Breaking

Rabu, Juni 13, 2012

AKHLAK DAN ADAB

(Oleh : Ust. Abdullah Assegaf)

            Ilmu  akhlak merupakan bagian dari pembahasan dalam hikmah amali (filsafat amal), di samping ilmu keluarga dan kemasyarakatan (siyasah). Biasanya, ilmu akhlak dipahami sebagai ilmu yang mempersoalkan bagaimana seharusnya kita hidup. Atau, dalam rumusan lain, ilmu mengenai  bagaimana berperilaku yang baik.
            Pengertian ini berlaku sepanjang menyangkut insan bagaimana yang harus bertindak (beramal). Ini bertolak dari adanya pemahaman yang absolut dan general terhadap ilmu akhlak pada diri insan tersebut.
Adapun bila persoalannya adalah pada penggunaan ilmu tersebut sebagai pembimbing (petunjuk) untuk hidup (beramal) secara baik, maka pengertian ini tidak relevan. Artinya, ilmu akhlak harus meletakkan insan-pelaku sebagai cerminan ilmu, bukan sebaliknya.

            Lebih lanjut, dapat diperoleh sebuah pengertian bahwa perbuatan yang sesuai dengan kriteria akhlak meng-atas-i perbuatan biasa (alami). Unsur penyebabnya adalah, antara lain,  adanya ikhtiar si pelaku dalam mewujudkannya serta adanya kandungan nilai-nilai keagungan dan kemuliaan di dalamnya.
Tambahan lagi, pembahasan mengenai ilmu akhlak pada dasarnya memiliki dua aspek: bagaimana mewujudkannya dan bagaimana sebelumnya. Persoalan untuk mewujudkan perbuatan yang akhlaki erat kaitannya dengan ilmu akhlak itu sendiri. Sedangkan persoalan mengenai motivasi berakhlak dikembalikan pada kemauan dan kesanggupan insan itu sendiri, yang tentunya juga  harus didasari dengan ilmu tentang insan dan kehidupan.

Akhlak
            Rasulullah saww bersabda, “Berpeganglah kalian kepada akhlak yang mulia, sesungguhnya Tuhanku mengutus aku dengannya.”
            Ilmu akhlak merupakan sebuah spesialisasi, yang di dalamnya dibahas tentang potensi manusia yang berhubungan dengan kekuatan syahwaniyyah (syahwat), ghadhabiyyah (amarah), dan fikr (pikir). Ilmu tersebut juga membedakan antara sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat rendah manusia, sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan nilai manusiawinya.
            Dalam hidupnya, manusia tidak dapat melepaskan diri dari pencariannya atas sesuatu, seperti makan, minum, dan beristirahat, yang semuanya didorong oleh kekuatan syahwani. Begitu juga, dari upaya untuk menghindar dari sesuatu, seperti sakit, kerja keras, dan sebagainya, yang didorong oleh kekuatan ghadhabi. Juga, dari kekuatan fikr seperti berhujah, yang didorong oleh kekuatan fikr dalam diri manusia.
            Ilmu akhlak mengajarkan kepada manusia agar menjaga keseimbangan semua potensi tersebut, agar mereka dapat mencapai kemuliaan dan terhindar dari segala bentuk kehinaan. Artinya, seluruh kekuatan tersebut harus selalu dijaga keseimbangannya, sehingga tidak melewati batas (ifrad) dan kurang dari yang semestinya (tafrid).
            Dalam pada itu, dengan menjaga keseimbangan ketiga kekuatan yang mereka miliki itu, manusia akan memiliki empat nilai kesempurnaan akhlak, yang menjadi dasar atau  ushul dari sifat-sifat terpuji lainnya.
Dengan menjaga keseimbangan kekuatan syahwaninya, manusia akan memiliki harga (kemuliaan) diri. Sementara perlakuan ifrad terhadapnya akan menumbuhkan keserakahan dan perlakuan tafrid terhadapnya akan menimbulkan rasa rendah diri.
            Dengan menjaga keseimbangan kekuatan ghadhabinya, manusia akan memiliki sifat pemberani. Sementara perlakuan ifrad  terhadapnya akan melahirkan kebrutalan dan perlakuan tafrid terhadapnya akan melahirkan sifat pengecut.
            Kekuatan berpikir, pabila dijaga keseimbangannya, akan melahirkan kebijaksanaan. Sementara perlakuan ifrad terhadapnya akan melahirkan kelicikan dan perlakuan tafrid terhadapnya akan melahirkan kebodohan.
            Sedangkan, pabila manusia menjaga keseimbangan tiga kekuatan tersebut, ia akan menjadi manusia yang memiliki sifat keadilan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemuliaan dapat dilihat  dari kepemlikan mereka atas empat  sifat kesempurnaan tersebut: harga diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan.
            Sementara itu, tingkatan akhlak dalam  perjalanan manusia, dapat dilihat dari:
1.      Tujuannya  untuk mencapai sifat-sifat mulia dan terpuji di tengah-tengah (di mata) manusia.
2.      Tujuannya  untuk mendapatkan  keberuntungan nilai manusiawi dan bebas dari segala kerendahan.
3.      Tujuannya yang semata-mata mencari keridhaan Allah Swt. Ia tidak lagi mencari sifat-sifat terpuji di mata manusia atau kesempurnaan nilai-nilai manusiawi belaka. Ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran, surat al-Baqarah ayat ke-165: Dan orang-orang yang beriman, mereka lebih besar lagi cintanya kepada Allah Swt.



Adab
            Ditinjau dari maknanya, adab adalah sikap dan bentuk perbuatan bajik, yang diharuskan oleh syariat maupun para bijak untuk melakukannya. Adab tidak berlaku bagi perbuatan di luar syariat dan tindakan terlarang lainnya. Karena itu, kezaliman, kebohongan, dan pengkhianatan tidak dapat dikatakan sebagai tindakan beradab.
Adab juga hanya berlaku bagi perbuatan yang didorong oleh ikhtiar bebas manusia. Sehingga,  sebagian manusia memiliki adab yang tidak dimiliki oleh sebagian manusia lainnya. Seperti makan, yang dalam Islam didahului dengan bismillah dan diakhiri dengan hamdalah. Atau, shalat yang memiliki cara duduk yang khas, dan sebagainya.
            Pabila diperhatikan, adab merupakan tindakan bajik yang berasal dari ikhtiar manusia. Karenanya, berdasarkan nalar, tidak akan ditemui ikhtilaf di dalamnya, meskipun pada kenyataannya manusia terdiri dari berbagai bangsa dan agama dengan gaya dan cara hidup berbeda. Sehingga suatu adab terkadang dipandang baik bagi  golongan tertentu dan dipandang buruk oleh golongan lainnya.
            Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa bajik merupakan muqawwim (penguat) dari  definisi adab, sedangkan perbedaannya terdapat pada tujuan-tujuan dari setiap kaum (golongan) tersebut. Ya, adab merupakan cermin yang menggambarkan akhlak yang ada pada suatu kaum.
Sementara itu, adab sendiri tidaklah sama dengan akhlak. Pabila akhlak merupakan potensi yang tertanam di dalam ruh, maka adab adalah sikap bajik yang menjadi pakaian bagi perbuatan manusia, yang muncul dari sifat-sifat mereka yang berbeda. Karena itu, adab adalah cerminan akhlak manusia, sementara akhlak adalah hakim bagi sebuah masyarakat.
            Apabila adab mengikuti tujuan khusus yang diinginkan dalam kehidupan manusia, maka adab Ilahi, yang diajarkan Allah Swt kepada para nabi dan rasul-Nya, adalah sikap yang baik dalam amal-amal diniyah, yang menggambarkan tujuan-tujuan dan maksud agama tersebut. Artinya, bahwa ibadah adalah sesuai dengan masing-masing agama yang berbeda, berdasarkan tingkat kesempurnaan tujuan dari masing-masing agama tersebut.
            Islam, dengan kelengkapannya, berhubungan dengan semua sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, semua sisi kehidupan manusia diatur oleh adab tertentu. Dan tujuan umum di dalam Islam adalah bertauhid kepada Allah Swt dalam setiap tingkatan keyakinan dan tindakan manusia.
            Dengan ibarat lain, hendaknya  manusia meyakini bahwa mereka memiliki Tuhan, yang dari-Nya-lah segala sesuatu berasal dan kepada-Nya-lah segala sesuatu kembali. Dia-lah yang memiliki Asma al-Husna.
Ya, manusia harus menjalani kehidupan ini dengan perbuatan yang menggambarkan penghambaan kepada Allah Swt. Dengan demikian, adab Ilahi adalah sikap bertauhid dalam perbuatan.
            Dalam hal ini, kita perlu merenungkan dalam-dalam, bait munajat Imam Ali Zainal Abidin berikut ini, “Tuhanku, janganlah Engkau ajari aku adab dengan siksa-siksa-Mu…”[]





Tidak ada komentar: