Breaking

Rabu, Juni 13, 2012

Adab Interaksi Sosial Dalam Kehidupan Muslim (Adabut
Ta'amul Fil Jama'ah)
Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau
mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar
penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di
bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling
taawun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil
alamin ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk
saling taawun dalam kebaikan saja dan tidak dibenarkan taawun
dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2) Oleh karena itu manusia selalu
memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya, agar tak
tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan
ini amat penting bagi kaum muslimin. Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman (Adz Dzariyat: 55) Bahkan Allah SWT
menjadikan orang-orang yang selalu taawun dalam kebenaran dan
kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al
Ashr: 1-3). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya
dan upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama,
perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan
peluang, momen yang ada. Jika kita berada di bulan Ramadhan maka
bisa melakukan taawun, misalnya dengan saling membangunkan
untuk sahur, mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu selama
menjalankan puasa. Mengingatkan agar jangan menyia-nyiakan puasa


dengan amalan yang dilarang syariat, dsb. Di bulan Syawal, lebih
ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial yang berkelanjutan,
mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk merajut
kembali benang-benang ukhuwah. Tentu saja hari-hari selain itu perlu
kita tegakkan aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan
seruan Islam. 1. Silaturahim Islam menganjurkan silaturahim antar
anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram
ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan
mengkatagorikan tindak pemutusan hubungan silaturahim adalah
dalam dosa-dosa besar. Tidak masuk surga orang yang memutuskan
hubungan silaturahim (HR. Bukhari, Muslim) 2. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan
menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya (HR. Bukhari, Muslim) 3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau
belum. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah ia memuliakan tetangganya (HR. Bukhari, Muslim) Apa saja
yang bisa dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya: -
Menjaga hak-hak tetangga - Tidak mengganggu tetangga - Berbuat
baik dan menghormatinya - Mendengarkan mereka - Mendawahi
mereka dan mendoakannya, dst. 4. Saling menziarahi. Rasulullah
SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi
Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: Ya Allah,
limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin
Ubadah. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim,
Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan
betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup
bermasyarakat. Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada
seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah
menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di
tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak
kemana engkau Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada
seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau
merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya
Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena
Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah
kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena
Allah (HR. Muslim). 5. Memberi ucapan selamat. Islam amat
menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan,
kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan
sarana yang disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa
menggunakan kartu ucapan selamat, mengirim telegram indah,
telepon, internet, dsb. Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu
kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah SWT terhadap para
Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan
surga. Misalnya; Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka
mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya (Az
Zumar: 17). Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan
mendapat putra yang sopan santun (sabar). (Al Maidah: 101),
Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para
sahabatnya semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman
RA, Ali RA, dsb. 6 Peduli dengan aktivitas sosial. Orang yang peduli
dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko
yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta
sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada
asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin
menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak
menampakkan wajahnya di muka khalayak. Seorang mukmin yang
bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih
baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan
gangguan mereka (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad). 7. Memberi
bantuan sosial. Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup
tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk
mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk
menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk
melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang
mendustakan agama. Tahukah kamu orang yang mendustakan agama
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin (Al Maaun: 1-3). BERINTERAKSI
DENGAN NON MUSLIM - Muamalah dengan yang setimpal. - Tidak
mengakui kekufuran mereka. - Berbuat yang adil terhadap mereka
dan menahan diri dari mengganggu mereka. - Mengasihani mereka
dengan rohamh insaniyah. - Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim
dan izzah Islam. Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam
menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan
sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau
buah dari seorang mumin yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah
SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang
menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan ,
menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap
orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka lingkungan kita
akan surplus kebaikan. Dus, defisit keburukan. Sementara yang terjadi
sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang surplus
keburukan. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam
jumlah besar di jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang
meninggalkan hartanya tanpa adanya sistem keamanan yang ketat.
Fenomena seperti orang mudah sekali terprovokasi untuk anarkhi,
mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu menipu dalam
perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap bidang
kehidupan kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini.
Memang sebenarnya negara ini bukan disesakkan oleh jumlah
penduduknya tetapi akhlaq yang buruklah yang menyesakkan dada.
Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan,
sehingga orang mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada.
Seseorang mudah mendapatkan salam dan senyum ketika bertemu
orang lain walaupun belum saling kenal, tidak mudah curiga terhadap
yang lain, banyak orang yang mampu menahan marah, mendapati
orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi kehidupan seperti ini
layaknya kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para salafush
sholeh, dimana banyak orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta,
hanya kerena mengharap ridho Allah SWT semata. Kita masih ingat
kisah dua orang di zaman salafush shaleh, sedang mengadakan
tarnsaksi jual beli sebidang tanah. Tanah telah dibeli oleh seorang
pembelinya dan diolah tanah tersebut, ternyata dia mendapatkan
sebatang emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas dikembalikannya
emas itu kepada si penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah menjual
semuanya apapun didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak
bersedia menerima kembali karena dia hanya bermaksud membeli
tanah. Terjadilah cek-cok saling menolak batangan emas. Akhirnya
diadukan ke qodli, dan diputuskan dengan adil. Orang yang
menemukan emas menikahkan anak laki-lakinya dengan anak
perempuan si penjual tanah, dengan mahar emas tsb. Maka selesailah
masalah. Demikianlah jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan
maka dampaknya, yang akan menikmati hasilnya adalah kembali ke
kita juga. Yaitu sebuah kehidupan yang kita impikan, surplus
kebaikan. Di zaman sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi
dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Misalnya hanya di bualan
Ramadhan saja orang menahan marah, suka shodaqoh, jujur, dsb,
dan setelah itu amalan tersebut langka. Di tempat tertentu misalnya
hanya di seputar Kabah ketika bulan Hajji, di sana sering didapatkan
orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya,
bahkan ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba,
saat menjelang ifthor, banyak warga yang membuka warung makan
dan mempersilakan siapa saja untuk ifthor di sana, gratis! Sungguh
nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap
tempat. Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan
berjalan sebagaimana yang sebelumnya. Untuk itu hanya orang-orang
muminlah satu-satunya manusia harapan untuk menciptakan
peradaban seperti itu. Hai orang-orang yang beriman, rukulah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya
kamu mendapat kemenangan. (Al Hajj: 77). BAGAIMANA ADAB
BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT Dengan atau tanpa dawah,
interaksi dengan masyarakat adalah suatu kemestian sosial. Bagi
seorang muslim untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam
tentu dilakukan dnegan berinteraksi dengan masyarakat. Terlebih jika
dikaitkan dnegan dawah. Karena karakter dawah sendiri harus berbaur
dengan masyarakat (mukholathoh), yaitu dengan mukholathoh yang
ijabi (positif). Dengan demikian thobiah dawah itu adalah dawah
ammah. Dawah khoshshoh bukan merupakan suatu badil (pengganti)
bagi dawah ammah tetapi lebih merupakan unsur penunjangnya.
Karena dawah ammah belum dapat dimunculkan sebagaimana
mestinya. Berinteraksi dengan masyarakat dimulai dari yang terdekat
dengan kita. Kita melihatnya dengan mizanud dawah, sementara sikap
atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah muamalah bimitsli.
Sedangkan sikap taamul dawah adalah amilun naas bimaa tuhibbu an
tuaamiluuka bihi. Bagaimana atau apa yang seharusnya kita berikan
kepada masyarakat A. BERINTERAKSI DENGAN PARA DAI YANG
LAIN Adapun yang dimaksud dengan dai di sini adalah para dai yang
belum indhimam satu shaf dengan kita. 1. Kita memiliki tujuan umum
yang sama yaitu membela Islam dan memajukan ummat. 2. Namun
kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub
(cara kerja). 3. Menjalin kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan
bersikap toleran dalam hal yang ikhtilaf. 4. Menyenangi ijma untuk
mencapai wihdatul fikriyah dan tidak menyenangi nyleneh (syadz).
Karena syadz berbeda dengan ghorib. Syadz tidak punya akar apapun
juga (misalnya adanya pemikiran dari Ahmadiyah yang mengatakan
bahwa semua orang baik kafir atau muslim masuk surga. Atau
pemikiran Gus Dur yang mengomentari ayat; wa lan tardlo ankal
yahud.dst, sudah tak berlaku lagi). Sedangkan grorib adalah pemikiran
yang baik, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat. 5. Toleransi dalam
masalah khilaf dan furu dan membenci tashub. 6. Persoalan apaun
tidak perlu merusak mawaddah di anatara kaum muslimin. Pernah As
Syahid difitnah bahwa Jinah Asykari akan menyerang Jamaah Jihad.
Tentu saja pimpinan Jamaah Jihad marah dan meminta dialog dengan
Asy Syahid untuk mengeluarkan segala uneg-unegnya. Asy Syahid
hanya menjawab dengan sammihuuni, maafkan saya. 7. Khilaf
hendaknya dikaji secara ilmiyah, tidak hanya terhenti sebagai
apologetik (pembelaan) saja. B. BERINTERAKSI DENGAN TOKOH
MASYARAKAT 1. Di tempatkan pada posisinya. Sikap Rasul kepada
Abu Sufyan. Rumahnya dijadikan baitul qoshid. Kedudukannya tidak
direbut tetapi di taziz. 2. Dihormati di tengah-tengah para
pengikutnya. Saad bin Muadz ketika diberikan kehormatan untuk
mengambil putusan hukum atas bani Quraidzah, Rasul SAW bersabda:
Quumuu ilaa sayyidatikum. 3. Sebitkan juga jasa-jasa mereka kepada
Islam. Ketika khalifah di Tsaqifah, pidato Abu bakar sangat bijak. Ia
menyebut-nyebut nikmat Islam, jasa-jasa kaum Anshar dan kebaikankebaikan
Muhajirin. Dengan begitu kaum Anshar ikut mendukung.
Dalam sebuah munasabah, Asy Syahid juga pernah diminta untuk
mengisi acara semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang
memiliki fiqhul mujtama sehingga terjadi konflik dengan ulama di
sekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai konflik
tersebut kepada Asy Syahid sebelum acara dimulai, akhirnya Asy
Syahid mohon ijin untuk mendatangi para ulama di sekitar itu satu per
satu untuk memohon maaf kepada mereka. Setelah itu baru ia
memulai ceramah. Dua per tiga dari isi ceramahnya, menyebut-nyebut
kebaikan dan jasa-jasa para ulama tersebut terhadap Islam. Akhirnya
para ulama mendatangi tempat dimana Asy Syahid berceramah. 4.
Berhubungan dengan mereka dan mendoakan mereka. Rasulullah
menghububgi tokoh Thoif serta mendoakan mereka. Umar Tilmitsani
ketika Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan doa; inna lillahi wa
inna ilaihi rajiun yang membuat ikhwah tercengang. 5. Memperhatikan
kepentingan bersama. Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan,
jangan dari titik perbedaan. Asy Syahid memulai dari point-point yang
sama kemudian mendudukkan point-point yang berbeda. ADABUT
TAAMUL FIL JAMAAH Sesungguhnya jikalau engkau tak bersama
mereka maka engkau tak akan bersama selain mereka. Sekiranya
mereka tak bersama engkau, maka mereka akan bersama selain
engkau. A. DENGAN DAWAH 1. Lepaskan hubungan dengan
lembaga/jamaah manapun terutama (dan secara khusus) lagi jika
engkau diminta untuk itu. Hidup dalam sebuah jamaah memang
dituntut untuk tajarrud dan profesional di dalamnya. Kadangkala
seorang adho (anggota jamaah) diminta untuk masuk dalam
organisasi tertentu dengan tujuan untuk belajar (on mission), menjalin
hubungan, dsb. Namun adakalanya juga kita diminta untuk
meninggalkannya. Mungkin karena lembaga tersebut dinilai
membahayakan secara siyasi, aqidah, fikroh ataupun lainnya. Atas
dasar itulah seorang adho harus memahami betul akan permintaan
jamaahnya dan diterimanya dengan legowo. Sebab sebuah jamaah
pasti mempunyai arah dan tujuan dalam menjalankan manhajnya.
Semua tentunya telah disyurokan terlebih dahulu dengan pihak-pihak
yang terkait. Setiap adho jamaah berperan dalam menjalankan
tugasnya dengan sebuah ikatan amal jama'i. 2. Menghidupkan budaya
Islami. a. At tahiyat (salam). Abdullah bin Amru bin Al-ash r.a.
berkata: Seorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Apakah yang
terbaik di dalam Islam Nabi s.a.w. menjawab: Memberi makanan dan
memberi salam terhadap orang yang kau kenal atau tidak kau kenal
(HR. Bukhari, Muslim) Salam, selain doa juga merupakan pintu
pembuka komunikasi. Hendaknya salam ini kita budayakan, karena
dampaknya cukup besar terhadap peradaban Islam yang akan datang.
Ketika seorang muslim yang belum kita kenal diberi salam maka dia
akan membalas salam dan biasanya dilanjutkan jabat tangan, akan
terjadi komunikasi, kontak hubungan, selanjutnya terserah anda,
apakah akan berkenalan atau silaturahim, dari sinilah muncul benihbenih
ukhuwah, dst. Karena itulah Abdullah bin Umar RA sengaja
menyempatkan diri untuk pergi ke pasar, dan ia mengucapkan salam
kepada setiap muslim yang dijumpainya, sampai suatu saat dia
ditanya oleh seseorang; Apa yang anda perbuat di pasar Anda bukan
seorang pedagang, tidak pula membeli dagangan, Anda juga tidak
duduk dalam kepengurusan pasar, mengapa anda selalu ada di pasar
Jawab Ibnu Umar, Aku sengaja setiap pagi pergi ke pasar hanya untuk
mengucapkan salam kepada setiap muslim yang aku temui (HR.
Bukhari). b. Bahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa kesatuan kaum
muslimin sedunia, bahasa yang digunakan untuk komunikasi Allah
SWT. dengan hamba-Nya (Rasulullah SAW) berupa Al Quran. Bahasa
yang telah dipilih oleh Allah SWT. ini adalah bahasa yang paling
sempurna di antara bahasa-bahasa yang ada di bumi ini. Suatu
bahasa yang tetap akan terjaga asholah-nya (keaslian) sampai hari
qiyamat, tak akan terkontaminasi oleh lajunya peradaban dunia. Tidak
seperti bahasa lain yang mudah tercemar seiring dengan globalisasi
dan majunya peradaban. Misalnya saja bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris seratus tahun yang lalu tak mudah dipahami oleh manusia/
bangsanya pada saat ini. Seseorang tak akan mampu memahami
Islam dengan benar tanpa melalui kidah bahasa Arab. Menafsirkan Al
quran wajib menggunakan kaidah bahasa Arab, bukan dengan
kaidah/tata bahasa bahasa selainnya. Seorang muslim tak akan
mungkin (mustahil berpisah dari bahasa Arab). Untuk itu kita mesti
medalami dan mensyiarkannya dalam kehidupan sehari hari. Asy
Syahid Hasan Al Bana telah mewasiatkan: takallamul lughatal
arabiyatal fushkha fainnaha min syaairil islam (Berbicaralah dengan
menggunakan bahasa Arab karena hal ini merupakan bagian dari syiar
Islam). Shahabat Umar bin Khattab RA. pernah mengatakan: taallamul
lughatal arabiyah fainnaha min diinikum (Pelajarilah bahasa Arab
karena dia adalah bagian dari dien kalian). Juga hadits Rasulullah saw
yang diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dengan sanad dari Malik:
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb itu satu, bapak itu satu,
dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai
bapak atau ibu. Sesungguhnya , Arab itu adalah lisan (bahasa), maka
barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang
Arab. Demikianlah kaum muslimin sedunia telah disatukan dan
dipersaudarakan dengan satu bahasa, bahasa Arab. Kita akan jaya
dengan bahasa Arab. c. Penanggalan. Urgensi penanggalan
hijriyah: Hijrah adalah moment terpenting dalam sejarah dakwah
islamiyah. Hijrah adalah masa peralihan dalam sejarah kaum
muslimin. Sebelum hijrah mereka adalah ummatud dawah. Mereka
menyampaikan dawah Allah swt. kepada manusia tanpa didukung
basis politis yang bisa melindungi para daI-nya atau menangkal
serangan musuh kepada mereka. Setelah hijrah berdirilah daulatud
dawah. Satu kedaulatan yang di pundaknya terletak tanggung jawab
menginternasionalisasikan Islam ke seluruh jazirah arab dan
sekitarnya. Maka tak heran jika masa keemasan khalifah Umar bin
Khaththab RA telah sepakat menjadikan tahun hijrah nabawiyah
sebagai permulaan penanggalan Islami. Pada waktu itu Khalifah Umar
mengumpulkan sejumlah sahabat dan meminta pendapat mereka
mengenai penanggalan Islami. Tujuannya adalah bahwa dengan
penanggalan tsb mereka bisa mengetahui kapan saatnya melunasi
hutang, dan lain-lain yang berkaitan dengan penanggalan. Seorang
sahabat memberi usulan untuk membuat penanggalan seperti Parsi,
yang lain mengusulkan seperti Romawi, namun Umar RA menolaknya.
Ada juga yang mengusulkan penanggalan berdasarkan kelahiran
Rasulullah SAW, berdasarkan tahun diutusnya Rasulullah SAW,
hijrahnya atau wafatnya beliau. Namun pada akhirnya khalifah Umar
RA cenderung membuat penanggalan berdasarkan hijrahnya
Rasulullah SAW, dengan pertimbangan bahwa hijrah adalah babak
baru munculnya Islam dan hal yang tidaka asing lagi bagi kaum
muslimin. Umar RA tidak mau membuat penanggalan dengan bitsah
Nabi SAW meskipun hal tersebut penting. Hal ini disebabkan bitsah
dan masa setelah itu Islam dan kaum muslimin dalam kondisi lemah,
mereka mustadlafin, tak punya kekuatan apa-apa. Sementara pucuk
pimpinan saat itu adalah Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah
dkk. Maka dari hal tsb tidaklah logis kalau dibuat penanggalannya
karena tiadak mempunyai sejengkalpun daerah kekuasaan.
Sedangkan Hijrah Nabawiyah merupakan unjuk gigi baik dalam konsep
maupun qiyadah. Semua para sahabat tak terkecuali punya andil
dalam membuat peristiwa-peristiwa hijrah dan sesudahnya. Setelah itu
mereka menguatkannya dengan daulah Islamiyah. Penanggalan hijrah
menunjukkan betapa kuat dan hebatnya jihad dan perjuangan ummat
Islam. Sejarah tak mungkin diukir satu orang saja, meski ia
mempunyai kemampuan lebih, bahkan ia seorang nabi atau rasul.
Sesungguhnya yang membuat sejarah adalah ummat secara
keseluruhan, yaitu ummat yang berdiri di pihak rasul-Nya atau qoidnya.
Sudah berapa banyak rasul yang dikecewakan dan dihinakan oleh
kaumnya sendiri dan mereka tak bisa berbuat apa-apa. Maka
sesungguhnya ummat sekarang ini terpanggil untuk membuat
sejarahnya dengan jiwa mereka sendiri. Dengan demikian kaum
muslimin menjadi excelent (mutamayyiz) tidak mengekor ataupun
menyerupai, Yahudi, Nashrani ataupun Majusi, dll. Kita menginginkan
kepribadian yang bersih tak terkontaminasi dengan fikroh kafir yang
membahayakan. Sudah menjadi aksioma bahwa di antara pilar-pilar
suatu ummat adalah sejarahnya yang mereka banggakan yang akan
menjadi ukiran peristiwa sejarah dengan penuh perjuangan dan titik
darah penghabisan. d. Busana. Untuk wanita hendaknya senantiasa
menutupkan aurat-nya ketika keluar rumah, dalam hal ini perintah
Allah SWT sudah jelas. Hindari pakaian yang menimbulkan fitnah,
ataupun perdebatan. Akan tetapi walaupun sudah menutup aurat jika
terlalu mewah ataupun terlalu kumuh akan membuat peluang orang
untuk menggunjingnya (dosa). Perhatikan juga warna dan corak yang
tidak mencolok hingga menarik perhatian banyak orang. Sementara
untuk laki-laki jangan memakai pakaian yang tasabuh (meniru) orang
kafir. Seperti berpakaian dengan pakaian yang biasa (khusus) dipakai
oleh para rahib atau pendeta, biksu, dsb. Hindari pakaian dengan
gambar, assesoris, simbul agama tertentu, ataupun juga gambar dan
tulisan jorok. Hal ini selain tidak berakhlaq juga akan mengusik
kebersihan hati orang lain. Untuk pakaian yang bertuliskan kata-kata
tertentu, perhatikan jangan sampai mengganggu konsentrasi orang
lain, misalnya ketika shalat berjamaah di masjid. Bayangkan saja jika
antum memakai kaos yang di belakangnya ada tulisan mburiku
munyuk, padahal antum menjadi imam shalat! Untuk pakaian di
masjid hendaknya memakai yang terbaik yang kita miliki, terutama
shalat Jumat. Dalam berbusana yang terpenting adalah memenuhi
syarat, yaitu menutup aurat, (tidak menampakkan ataupun
menonjolkannya) dan tidak tasabuh, setelah itu bisa menyesuaikan
adat setempat. Jadi tidak harus berjubah dan bersorban ala Arab.
Namun jika hal itu untuk menandakan rasa cinta terhadap Rasul SAW
dalam hal berpakaian maka tentunya tidak mengapa. Akan tetapi
hendaknya melihat kondisi masyarakat setempat. Jika mereka anti
pati dan semakin menjauhi kita gara-gara pakaian , maka itu belum
prioritas untuk diterapkan. 3. Mengenal ikhwah duat dengan marifah
yang sempurna dan sebaliknya. Sesungguhnya orang-orang beriman
itu bersaudara (Al Hujurat:10). Ukhuwwah, setelah generasi pertama
ummat Islam berlalu, telah hanya menjadi kata-kata penghias bibir
kaum muslimin dan khayalan belaka di benak mereka, sampai kita
datang dengan ukhuwah islamiyahnya. Kita telah berusaha
menerapkannya di kalangan kita dan menginginkan kembalinya ikatan
ummat yang saling bersaudara dengan jiwa ukhuwah islamiyah.
Memang untuk meng- ukhuwah islamiyah-kan masyarakat, kita harus
mewujudkan dahulu dalam kalangan kita sendiri. Ikhwah berarti
saudara sedarah, sekandung. Setiap mumin kita jadikan sebagai
saudara sekandung, lebih dari sekedar teman kerabat. Rukun
ukhuwah adalah taaruf, tafahum dan takaful. Taaruf yang sempurna
adalah dengan mengenali seluruh jati dirinya; fisik, pola berpikir
(baca: fikroh), dan jiwanya. hendaknya kita tidak lalai dalam hal ini,
sebab akan dapat membawa resiko. Pernah dalam suatu acara
mukhoyyam ikhwah, ketika sedang mengadakan perjalanan yang
panjang di malam hari melewati bukit-bukit berbatu, jurang yang
dalam, menyeberangi sungai nan deras, seorang ikhwah hilang dari
barisan Setelah cukup lama, peserta baru sadar ada satu anggota
yang hilang. Pemandu segera menyusur balik dan akhirnya ditemukan.
Usut punya usut ternyata ikhwah yang tertinggal tersebut mempunyai
penyakit rabun senja. Untunglah dengan izin Allah SWT al-akh tsb
selamat, tak masuk jurang. Demikianlah satu akibat jika kita tak
pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan mungkin al akh
yang menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah
mengenalkan dirinya kepada ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah
mengenali ikhwah sedini dan sesempurna mungkin, sebaliknya kita
juga mengenalkan diri kita kepada ikhwah. Selanjutnya tafahum dan
takaful akan terwujud serta membentuk bangunan yang kuat seiring
dengan kadar soliditas ukhuwah kita. 4. Menunaikan kewajiban
maaliyah. Jihad, selain memerlukan personil (rijal) juga membutuhkan
finansial (maal). Dahulu seorang Mujahid Muslim menyiapkan sendiri
perlengkapan, kendaraan dan perbekalan perangnya. Tak ada gaji
bulanan yang diterima oleh para pimpinan dan prajurir. Yang ada
hanya suka rela menyumbangkan harta dan jiwa. Itulah yang
diperbuat oleh aqidah bila telah menjadi landasan tegaknya sistem dan
undang-undang. Dahulu kaum muslimin yang miskin ingin berjihad
membela manhaj Allah SWT dan panji aqidah, tak memiliki apa yang
bisa dijadikan bekal untuk dirinya dan tak memiliki perlengkapan serta
kendaraan. Kemudian mereka menghadap Nabi SAW meminta agar
diikutsertakan ke medan pertempuran yang jauh, yang tak bisa
ditempuh dengan berjalan kaki. Bila Nabi SAW tak mendapatkan apa
yang bisa dipakai untuk membawa mereka maka; mereka kembali,
sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran
mereka tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan (At
Taubah:92) Banyak ayat Al Quran maupun hadits Rasulullah SAW
yang menganjurkan untuk infaq di jalan Allah SWT. Ajakan berjihad
sering diiringi dengan ajakan untuk berinfaq. Ada juga dalam ayat Al
Quran yang mengidentikkan orang yang tak berinfaq dengan
kebinasaan. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah , dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik (Al Baqarah:195). Tak mau berinfaq di jalan Allah
SWT adalah tindakan membinasakan jiwa dengan sifat kikir, disamping
membinasakan jamaah dengan ketidakberdayaan dan kelemahan,
khususnya dalam suatu sistem yang didasarkan pada suka rela,
sebagaimana dalam sistem Islam. Suatu saat seorang sahabat
bernama Abu Dahdah dirinya merasa tersindir ketika Rasul SAW dalam
khutbahnya terkesan sedang membutuhkan dukungan dana. Lantas
Abu Dahdah mengatakan; Yaa Rasulallah, saya mempunyai kebun
(yang luasnya 600 pohon kurma), itu semua akan saya infaqkan fi
sabilillah. Kemudian Abu Dahdah pulang dan konfirmasi kepada
istrinya bahwa kebunnya sudah menjadi milik kaum muslimin. Istrinya
berkomentar; robahal bai.. (perniagaan yang menguntungkan).
Karena kebun yang sepetak itu akan diganti dengan kebun surga.
Subhanallah.. Marilah kita galakkan syiar ini (zakat, infaq, shodaqoh,
dsb) untuk menggapai ridha Allah SWT. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai ridha Allah,
maka (yang berbuat demikan) itulah orang-orang yang
melipatgandakan pahalanya (Ar rum:39). Di samping itu kita juga
diperintahkan untuk membangun syarikat-syarikat islami untuk
membangun ekonomi ummat Islam. Ummat Islam yang tengah
bangkit membutuhkan penanganan atas urusan ekominya, karena ia
merupakan persoalan paling penting saat ini. Islam sama sekali tak
mengesampingkan masalah ini, bahkan ia telah meletakkan kaidah
dasar dan konsep-konsepnya secara jelas dan tuntas. Lihatlah
bagaimana Allah SWT. mengingatkan kita untuk menjaga harta,
menjelaskan nilainya dan kewajiban untuk memperhatikannya. Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
aqalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai kehidupan.(An Nisa:5)
Allah SWT berfirman mengenai keseimbangan antara infaq dan
penghasilan. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, yang karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal. (Al Isra:29) Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW bersabda: Tidak miskin orang yang hemat
Sebagaimana harta itu membawa manfaat kepada pribadi, maka harta
itupun akan membawa manfaat kepada ummat. Rasulullah saw
bersabda: Sebaik-baik harta adalah harta yang ada orang-orang
shalih. Sistem ekonomi yang baik -apapun namanya dan dari manapun
sumbernya- akan diterima oleh Islam. Dan ummat pun akan didorong
untuk mendukung dan menumbuhsuburkannya. Asy Syahid Hasan Al
Bana telah berwasiat untuk memperhatikan aspek ini, dengan
menggalakkan kegiatan perekonomian, membuka lapangan kerja,
menangkal penindasan praktek monopoli. Selain itu juga pengelolaan
zakat yang profesional. 5. Menyebarkan dawah dan membentuk
keluarga atas hal itu. Hal ini sudah ditegaskan oleh Asy Syahid dalam
risalah talim-nya bab amal. Pembentukan keluarga muslim, yaitu
dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai fikrahnya,
menjaga etika islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah
tangganya, memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya hak
dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan pembantunya dengan
didikan yang baik, serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip
islam. Bimbingan terhadap masyarakat, yaitu dengan menyebarkan
dawah, memerangi perilaku yang kotor dan munkar, mendukung
perilaku mulia, utama, melakukan amar maruf, bersegera
mengerjakan kebaikan, menggiring opini umum untuk memahami
fikrah islamiyah dan mencelup praktek kehidupan dengannya terus
menerus. Itu semua adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh
setiap sebagai pribadi, juga kewajiban bagi jamaah sebagai institusi
yang dinamis. Demikianlah bahwasanya keluarga adalah miniatur
masyarakat Islam. Robohnya nilai Islam dalam keluarga maka roboh
pula nilai Islam di masyarakat. Jika kita menginginkan daulah
islamiyah (yang berarti menegakkan nilai-nilai Islam dalam sebuah
kehidupan bermasyarakat dan bernegara), maka tegakkan dulu di
hatimu maka akan tegak di bumimu. Ingat jargon yang salimah ini:
takun daulatal islamiyah fi qolbika takun fi ardlika. 6. Mengenal
harakah islamiyah. Hal ini perlu dilakukan agar kita mengerti medan
dawah yang dihadapi, sehingga bisa diatur taktik dan strateginya.
Adapun yang perlu kita ketahui berkaitan dalam hal ini antara lain:
nama gerakan, manhaj-nya, nama pendirinya, nama pemimpinnya
sekarang, sejarah berdirinya, markasnya, jaringannya, tokohtokohnya,
buku-buku rujukannya, produk-produknya, bentuk-betuk
aktivitasnya, karakteristik gerakannya, kebaikan dan kekurangannya.
Untuk mengetahui masalah ini kita perlu aktif mengadakan diskusi,
tatsqif dan membaca buku terkait. Dan yang penting kita harus
senantiasa buka mata buka telinga untuk terus mencari informasi dan
mengikuti perkembangannya. B. MAAL MASUL
(KETUA/PIMPINAN) - Dalam dawah Ikhwanul Muslimin seorang
pemimpin mempunyai hak orang tua dalam hubungan ikatan hati, dan
ustadz dalam hubungan memberikan ilmu. - Seperti halnya seorang
syaikh dalam hubungan tarbiyah ruhiyah. - Menjadi pemimpin dalam
hubungan dengan kebijakan politik bagi dawah secara umum dan
dawah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini. 1. Taat, yaitu
melaksanakan perintah dan merealisasikannya dalam kondisi
semangat atau malas dan dalam kondisi sulit ataupun mudah. Wajib
atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan senang
maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada
ketaatan terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah (HR.
Muslim). Jamaah, dalam merealisasikan tujuannya pastilah
membutuhkan jundi yang taat dan memahami akan tuntutannya.
Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al Bana; faham, ikhlash,
amal, jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat, ukhuwwah, tsiqoh.
Tuntutan demikan amatlah logis dan tidak mengada-ada. Organisasi
jahat kaliber internasional pun menuntut hal yang identik demikian,
bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad Yahudi bahkan tak
segan-segan untuk membunuh anggotanya jika terbukti berkhianat.
Jamaah dawah tidaklah demikian, orang boleh masuk dan tak akan
menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing akan memetik
buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Jamaah kita
mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar
generasi dalam rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan
kalimattullah hiyal ulya sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah
SWT sajalah yang mampu menegakkannya, bukan orang yang ledalede.
2. Tsiqoh, tentramnya jiwa dengan seluruh yang keluar darinya.
Ibarat seorang tentara yang merasa puas dengan komandannya,
dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan
kepuasan yang mendalam yang menghasilkan rasa cinta,
penghargaan, penghormatan serta ketaatan. Maka demi Rabb-mu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap
sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya (An Nisa (4):65). Pemimpin adalah unsur penting dalam
dalam dawah; tak ada dawah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh yang
timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi neraca
yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jamaah, ketahanan
khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan
ketegarannya menghadapi tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah
segalanya dalam keberhasilan dawah. Untuk mengetahui kadar ketsiqoh-
an dirinya terhadap masul-nya bertanyalah kepada diri sendiri
dengan tulus mengenai beberapa hal sbb: - Sejauhmana mengenal
masul tentang riwayat hidupnya - Kepercayaan terhadap kapasitas
dan keikhlasannya. - Kesiapan menerima perbedaan pendapat dengan
masul, dan masul telah memberi perintah dan atau larangan yang
berbeda dengan pendapat kita. - Kesiapan meletakkan seluruh
aktivitasnya dalam dawah, dalam kendali masul. 3. Minta izin, jamaah
mengetahui segala kondisimu dan selalu ada hubungan ruh dan
aktivitas dengan jamaah. Sebenarnya bergerak dalam suatu jamaah
adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus dipikul oleh
pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus
terkoordinasi rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf.
Tidak boleh saling menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling
membahayakan. Tidak menyempal dari jamaah atau hilang dari
peredaran jamaah dalam kurun waktu tertentu. .Harus ada jalinan
komunikasi yang efektif serta terus menerus ber-musyarokah. Asy
Syaikh Musthafa Masyur pernah memberi taujihat yang luar biasa:
Mutu jamaah tergantung dari mutu harokah (gerakan), mutu harokah
tergantung dari mutu musyarokah (berserikat), mutu musyarokah
tergantung dari mutu muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan),
dan mutu muhawaroh tergantung dari bagaimana mutu ukhuwahnya.
4. Memuliakan masul. Memuliakan, menghormati masul tidak sematamata
didasarkan kepada diri masul, tetapi karena dirinya dipandang
sebagai lambang jamaah yang mengibarkan bendera Islam untuk
menyerukan hidayah ke ummat manusia. Setiap gerakan yang
merugikan kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan
jamaah 5. Merahasiakan nasihat. Di antara sifat mumin adalah suka
nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan
kesabaran. Ketinggian kedudukan masul tidak boleh menjadi
penghalang untuk itu, dalam rangka untuk memperbaiki amal dan
menghindarkan hal-hal negatif. Tidak boleh merasa berat dalam
memberi nasihat, begitu juga masul harus lapang dada, dan bersyukur
dalam menerimanya. Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, untuk
siapa Rasulullah SAW menjawab, Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpinpemimpin
kaum muslimin dan orang orang awamnya (HR. Muslim).
Adapun adab yang harus kita jaga dalam memberi nasihat kepada
masul adalah dengan memilih ketepatan suasana dan cara. Paling
tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berilah nasihat
dalam bentuk yang paling baik, dan nasihat tersebut hendaknya
diterima menurut bentuknya. Kedua, dengan menasihatinya secara
diam-diam berarti telah menghormati dan memperbaikinya. Sebab jika
kita menasihatinya dengan cara terang-terangan di hadapan orang
banyak, seolah kita telah mempermalukan dan merendahkannya.
Ketiga, tatkala memberi nasihat maka hati/niat kita tidak boleh
berubah walau sehelai rambutpun. Tidak merasa lebih mulia, tidak
menggurui sehingga menjadikan obyek seolah-olah seorang pesakitan
yang penuh dengan kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya
tak bergeser sedikitpun. C. DENGAN IKHWAH (SAUDARA
SEPERJUANGAN) 1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada
mereka. 2. Menampakkan cinta pada mereka dan menahan marah
karena kelalaian mereka. dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan (Ali Imron:134) Manusia adalah tempatnya salah
dan lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput dari sifat itu.
Adalah tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi memutuskan
hubungan dengannya ketika lalai. Justru yang paling baik adalah
dengan menesihatinya. Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah
dengan tetap menjalin kasih sayang baik ketika lalai maupun ingat.
Seperti itulah salah satu ciri kehidupan masyarakat muslim.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka (Al Fath:29) Bahkan kadang kala kecintaan itu
kita ikrarkan. Abu Kuraimah bin Madiy Karib Ra berkata; Bersabda
Rasulullah SAW: Jika seorang mencintai saudaranya, maka
beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah (Abu
Dawud). Sedangkan anjuran untuk menahan marah cukuplah nasihat
Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan berkata:
Nasihatilah saya, kemudian Nabi SAW bersabda: Jangan marah,
kemudian orang itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi
:Jangan marah (HR Bukhari). Marah itu menghimpun berbagai
kejahatan dan setiap kejahatan membawa dosa, sedangkan
menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik pahala
surga. Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Siapa yang
menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di
hari qiyamat Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluq,
kemudian disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya (HR. Abu Daud,
At Tirmidzi). 3. Mendoakan mereka ketika ghaib Mintalah ampun untuk
dosamu sendiri dan untuk kaum muslimin lelaki dan perempuan
(Muhammad: 19) Wujud ukhuwah Islamiyah yang telah dibina
Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat nyata, bukan seruan bibir
semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan saudaranya yang
baru dibina itu Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya untuk
sebuah persudaraan karena Allah SWT. Mereka juga memberikan
doanya. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman (Al Hasyr: 10) Abu Darda RA berkata,
bersabda Rasulullah SAW: Doa seorang muslim untuk saudaranya di
luar pengetahuan yang didoakan itu doa yang mustajab, di atas kepala
orang yang berdoa itu ada Malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia
berdoa baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin wa laka bi
mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu) (HR.
Muslim). 4. Bantulah saudaramu baik dalam kondisi mendzolimi atau
terdzolimi, yaitu mencegah kejahatannya. D. DENGAN MUAYYID
(PENDUKUNG) 1. Tawazun dalam menilai/memuji, mereka bukanlah
segalanya sampai tak menghiraukan yang lain, dan tidak pula
meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka sebagai kasta
rendah tak bernilai. 2. Mendahulukan yang terpenting dari yang
penting, dan permulaan yang terbaik adalah menempatkan aqidah
dalam hati 3. Sedikit dalam nasihat. 4. Menghindari cara menggurui,
meskipun dengan argumen yang jitu. 5. Hindari jawaban langsung
atau kritik pedas 6. Hati-hati dari penyia-nyiaan potensi dengan
penyembuhan/membuang urusan-urusan yang sepele atau debat yang
tak bermanfaat. 7. Menganggap mereka (madu) cerdas dan berilmu,
maka jangan terlalu memperpanjang dalam menjelaskan yang
aksiomatik (badihiyat). 8. Setiap ucapan ada tempatnya, setiap
tempat ada perkataannya, khotibun naas ala qodri uqulihim (maka
sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya). 9. Mempelajari
kondisinya dan mengetahui akan halnya: Jangan mencacinya apabila
terlambat dari kegiatan Jangan memaksanya ke dalam pekerjaan
tertentu Jangan membebani melebihi kemampuan 10. Membina tidak
cukup sehari semalam. 11. Jadilah qudwah baginya dalam segala
sesuatu (amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan Ash Shoff: 3) 12. Terus menerus
dalam mendawahi sampai tampak hasilnya. E. DENGAN IKHWAN
(SAUDARA-SAUDARA SEPERJUANGAN) 1. Husnudzon dan
memohonkan maaf pada mereka 2. Menampakkan cinta dan menahan
marah serta dendam Janganlah kamu meremehkan perbuatan maruf
sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika
bertemu dengan saudaramu (HR.Muslim) 3. Mendoakan mereka ketika
ghaib. (Doa seorang muslim kepada saudaranya terkabulkan dalam
kesendiriannya, pada kepala orang itu ada malaikat yang ditugaskan
setiap dia berdoa kebaikan untuk saudaranya, malaikat berkata: amin
dan akan mendapatkan seperti itu pula) HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu
Majah dari Abi Darda. 4. Mengakui pertolongan mereka baik dalam
senang atau duka sebagai ungkapan bahwa kekuatannya (baca:kita)
tidak mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan. 5. Tidak suka
mencelakakan mereka dan bersegera untuk menghilangkannya/
menolak. 6. Saling menolong, tolonglah saudaramu baik saat
mendzolimi atau saat terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya. 7.
Mempermudah urusan-urusan yang sulit. Salah satu dari ciri seorang
muslim adalah suka mempermudah segala urusan yang dialami
saudaranya. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesulitan (Al Baqarah:185) Ajarilah olehmu dan
mudahkanlah olehmu dan jangan kamu mempersulit, dan jika salah
seorang di antara kamu ada yang marah, maka hendaklah kamu diam
(HR. (Bukhari). Dari Ummul Muminin RA: Jika menghadapi dua
perkara, Rasulullah akan memilih yang termudah, jika kiranya tidak
mengandung dosa. Maka jika urusan itu mengandung dosa, seluruh
manusia harus menjauhinya. Dan apa yang menjadi pendirian
Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas
dendam kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri,
kecuali jika larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah,
dan membalasnya semata-mata hanya karena Allah (HR. Muttafaq
alaih). Abu Qatadah RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW
berkata, Barangsiapa yang memudahkan kesulitan muslim lainnya,
untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dari kesulitan-kesulitan
hari kiamat, maka mudahkanlah kesulitan (orang lain) atau
melepaskan bebannya (HR. Muslim). 8. Memberikan nasihat. Tak
tersisa dalam hidup ini kecuali tiga kelompok: Seorang dimana kamu
mendapatkan bergaul/maasyaroh dengannya, kalau kamu
menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia memberikan cukup
kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan sholat
di masjid jami kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan
penghalang. (Perkataan Hasan Al Bashri). Dan berkata Al Muhasibiy,
Ketahuilah orang yang menasihatimu sungguh dia mencintaimu, dan
barangsiapa yang menjilat kamu maka dia menipumu/mengujimu, dan
siapa yang tak menerima nasihatmu bukanlah saudaramu. F.
DENGAN MUROBBI (PENDIDIK) 1. Penghargaan dan memuliakan
mereka karena Allah SWT telah menjadikan mereka sebab masuknya
kalian ke dalam bintang yang besar (jamaah) meskipun kalian
mendahuluinya. Adab dalam bergaul dengan murobbi adalah dengan
memuliakannya karena Allah SWT, memohonkan doa bagi mereka.
Karena mereka adalah orang-orang sholeh yang telah meghantarkan
kita ke jalan Allah SWT. Tidak diperkenankan bagi kita untuk
mencelanya, membesar-besarkan keburukannya dan berpaling bahkan
membutakan diri dari kebaikan-kebaikan yang telah kita terima. Kita
hendaknya bersabar dalam berjuang bersama-sama mereka, tidak
terprovokasi oleh orang-orang hendak yang menjerumuskan,
melemahkan atau membelokkan arah jalan dawah kita, misalnya ada
yang sering mengatakan kita dengan eksklusif, taqlid buta, jumud,
tarbiyah tak akan mendapatkan apa-apa dan bukan segalanya untuk
apa diteruskan, dan suara-suara miring lainnya. Ingatlah firman Allah
SWT. Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang
menyeru Rabb-nya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap
ridha-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan mereka adalah
kaum yang melampaui batas (Al Kahfi:28). Dahulu kita dalam
keterpurukan jahiliyah, dan sekarang tampak kemilau cahaya
keislaman, kemudian memasukkan kita ke dalam sebuah gerakan
besar, mewujudkan segala potensi yang selama ini terpendam, serta
mengikatnya dengan jalinan ruhul islami. Manusia itu ibarat barang
tambang seperti logam emas dan perak, terpandangnya mereka ketika
masa jahiliyah akan terpandang juga ketika masa islamnya, jika
mereka telah memahami. Adapun ruh-ruh itu ibarat laskar tentara
yang siap tempur, maka yang saling mengenal akan intim, sedangkan
yang tidak mengenal akan berceceran (HR. Bukhori dan Asy
Syaikhoni) Siapakah yang mengasah dan membentuknya ke arah itu
Adalah para murobi tercinta! 2. Sesungguhnya mereka bukan ustadzmu
dahulu saja, maka jangan kalian putus mereka, dan hormatilah
mereka serta keluarga mereka untuk di ziyarahi. 3. Terus menerus
menyebut kebaikan mereka dan melupakan keburukan mereka.

Tidak ada komentar: