Breaking

Rabu, Juni 20, 2012

Pranata Masyarakat Jawa


Kerja Bakti RT/RW02/05
Dusun Banaran Gunung Pati


Desa Sekaran yang dulunya adalah kawasan pegunungan dengan topografi  hutan serta sumber air yang melimpah. Kini berubah menjadi kawasan komplek Perguruan Tinggi yang di kanan kirinya diramaikan oleh kehadiran sarana pendukungnya, perumahan warga kini sudah berubah menjadi kawasan pemukiman bagi mahasiswa. Rupanya keberadaan Unnes sebagai salah satu Instansi Perguruan Tinggi Negeri Semarang, ikut menyumbang permasalahan lingkungan yang kian mengendap dan bila tak segera di atasi masalah tersebut akan semakin parah. Betapa tidak, kawasan yang dulunya berbasis ekonomi agraris kini sontak berubah ke seputar jasa dan perdagangan. 
Deretan rumah warga yang dulunya cukup jarang dan sederhana kini, menjadi deretan pertokoan, perumahan padat huni yang merupakan akibat dari pembangunan yang dilakukan penduduk pribumi dan pendatang yang berlomba-lomba membangun tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Hal yang di timbulkan dari peristiwa ini adalah berkurangnya daya resap tanah, serta berkurangnya jumlah pepohonan yang menyebabkan daerah tersebut lebih panas jika di bandingkan dengan daerah pegunungan yang bertipikal sama.  
Meskipun tipikal perekonomian masyarakat Sekaran, khususnya di wilayah Banaran telah berubah dari daerah yang dulunya menganut sistem perekonomian agraris menjadi sistem perekonomian yang berbasis perdagangan dan jasa. Akan tetapi tetap saja ciri masyarakat jawa yang mempunyai dua prinsip kehidupan yakni rukun dan hormat ( F. Magnis Suseno ) masih dapat terlihat dalam bentuk kegotong royongan antar warga masyarakat. yang biasanya terbungkus dalam kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan. Meskipun sebenarnya bisa di lihat dalam wujud kegotong-royongan yang lainnya.
Pelaksanaan bentuk kerjasama antar warga asli dan warga pendatang di Banaran umumnya menganut cara substitusi yang di maksudkan adalah warga pendatang kebanyakan tidak ikut terjun langsung dalam proses kerja bakti membersihkan desa, akan tetapi mereka membayar sejumlah uang yang sebagai ganti tenaga mereka. Jumlah uang yang mereka bayarkan sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan dengan pihak berwenang setempat. “Yo ngaten mas nek sing gadhah kos-kosan saking njawi ngriki biasane nek mboten ndherek kerja bakti nggih nyumbang sakkiate”, “saking RT mriki nggih mboten meksa, wong biasane nggih sing sok ndherek kerja bakti nggih sing griyane caket margi”. Begitu ungkap ketua Rt Zainal Abidin, yang sedang memimpin jalannya kerja bakti waktu itu.  










                                                                                            




            Perihal keadaan tersebut sesuai dengan teori pranata kebudayaan yang telah kami peroleh. Perubahan pola hidup masyarakat banaran yang semula dari nasyarakat agraris kemudian berganti dengan pola hidup pelayanan dan jasa tidak merubah ciri dan pola hidup masyarakat jawa yang berlandaskan pada sikap rukun dan hormat.
Menurut  Franz Magnis Suseno “kekuatan tradisi tidak dapat dikesampingkan, karena melaksanakan modernisasi sambil meremehkan tradisi sesungguhnya merupakan sikap anasir keterbelakangan budaya. Sungguh hal yang sangat bodoh apabila akibat kemunculan pengaruh asing dalam suatu pola kehidupan bermasyarakat turut serta pola mengubah landasan hidup yang telah lama dianut.
Sebagai contoh konkrit kita dapat mengamati pulau Bali. Pulau yang mayoritas memiliki populasi masyarakat Hindu terbesar di Indonesia tidak lantas merubah sikap hidup yang telah diwarisi masyarakat dari nenek moyang terdahulu. Akan tetatpi mereka secara kreatif mengembangkan potensi budaya yang dimiliki sesuai dengan kemajuan jaman tanpa menghilangkan keaslian corak budaya terdahulu.
Y.B. Mangunwijaya mengatakan Teknologi bukan lagi semata-mata penerusan lebih lanjut dari peralatan yang terdapat dalam seluruh taraf kebudayaan melainkan telah bergerak meloncat ke tangga yang cukup tinggi dalam kapasitas implikatif berupa kecenderungan untuk mendisposisi tata berpikir, tata kelakuan dan sikap mental hidup kemasyarakatan. Hubungan timbal balik antara teknologi di satu pihak dengan kebudayann di lain pihak bergeser kearah kondisi Bargaining Position di pihak kebudayaan yang makin merosot.
Kegiatan kerja bakti yang berlangsung di Rt/Rw02/05 Dusun Banaran Gunung Pati menunjukan bahwa walaupun tidak semua elemen masyarakat terlibat dalam kegiatan tersebut, akan tetapi mereka menyumbang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Masyarakat Banaran cukup bijaksana menyikapi sikap sebagian warganya yang tidak ikut bekerja bakti bersama-sama. Dalam hal ini Franz Magnis Suseno mengatakan Masyarakat Jawa menempatakan individu sebagai sekunder saja, sedangkan masyarakat sebagai kedudukan primer, sehingga aksi-aksi individu yang dianggap dapat mengganggu keselarasan umum akan dipandang tidak seharusnya dilakukan.
Selain itu J.W.M Bakker dan Soerjanto Puspowardojo berkata Kedudukan manusia dalam pranata sosial kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang, tetapi sebagai makhluk pribadi, Sementara pernyataan manusia adalah sebagai makhluk pranata budaya mengandung pengertian bahwa pranata kebudayaan merupakan dimensi dalam hidup dan tingkah laku manusia.
Mungkin kini pola kehidupan dan keseharian masyarakat berubah drastis seiring dengan makin berkembang dan besarnya Universitas Negeri Semarang di Banaran dan sekitarnya. Prospek ekonomi menguntungkan dari sektor jasa dan pelayanan yang dibutuhkan oleh kaum intelek dan mahasiswa sebagai pendatang baru dan bermukim disana mengakibatkan masyarakat enggan kembali menekuni profesi sebagai kaum agraris yang dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk saat ini. tapi seiring dengan berbagai hal positif yang ditawarkan, dampak negatif yang dihasilkanpun tidak kurang banyaknya dari profit yang ada. Banyak bukti nyata dimana akibat penagruh asing yang muncul dalam masyarakat mengakibatkan berubahnya tatanan hidup bermasyarakat didalamnya. Sesuai teori yang dikemukakan oleh Y.B. Mangunwijaya Hubungan timbal balik antara teknologi di satu pihak dengan pranata kebudayaan di lain pihak bergeser kearah kondisi Bargaining Position di pihak kebudayaan yang makin merosot dimana pranata (filsafat) kebudayaan tampaknya kurang berperan dan berwenang membimbing perkembangan teknologi sejalan dengan merosotnya otoritas otentik (filsafat) pranata budaya itu sendiri.

Seperti dikatakan oleh Toynbee yang berasumsi bahwa “Sangatlah besar kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh suatu gagasan, tatanan atau susunan suatu tekhnik jika itu dilepaskan dari lingkungan asalnya dan memancar keluar dalam lingkungan masyarakat yang kemudian bentrok dengan pola kehidupan historis masyarakat setempat dimana setiap pola budaya (teknologi inklusif didalamnya) merupakan kesatuan organis dengan bagian-baguannya yang saling bergantung satu sama lain.”







Tidak ada komentar: