tembaga[32]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone,
biarawan Katolik Roma dari Italia
yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh
dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [33]
Kemakmuran
Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi.
Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian
dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di
pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan
untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku.
Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan
sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[28]
Nagarakretagama
menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang
asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer,
Siam,
dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang
menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan
internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari
India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan
maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa[34].
Struktur pemerintahan
Arca
dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi,
ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.
Majapahit
memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut
tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya [35]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa
di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja
dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi
dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja
memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada
pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
·
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat
putra-putra raja
·
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat
dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam
dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Dalam
pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[14], terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian
timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang
disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi
bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja.
Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan
mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang
mereka pimpin.
Selama
masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12
wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam
pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
2. Nagara: diperintah oleh rajya
(gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau
bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat
sakral.
No
|
Provinsi
|
Gelar
|
Penguasa
|
Hubungan dengan Raja
|
|
1
|
Bhre
Kahuripan
|
Tribhuwanatunggadewi
|
ibu
suri
|
||
2
|
Daha
(bekas ibukota dari Kediri)
|
Bhre
Daha
|
Rajadewi
Maharajasa
|
bibi
sekaligus ibu mertua
|
|
3
|
Tumapel
(bekas ibukota dari Singhasari)
|
Bhre
Tumapel
|
Kertawardhana
|
ayah
|
|
4
|
Wengker
(sekarang Ponorogo)
|
Bhre
Wengker
|
Wijayarajasa
|
paman
sekaligus ayah mertua
|
|
5
|
Matahun
(sekarang Bojonegoro)
|
Bhre
Matahun
|
Rajasawardhana
|
suami
dari Putri Lasem, sepupu raja
|
|
6
|
Wirabhumi
(Blambangan)
|
Bhre
Wirabhumi
|
Bhre
Wirabhumi1
|
anak
|
|
7
|
Paguhan
|
Bhre
Paguhan
|
Singhawardhana
|
saudara
laki-laki ipar
|
|
8
|
Kabalan
|
Bhre
Kabalan
|
Kusumawardhani2
|
anak
perempuan
|
|
9
|
Pawanuan
|
Bhre
Pawanuan
|
Surawardhani
|
keponakan
perempuan
|
|
10
|
Lasem
(kota pesisir di Jawa Tengah)
|
Bhre
Lasem
|
Rajasaduhita
Indudewi
|
sepupu
|
|
11
|
Bhre
Pajang
|
Rajasaduhita
Iswari
|
saudara
perempuan
|
||
12
|
Mataram (sekarang Yogyakarta)
|
Bhre
Mataram
|
Wikramawardhana2
|
keponakan
laku-laki
|
|
Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja. 2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta. |
Sedangkan
dalam Prasasti Wingun
Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi
14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[36] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Saat
Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara
bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai
hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
- Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
- Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk didalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
- Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga
kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi
Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan
diplomatik luar negeri:
- Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[37] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola
kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian
diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu
kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada
perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa
integrasi administratif lebih lanjut.[38] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup
mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki
pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup
luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi
Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi
lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala
ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman;
Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit
Silsilah
wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[39]
Para
penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang
dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar
penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit
menjadi dua kelompok[8].
Nama Raja
|
Gelar
|
Tahun
|
Kertarajasa
Jayawardhana
|
||
Kalagamet
|
||
Sri
Gitarja
|
||
Sri
Rajasanagara
|
||
Dyah
Ayu Kencana Wungu
|
||
Brawijaya
I
|
||
Brawijaya
II
|
||
Purwawisesa
atau Girishawardhana
|
Brawijaya
III
|
|
Bhre
Pandansalas, atau Suraprabhawa
|
Brawijaya
IV
|
|
Bhre
Kertabumi
|
||
Brawijaya
VI
|
||
Warisan sejarah
Arca
pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit
telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara
pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan
Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha
mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit.
Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan
sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar
istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615
yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting
karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki
tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan
keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit,
dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[29]
Para
penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional
di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh
gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik
negara Republik Indonesia saat ini.[17] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia
menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali
dari Majapahit yang diromantiskan.[40]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan
persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan
perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[41] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern
meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa
simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit.
Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih"
atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari
warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga
berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika",
dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur
Sepasang
patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa
Timur (Museum of Asian
Art, San Francisco)
Majapahit
memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo)
berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah
menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura
dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.
Persenjataan
Pada
zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik
pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan
keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris
pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris
yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan
keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke
berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Selain
keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak.
Kesenian modern
Kebesaran
kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi
sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk
menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa
karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Puisi lama
- Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.