Breaking

Minggu, Juni 17, 2012

DONGENG DAN INSFIRASI TULISAN JAWA

Aksara Jawa ; Dongeng dan Interpretasi Makna


Berbicaralah dengan bahasa mereka. Ini mungkin mengapa asal mula aksara Jawa diceritakan kepada anak – anak dalam bentuk dongeng. Dongeng merupakan media yang masih ampuh untuk mengajarkan sesuatu kepada anak – anak.

Huruf Jawa

Saya mencoba mengumpulkan kepingan ingatan kala masih SD dan merangkum dongeng asal mula huruf ha na ca ra ka seperti dibawah ini. Mohon koreksi dan tambahan untuk segala kesalahan dan kekurangannya.

Alkisah, di kerajaan bernama PuloMajethi, bertahtalah seorang raja yang memerintah dengan adil bijaksana bernama Aji saka. Sang Raja memiliki 2 abdi setia, yakni Dora & Sembada. Demikian patuhnya para abdi ini kepada sang Raja sehingga mereka selalu mematuhi perintahnya tanpa terkecuali.

Suatu hari, Sang Raja memutuskan berkelana dengan ditemani Dora. Sedangkan Sembada diperintahkan untuk menjaga pusaka dengan pesan bahwa tidak ada siapapun berhak mengambilnya kecuali Aji saka sendiri. Demikianlah Aji saka diikuti oleh Dora mengembara hingga sampai ke tanah Jawa. Di tanah Jawa, ada sebuah kerajaan bernama Medhang Kamulan. Dahulu merupakan kerajaan yang gemah ripah loh jinawi sampai suatu ketika sang raja yang bernama Dewata Cengkar berubah menjadi pemangsa manusia. Awal mulanya adalah saat juru masak kerajaan sedang menyiapkan makanan untuk raja, tiba – tiba tanpa sengaja terpotong jari tangannya dan nyemplung didalam masakan. Saat dihidangkan, sang Prabu merasakan daging yang nikmat luar biasa, yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Dia memerintahkan sang patih untuk mencari tahu daging apakah gerangan yang disantapnya. Ketika diketahui itu adalah daging manusia, maka sang prabu meminta tiap hari dipersembahkan satu manusia untuk menjadi santapannya. Sejak itulah Kerajaan MedhangKamulan berubah menjadi menakutkan bagi siapa saja.


Mengetahui apa yang terjadi, Ajisaka menghadap sang patih dan meminta untuk dijadikan persembahan raja. Saat dihadapkan, bukan main girang hati sang Prabu melihat calon santapannya yang tampan rupawan. Namun Aji saka mengajukan syarat yang apabila dipenuhi, dia akan lila legawa dijadikan santapan Raja. Syarat tersebut adalah Ajisaka meminta sejengkal tanah seluas bentangan sorban yang dipakainya dan meminta sang Prabu sendiri yang mengukur. Sang Prabu memenuhi syarat tersebut . Ajaibnya ketika sorban diulur, ternyata tiada habis – habisnya. Sang Prabu semakin penasaran, dan mengulur sambil berjalan mundur hingga tanpa terasa sampai di tepi samudra selatan. Seketika itu, sorban dikelebatkan oleh Aji saka dan terlemparlah sang Prabu ke dalam laut, menjelma menjadi buaya putih.

Dengan demikian, kerajaan MedhangKamulan terbebas dari raja yang angkara. Aji saka dinobatkan menjadi Raja. Beliau teringat akan pusakanya yang dijaga oleh Sembada di PuloMajethi. Kemudian diutuslah Dora untuk mengambil pusaka tersebut. Dora berangkat menemui Sembada dan mengatakan maksud tujuannya yakni mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan karena teringat perintah hanya Ajisaka sendiri yang berhak mengambil pusaka tersebut. Akhirnya kedua abdi setia ini tidak menemui kesepakatan, berselisih dan bertarung. Karena sama saktinya, mereka berdua justru sama – sama saling terbunuh.

Khabar terbunuhnya 2 abdi setia tersebut sampai ke Ajisaka di medhang Kamulan. Betapa sedih hati sang Raja. Sebagai ungkapan rasa duka yang mendalam tersebut, maka Ajisaka menciptakan rangkaian aksara untuk mengenang 2 abdi setianya. Aksara tersebut yang kini kita kenal sebagai aksara Jawa; yakni

ha na ca ra ka
Dikisahkan tentang dua orang abdi setia

da ta sa wa la
Keduanya terlibat perselisihan dan berkelahi

pa dha ja ya nya
Mereka sama-sama kuat dan tangguhnya

ma ga ba tha nga
Akhirnya kedua abdi itu tewas bersama

Setelah dewasa, tentu bukan dongeng yang menarik hati kita. Namun apa yang tersirat dibalik yang tersurat dalam dongeng itu, serta makna dan falsafah yang bisa digali dari rangkaian aksara Jawa tersebut. Dari sebuah Milis yang saya ikuti,beberapa rekan yang saya rasa memiliki pengetahuan ttg budaya Jawa, mencoba memberikan interpretasi makna aksara jawa. Saya kutipkan beberapa diantaranya :

- Aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka mewakili spiritualitas orang Jawa yang terdalam: yaitu kerinduannya akan harmoni dan ketakutannya akan segala sesuatu yang dapat memecah-belah harmoni. Dua abdi setia Ajisaka bisa merepresentasikan dua dikotomi kekuatan yang apabila lepas dari kendali empunya, akan berpotensi menimbulkan konflik. ( catatanrenunganku.blogspot.com )

- Aksara ha na ca ra ka bisa dibaca sebagaimana kita membaca Chandra sengkalan, yakni dibalik urutannya dari kata terakhir. Jika mulai dibaca dari ma ga ba tha nga, maka maga mbathang = Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim", atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Dus, maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini. Pa dha ja ya nya = kekuatan dalam diri manusia dan di luarnya telah menyatu padu. Dalam bahasa daratan Cina, Yin dan Yang telah jumbuh menjadi satu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya. Dha ta sa wa la = tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam, tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan. Ha na ca ra ka = muncullah caraka, atau lahirlah pesan atau kreasi. Dus, lahirnya alam semesta ini ya adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini ya karena adanya manusia-manusia yang menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses "mbathang" atau mematikan ego, maka selamanya tak akan ada kreasi. ( Achmad Chodjim )

- Jikalau manusia ingin melangkah lebih jauh (agar tidak menjadi bangkai) maka sebaiknya dengan asumsi yang telah di tafsirkan secara berbeda yang diajarkan oleh Pakubuwono IX, Raja Kasunanan Surakarta. Tafsir tersebut adalah:

Ha-Na-Ca-Ra- Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja.
Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai
ciptaan). Da-Ta-Sa-Wa- La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala
atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan
kehendak Tuhan. Pa-Dha-Ja-Ya- Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Ilahi) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak
sportif. Ma-Ga-Ba-Tha- Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya. ( David Goh )

- Ada juga pengertian (tafsir) yang lain:
HANACARAKA: Ada dua kutub peradaban di dunia (religiusitas agama dan rasionailitas sekuler empiris)
DATASAWALA: Keduanya selalu berseteru (konflik)
PADAJAYANYA: Sama-sama memiliki kekuatan (pengikut)
MAGABATHANGA: Penyebab banyak kematian akibat konflik keduanya.
Aksara Jawa yang diartikan (dijarwakke) satu per satu ternyata mengajarkan tentang 'Hakekating urip'. Suatu solusi untuk menjembatani dua kutub peradaban yang selalu berseteru tersebut. ( Ki Sondong Mandali )

Yang bisa saya simpulkan adalah bahwa selalu ada 2 kutub atau dikotomi kekuatan di dunia ini. Apabila mampu diselaraskan dan seimbang, maka alam semesta akan damai dan harmonis. Namun bila masing - masing mengeras pada keyakinannya dan tidak bisa menghormati satu sama lain, maka keseimbangan akan goyah dan semesta berada dalam situasi konflik atau chaos. Disini mungkin kata toleransi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa menemui momentumnya.

Tidak ada komentar: